Penyiapan Guru Berkualitas dan Profesional Semakin Mendesak
Peningkatan kualitas dan profesionalisme guru kian mendesak. Penyiapan guru yang dimulai dari pendidikan guru menjadi krusial.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Keseriusan menyiapkan guru dan tenaga kependidikan yang berkualitas dan profesional untuk mendongkrak mutu pendidikan Indonesia harus jadi komitmen kuat dan berkelanjutan dari pemerintah. Hasil Asesmen Nasional 2021 pada sekitar 3,1 juta guru dan tenaga kependidikan menunjukkan kualitas pembelajaran dalam proses pengajaran dan pembelajaran yang dilakukan pendidik masih rendah pada capaian hasil akademik dan non-akademik siswa.
Dari survei pada siswa dan guru tentang kualitas pembelajaran yang dilihat dari tingkat kualitas interaksi antara pendidik dan peserta didik, dan materi pembelajaran dalam proses pengajaran dan pembelajaran di Asesmen Nasional 2021, pendidik sudah merasa baik dalam memberikan dukungan afektif dan umpan balik pada siswa. Namun, para guru secara umum masih rendah dalam manajemen kelas , apalagi kompetensi dalam melaksanakan pembelajaran yang interaktif dan sesuai kemampuan peserta didik. Kualitas guru ini yang dirasa tidak memuaskan dan tidak sesuai harapan ini juga kuat disuarakan siswa.
Oleh karena itu, revisi undang-undang sistem pendidikan nasional (RUU Sisdiknas) yang diinisasi pemerintah diharapkan dapat menjawab permasalahan mutu dan profesionalisme guru dan tenaga kependidikan (GTK). Profesi guru harus disiapkan dengan pendidikan yang berbasis ilmu pendidikan sehingga guru tetap menjadi profesi mulia untuk menyiapkan generasi muda Indonesia sebagai sumber daya manusia Indonesia yang cerdas dan berkarakter.
Dalam webinar Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Edukasi bertajuk Guru Tak Lagi Mulia dalam RUU Sisdiknas? Minggu (10/4/2022), Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Dudung Abdul Qodir mengatakan, RUU Sisdiknas yang akan menjadi semacam Omnibus Law Sisdiknas harus memastikan pendidikan nasional yang semakin berkualitas. Namun, banyak hal, termasuk pengaturan soal guru yang belum mengarah pada peningkatan kualitas yang diharapkan.
Dalam draf RUU Sisdiknas yang beredar disebutkan, untuk menjadi guru ditetapkan guru wajib berasal dari lulusan pendidikan profesi guru (PPG). Sebelumnya di UU Guru dan Dosen diatur kualifikasi minimal D IV/S1, lalu ada PPG.
Demikian pula tentang organisasi profesi guru dan kode etik guru, masih butuh kajian bersama. Apalagi disebutkan untuk kode etik guru akan ditetapkan Menteri dengan masukan dari organisasi profesi.
“Disebutkan semangat RUU Sisdiknas yang menjadi Omnibus Law Sisdiknas ini bersemangatkan fleksibilitas dan merdeka. Kami paham ini untuk menghadapi era disrupsi. Namun, bagi kami, draf yang ada masih jauh dari menjawab kebutuhan RUU Sisdiknas yang visioner dan menjawab permasalahan yang ada. Karena itu, kami tetap meminta supaya RUU Sisdiknas ini jangan dulu jadi Prolegnas Prioritas 2022,” ujar Dudung.
Pendidikan guru
Sementara itu, Dhitta Puti Sarasvati dari Aliansi Pendorong Keterbukaan Kebijakan Pendidikan yang juga dosen pendidikan matematika di Universitas Sampoerna mengatakan, revisi UU Sisdiknas harus membawa pendidikan nasional ke arah yang lebih baik. Namun, secara umum, termasuk juga terkait pengelolaan guru, terlihat wewenang pemerintah pusat dan daerah yang makin besar, namun tanggung jawab makin kecil.
