Platform OTT Buka Peluang Perkembangan Film Pendek
Layanan ”over the top” atau OTT memberi peluang untuk mendistribusikan film pendek yang selama ini ruang distribusinya terbatas.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Salah satu adegan film Ijinkan Saya Menikahinya karya SMA Rembang Purbalingga meraih Juara 1 Festival Film Pendek Indonesia untuk kategori Pelajar yang diumumkan pada Jumat (20/1/2017) di Bentara Budaya Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Kemunculan layanan over the top atau OTT membuka peluang bagi kreator film pendek untuk mendistribusikan karyanya. Hal ini dapat pula memperkaya ekosistem film.
Menurut President of Digital Business Visinema Group Ajeng Parameswari, film pendek umumnya punya kebebasan berekspresi yang lebih luas dibandingkan dengan film panjang. Ini karena film pendek minim unsur komersial, berbeda dengan film panjang. Namun, film pendek sulit dimonetisasi.
”Film pendek tidak bisa tayang di bioskop karena tidak memenuhi kuota durasi 90 menit,” kata Ajeng pada diskusi ”Ngobrol Santai Peluang Film Pendek di Platform OTT”, Jumat (22/4/2022). ”Platform OTT memberi kesempatan bagi sineas untuk mendistribusikan film, menunjukkan karya dan talenta, sehingga bisa diakses banyak orang. Belum lagi kini orang-orang memiliki gawai,” katanya menambahkan.
Platform OTT memungkinkan audiens menonton film secara daring atau streaming. Hal ini mendorong perluasan pasar. Ini membuat film dapat ditonton oleh orang-orang di daerah hingga luar negeri. Pandemi Covid-19 pun mendorong pertumbuhan platform streaming tersebut.
Mengutip dari Statista.com, pengguna layanan streaming di Indonesia pada 2018 sebanyak 46,7 juta pengguna. Pada 2020, jumlahnya diperkirakan naik menjadi 59,8 juta pengguna. Pada 2024, jumlah pengguna diperkirakan naik lagi menjadi 77,1 juta pengguna.
”Selama ini, bottleneck (pada industri film) ada di bagian distribusi dan ekshibisi. Platform OTT kemudian menjadi ’pipa penyalur’ karya para kreator konten. Dengan banyaknya ’pipa’ saat ini, tantangan kita adalah menjaga agar kualitas dan kuantitas film berbanding lurus,” ujar Ajeng.
Sutradara film Danial Rifki mengatakan, umumnya kreator bebas mengeksplorasi genre, tema, hingga bentuk film yang akan ditayangkan di platform OTT. Sementara itu, penayangan di televisi dinilai lebih membatasi kebebasan karena ada sejumlah ketentuan. Adapun film yang tayang di bioskop juga tidak bisa bebas sepenuhnya karena mempertimbangkan faktor komersial.
Menurut Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Ahmad Mahendra, pemerintah menaruh perhatian pada perkembangan film pendek. Kompetisi Produksi Film (Kompro) 2022 pun diadakan. Kompetisi ini dapat diikuti segenap pegiat film di seluruh daerah di Indonesia.
Kompetisi serupa diadakan pertama kali pada 2021. Panitia menerima 352 proposal film pendek. Proposal yang masuk kemudian diseleksi hingga mengerucut jadi 50 proposal, lalu diseleksi lagi hingga terpilih 10 finalis.
Para finalis diberikan pendampingan dan lokakarya oleh para ahli. Setelahnya, film pendek yang diproduksi para finalis ditayangkan di Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) dan Indonesiana TV. Beberapa film pendek dari Kompro 2021, kata Mahendra, mendapat penghargaan di festival film luar negeri.
”Kami tidak hanya ingin membuat kompetisi, tetapi juga mengharapkan peningkatan wawasan dan pengetahuan,” kata Mahendra. ”(Kompetisi) ini juga bagian dari pemetaan karena kami mau mengembangkan komunitas (film),” ucapnya.
Produser dan kurator Kompro Film 2022 Ifa Isfansyah mengatakan, tema kompetisi tahun ini adalah kebudayaan dan kemanusiaan. Peserta diminta mengulik hubungan kebudayaan dengan karakter bangsa, baik secara individu maupun kolektif, dalam masyarakat. Subtema di kompetisi ini, antara lain, tentang antiperundungan, antikekerasan seksual, toleransi, pandemi, serta korelasi budaya indonesia dengan budaya global.
”Untuk peserta terpilih akan ada workshop spesial, hasil kerja sama dengan New York Film Academy. Kami harap film atau konten di kompetisi ini jadi punya perspektif global,” ucap Ifa.