Jika nanti disahkan, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual akan menjadi pembaruan hukum acara yang tak diatur dalam hukum acara pidana dan perundang-undangan lain.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual akan menjadi tonggak dan payung hukum yang memberikan kepastian dalam pemenuhan hak-hak korban sehingga memberikan keadilan bagi korban. Pemerintah dan masyarakat sipil akan mengawal rancangan undang-undang ini hingga disahkan menjadi undang-undang.
”Prioritas utama dalam RUU TPKS adalah kehadiran negara melindungi korban. Sebab, undang-undang ini merupakan penantian panjang korban.Kita masih terus berjuang sampai RUU TPKS disahkan menjadi undang-undang, dukungan semua pihak dibutuhkan,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, pada Media Talk ”RUU TPKS Sepakat Diteruskan ke Sidang Paripurna DPR” pada Jumat (8/4/2022).
Pada Rabu (6/4/2022), DPR menyetujui RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) diteruskan prosesnya dan disahkan menjadi UU. Bintang mengatakan, RUU TPKS merupakan buah kerja keras bersama, DPR, pemerintah, dan masyarakat sipil.
RUU TPKS merupakan pembaruan hukum acara sebelum, selama, dan setelah proses hukum. Sebab, ada sejumlah ketentuan dalam RUU tersebut tidak terdapat di hukum acara pidana maupun hukum pidana khusus lainnya.
Misalnya, adanya pengaturan perluasan alat bukti, barang bukti menjadi alat bukti, kesaksian melalui perekaman elektronik. Alat bukti surat meliputi surat keterangan psikologi klinis/psikiater.
”Terobosan di dalam RUU TPKS juga terlihat pada pengaturan pelayanan terpadu yang dilakukan secara komprehensif oleh pemerintah, penegak hukum dan layanan berbasis masyarakat. Pengaturan ini diharapkan memberikan implikasi positif terhadap percepatan penanganan dan menghapuskan reviktimisasi pada korban,” ujar Bintang Darmawati.
Kepentingan korban
Sesuai dengan semangatnya, RUU TPKS berpusat pada kepentingan korban. RUU mengatur koordinasi antara penyidik dan pendamping yang hasilnya dapat dijadikan dasar penyidikan dan ketika korban mengalami trauma berat, penyidik dapat menyampaikan pertanyaan melalui pendamping.
Tak hanya itu, melalui RUU TPK negara hadir memenuhi hak korban atas dana pemulihan, penanganan korban sebelum, selama, dan setelah proses hukum, termasuk pembayaran kompensasi untuk mencukupi sejumlah restitusi ketika harta kekayaan pelaku yang disita tidak cukup.
Selain bersumber dari anggaran negara, dana untuk pemulihan korban dapat diperoleh dari filantropi, masyarakat, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat yang akan dikelola oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
”Pelaku wajib melakukan penggantian pembayaran kompensasi dari negara melalui bekerja, sesuai peraturan perundang-undangan,” tambah Bintang.
Tak hanya itu, melalui RUU TPKS, kehadiran negara juga ditunjukkan melalui upaya pencegahan dan penanganan di wilayah terluar, terdepan, tertinggal (3T), daerah konflik dan bencana.
Pencegahan TPKS juga dilakukan di semua tempat yang berpotensi terjadinya TPKS, seperti panti penyandang disabilitas, satuan pendidikan termasuk berasrama, panti yatim, tempat pengungsian, dan tempat penampungan tenaga kerja.
Pemerkosaan dan pemaksaan aborsi
Terkait dua bentuk kekerasan seksual, yakni pemerkosaan dan pemaksaan aborsi yang tidak masuk dalam RUU TPKS, Menteri PPPA memastikan akan mengawal dan berjuang keras agar dua jenis kekerasan seksual yang diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengedepankan kepentingan korban.
”Ini catatan kritis yang menjadi pertanyaan pertama dari media setelah selesai rapat pleno Baleg DPR. Ini pasti kita akan perjuangkan. Karena kami menyadari pentingnya pengaturan pemerkosaan dan pemaksaan aborsi sebagai bentuk kekerasan seksual. Ini juga sudah ditegaskan Wakil Menteri Hukum dan HAM saat pembahasan RUU TPKS,” ujar Bintang.
Sebelumnya, kalangan sipil mempertanyakan tidak diakomodasinya pemerkosaan dan pemaksaan aborsi dalam RUU TPKS. Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) dan Forum Pengada Layanan (FPL) untuk Advokasi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menilai tidak masuknya bentuk kekerasan seksual pemerkosaan, membuat RUU TPKS kehilangan kekhususannya untuk mengatur tindak pidana kekerasan seksual secara spesifik.
Padahal pemerkosaan merupakan tindak kekerasan yang paling sering terjadi dengan menggunakan modus, cara, dan alat, yang menimbulkan dampak berkepanjangan pada kelangsungan hidup para perempuan dan anak korban kekerasan seksual.
Pengaturan tindak pidana pemerkosaan dalam RKUHP belum sepenuhnya memiliki keberpihakan terhadap korban. ”Meski ada semangat DPR dan pemerintah akan mengatur tindak pidana pemerkosaan ke dalam RKUHP, tidak ada jaminan pengaturan pemerkosaan sama seperti diharapkan di dalam RUU TPKS,” ujar Mike Verawati dari Koalisi Perempuan Indonesia, mewakili JMS.
Catatan kritis juga disampaikan Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani, terkait pemerkosaan dan pemaksaan aborsi. Ketimbang menunggu pembahasan RKUHP, DPR diharapkan memastikan pengaturan pemerkosaan dan pemaksaan hubungan seksual dimuat secara lebih rinci di RUU TPKS.
Selanjutnya, Komnas Perempuan menyerukan kepada semua elemen masyarakat agar terus mengawal untuk memastikan pengesahan RUU TPKS sesuai komitmen DPR. (son)