“Justru tanggung jawab negara, pemerintah, harus lebih jelas. Kita berharap UU Sisdiknas yang baru nanti akan semakin menjamin hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan nasional yang berkualitas, selain mengatur kewajiban. Jadi tanggung jawab negara jelas, kalau pendidikan guru berkualitas tidak layak, tidak kontekstual, ada kekurangan guru, kualifikasi pendidikan guru tidak terpenuhi, dan masalah guru lainnya, masyarakat bisa menuntut negara,” kata Dhitta.
Terkait pendidikan calon guru, menurut Dhitta, masih bisa diperdebatkan. Sebab, tiap negara bisa memilih model pendidikan guru yang berbeda, asal tetap berdasarkan pada ilmu pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
“Di dunia juga model untuk pendidikan guru beragam. Tapi berbasis riset keilmuan terkait pendidikan guru. Apakah dengan tidak menetapkan kualifikasi pendidikan semisal D IV/S1 atau LPTK, atau PPG, tergantung kita memandang apakah kita menganggap pekerjaan guru itu mudah, sekadar mengajar, sehingga tidak perlu basis keilmuan pendidikan? Pendidikan guru itu tidak mudah, kompleks, dan ada begitu banyak penelitian bagaimana pendidikan guru dikembangkan,” ujar Dhitta.
Dhitta menekankan, PPG prajabatan atau semacam pendidikan profesi dokter, bisa saja dilakukan. Namun, tetap diingat sifatnya berbeda dalam penyiapan guru dan dokter. Untuk menghasilkan sosok guru berkualitas dan profesional, penting negara untuk mendesain bahwa guru harus punya kualifikasi dasar sebagai pendidik.
Kita berharap UU Sisdiknas yang baru nanti akan semakin menjamin hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan nasional yang berkualitas, selain mengatur kewajiban.
Lebih lanjut Dhitta memaparkan, sebenarnya dengan pendidikan guru yang baik di LPTK atau pergruuan tinggi penghasil calon guru, lulusannya sudah siap menjadi guru pemula. “Kalau ini dilakukan maka PPG prajabatan (setelah lulus DIV/S1) belum perlu dilakukan. Nanti ketika menjadi guru, pendidikan guru dikembangkan lagi sesuai kebutuhan guru di lapangan,” kata Dhitta.
Dari riset Program Research on Improving System of Education (RISE) di Indonesia – SMERU Research Institute tahun 2021,sebenarnya menunjukkan penyiapan guru-guru muda untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia belum memadai sehingga terasa masih suram untuk regenerasi guru berkualitas dan profesional. Para guru muda belum mendapatkan dukungan yang dibutuhkan untuk menjadi pendidik profesional yang mampu meningkatkan capaian hasil belajar siswa, baik saat di pendidikan profesi guru maupun saat baru memulai karir sebagai guru di sekolah.
Padahal, para guru muda lulusan PPG prajabatan merupakan mahasiswa pilihan yang diseleksi secara ketat dari lulusan sarjana pendidikan dan non-pendidikan untuk penguatan pedagogi dan penguasaan konten. Namun, tambahan satu tahun penguatan sarjana calon guru tersebut belum berdampak signifikan untuk meningkatkan capaian hasil belajar siswa, terutama di jenjang SD.
“Guru lulusan PPG belum terbukti secara statistik memiliki kinerja lebih baik dibandingkan guru bukan lulusan PPG,” kata Astri Yusrina, Peneliti program RISE di Indonesia.
Anggota Komisi X DPR Ferdiansyah mengatakan Komisi X akan mengawal revisi UU Sisdiknas yang lebih komprehensif dan berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan. Termasuk untuk guru, tetang peran LPTK dalam mendukung pendidikan guru juga harus jelas.
Ferdiansyah mengatakan jika sudah memenuhi syarat prosedural seperti ada naskah akademik dan RUU Sisdiknas, apalagi ada permohonan dari Presiden, sudah bisa untuk menjadi Prolgenas Prioritas DPR 2022. Namun, Komisi X memastikan untuk membahas RUU Sisdiknas dengan serius dan pelibatan publik.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam mengatakan, profesi guru itu terbuka dari sarjana pendidikan dan non-pendidikan, yang sebenarnya sudah diatur di UU Guru dan Dosen. Dengan mengatur wajib PPG, pemerintah ingin memastikan para calon guru berkualitas secara keilmuan dan pedagogi.