Apabila tidak ada aral melintang, pada 14 April Rancangan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual akan disahkan di DPR RI. Total ada 19 bentuk kekerasan seksual, sementara pelaku adalah perorangan dan atau korporasi.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·5 menit baca
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS menempatkan kekerasan seksual sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan merupakan bentuk diskriminasi.
Hadirnya RUU yang menurut rencana disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada 14 April 2022 ini khusus ditujukan untuk mencegah kekerasan seksual; menangani, melindungi, dan memulihkan korban; melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan menjamin tidak terulangnya kekerasan seksual.
Selama ini, sejumlah peraturan perundangan yang mengatur beberapa bentuk kekerasan seksual dan penanganannya tidak mampu menjawab fakta di masyarakat. Kekerasan seksual terus terjadi, antara lain di tempat pendidikan, di tempat kerja, di rumah tangga, dan di komunitas.
Reaksi petugas kepolisian dan masyarakat menjadi salah satu alasan korban enggan melapor dan akhirnya sulit mendapat keadilan. Masih ada aparat yang tidak memercayai korban, biasanya dengan pernyataan dan pertanyaan yang menyudutkan korban. Kesulitan lain adalah pandangan masyarakat korban kekerasan seksual memiliki moral dan perilaku kurang baik.
Selain memuat tindak pidana kekerasan seksual, juga memuat hukum acara, seperti alat bukti, restitusi dan layanan terpadu bagi koran, pemidanaan dan rehabilitasi pelaku, peran serta masyarakat, serta pecegahan dan pemantauan.
Hukum acara pidana ikut memberatkan posisi korban. Untuk korban berusia di atas 18 tahun, agar laporan diterima, dituntut memiliki alat bukti, seperti adanya korban dan keterangan korban, saksi berjumlah minimal dua orang, saksi ahli, dan pelaku.
Ada 19 kekerasan
Presiden Joko Widodo merespons darurat kekerasan seksual ini pada awal Januari 2022 dengan meminta DPR bersama pemerintah segera mengesahkan RUU TPKS.
Sebagai catatan, RUU ini lama terombang-ambing di DPR sejak 2016 karena diterpa berbagai isu, mulai dari definisi, bentuk kekerasan, hingga berbagai tuduhan, antara lain melegalisir perzinahan. Apabila dihitung dari sejak usulan masyarakat diajukan ke DPR, total menjadi sembilan tahun RUU ini terombang-ambing.
RUU ini cukup komprehensif dalam mencegah kekerasan seksual dan melindungi korban, mulai dari pelaporan, penyidikan, pendampingan, kesaksian, hingga restitusi bagi korban yang dibebankan kepada pelaku. RUU juga memberi kesempatan rehabilitasi bagi pelaku, antara lain dengan konsultasi kepada tenaga medis.
Terdapat 19 kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 4. Sembilan bentuk kekerasan seksual dalam Pasal 4 Ayat (1) adalah pelecehan seksual fisik, penyiksaan seksual, pelecehan seksual nonfisik, pemaksaan penggunaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan sterilisasi, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Adapun 10 kekerasan seksual lainnya diatur dalam Pasal 4 Ayat (2), yaitu perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi melibatkan anak atau pornografi yang eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; perdagangan orang untuk tujuan seksual; kekerasan seksual dalam rumah tangga; pencucian uang yang asalnya dari tindak pidana kekerasan seksual; dan tindak pidana lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Mengenai pemaksaan perkawinan, Pasal 10 mengatur pemaksaan, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, dan menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan perkawinan dengannya atau orang lain dapat dipidana selama maksimum 9 tahun atau denda Rp 200 juta. Di dalam pemaksaan perkawinan termasuk perkawinan anak, perkawinan karena alasan praktik budaya, dan pemaksaan korban menikah dengan pelaku perkosaan.
RUU ini menjawab sebagian besar fakta lapangan, terutama yang berhubungan dengan alat bukti, hak-hak korban, pendampingan, dan pemulihan korban. Keterangan saksi dan/atau korban cukup membuktikan terdakwa bersalah apabila disertai satu alat bukti lain dan hakim memperoleh keyakinan terjadi tindak pidana kekerasan seksual dan terdakwa bersalah. Termasuk alat bukti, antara lain, surat keterangan psikolog klinis dan atau psikiater/dokter pesialis kedokeran jiwa, rekam medis, hasil pemeriksaan forensik, dan/atau hasil pemeriksaan rekening bank.
Terobosan hukum
Koordinator Advokasi Kebijakan Asosiasi LBH APIK Indonesia dan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual Ratna Batara Munti menyebut RUU ini memuat berbagai terobosan hukum karena memasukkan aspek penting yang harus ada dalam pencegahan kekerasan seksual dan perlindungan korban. Selain memuat tindak pidana kekerasan seksual, RUU ini juga memuat hukum acara, seperti alat bukti, restitusi dan layanan terpadu bagi koran, pemidanaan dan rehabilitasi pelaku, peran serta masyarakat, serta pecegahan dan pemantauan.
Ratna menyebut RUU ini berhasil menghapus aborsi sebagai bentuk tindak pidana kekerasan seksual, dan menambahkan pemaksaan perkawinan dan perbudakan seksual serta mempertahankan eksploitasi seksual dan pelecehan seksual elektronik yang semula diusulkan pemerintah untuk dihapus dari RUU ini.
Anggota Panitia Kerja DPR RI RUU TPKS Luluk Hamidah dari Fraksi Kebangkitan Bangsa menyebut, semua pemaksaan hakikatnya merendahkan harkat dan martabat, sementara hakikat manusia adalah bebas dan merdeka. Ini berkaitan dengan kekerasan seksual berbentuk pelecehan seksual nonfisik ataupun fisik. ”Sedangkan untuk menghindari pelaporan palsu, peran psikolog/ahli/pendamping menjadi penting,” kata Luluk.
Sementara itu, anggota Panja dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, menekankan seluruh pemaksaan adalah mens rea, kehendak jahat. Hal ini penting dirumuskan karena hukum pidana pada dasarnya bertugas menghukum orang yang melakukan kejahatan. ”Seluruh pemaksaan adalah mens rea,” kata Taufik. Rumusan kekerasan seksual dalam RUU ini sekaligus menjawab ketidaksetujuan sejumlah pihak mengenai kata persetujuan di dalam kekerasan seksual dalam proses pembahasan kekerasan seksual.
RUU akan segera disahkan dalam sidang paripurna pada 14 April 2022. Dari beberapa reaksi yang muncul terhadap RUU TPKS yang sudah disahkan di rapat pleno tingkat pertama, DPR perlu segera menjelaskan isi RUU keada para pemangku kepentingan dan masyarakat. Sejumlah peraturan pemerintah juga perlu segera dibuat agar masyarakat terlindung dari kekerasan seksual.