Mengenang Umbu Landu Paranggi, Merayakan Jalan Sunyi
Penyair dan sastrawan menggelar acara mengenang Umbu Landu Paranggi, yang wafat pada 6 April 2021. Jejak sunyinya akan selalu diingat dan dikenang.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Rabu (6/4/2022) tepat satu tahun kepergian penyair Umbu Wulang Landu Paranggi. Penyair asal Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, yang dikenal sebagai mahaguru penyair itu meninggalkan jejak sunyi yang akan selalu diingat dan dikenang.
Sebentuk perayaan untuk mengenang Umbu Landu Paranggi (ULP) digelar sejumlah penyair, sastrawan, serta seniman secara hibrida, yakni di dalam jaringan (daring) dan juga secara luar jaringan (luring) di Jatijagat Kehidupan Puisi, Kota Denpasar, Rabu (6/4/2022) malam.
Secara daring, acara dihadiri sejumlah penyair dan sastrawan, di antaranya, Putu Fajar Arcana (Jakarta), Kunni Masrohanti (Riau), Bambang Widiatmoko (Yogyakarta), Dewa Putu Sahadewa, dan Ida Bagus Sindu Putra (Nusa Tenggara Barat) serta Warih Wisatsana (Bali). Adapun secara luring hadir, antara lain, Wayan ”Jengki” Sunarta dan GM Sukawidana serta Anak Agung Sagung Mas Ruscitadewi.
ULP merupakan sosok yang paradoks, atau menurut Fajar Arcana dalam testimoninya, ia adalah figur yang mengada dalam ketiadaan. Meskipun disebut dan dikenal sebagai mahaguru penyair, ULP tidak pernah secara langsung mengajarkan cara menulis puisi atau prosa kepada para muridnya.
Fajar Arcana mengungkapkan, ULP adalah sosok penyair yang tidak tergoda membuat antologi atau kumpulan puisi bagi dirinya sendiri. ”Umbu adalah sosok dari masa lalu yang menyesap masuk ke dalam kehidupan kita di masa kini,” kata Fajar Arcana.
ULP dijuluki ”Presiden Malioboro” setelah menginisiasi berdirinya komunitas Persada Studi Klub (PSK) di Yogyakarta sekitar tahun 1968. Sejak 1978, Umbu menetap di Bali.
Selama bermukim di Bali, ULP pernah mengasuh rubrik sastra, termasuk Pos Remaja yang menjadi ruang bertumbuh dan berkembangnya penyair-penyair muda. Dengan caranya sendiri, ULP mengasah bakat-bakat muda itu hingga mereka bertumbuh dan berkembang sebagai penyair yang mewarnai dunia sastra Indonesia.
Umbu adalah sosok dari masa lalu yang menyesap masuk ke dalam kehidupan kita di masa kini. (Putu Fajar Arcana)
ULP tutup usia di Denpasar akibat sakit pada Selasa (6/4/2021) pukul 03.55 Wita. Sastrawan yang dijadikan mahaguru itu berpulang pada usia 77 tahun. Ia diistirahatkan di ruang sunyi di Taman Makam Kristiani Mumbul, Badung, Senin (12/4/2021). ULP dilepas dalam tradisi kurukudu, tradisi ritual Sumba.
Tanam dan taman
Dalam film dokumenter tentang ULP, penyair dari Tanah Sumba itu dikenang tertarik dengan dua kata, yakni tanam dan taman. Kata-kata tersebut membekas pada diri ULP karena dia tertarik dengan Ki Hadjar Dewantara atau Raden Mas Soewardi Soerjaningrat dengan Perguruan Taman Siswa-nya.
Dua kata, yakni tanam dan taman, dikenang dan dimaknai murid-muridnya sebagai spirit ULP untuk menumbuhkembangkan talenta penyair muda sehingga mereka menjadi penjaga api sastra dan generasi penerus yang akan menumbuhkan taman-taman sastra baru.
”Umbu mengajarkan kita untuk menemukan diri karena kata-kata puisi menunggu kita,” kata Dewa Putu Sahadewa dalam testimoninya.
Adapun sastrawan Riau Kunni Masrohanti mengungkapkan, api semangat sastra yang dinyalakan dan dihidupkan ULP dari Bali juga dirasakan di Riau. ULP mampu menjadikan puisi menjadi sesuatu yang sangat dirasakan. Dalam kesempatan itu, Kunni membacakan sebuah puisi karya ULP yang berjudul ”Denpasar Selatan, dari Sebuah Lorong”.
Penyair Warih Wisatsana mengungkapkan, ULP adalah sosok bersahaja dan pribadi yang tulus. Dalam persentuhannya dengan seseorang, menurut Warih, ULP melakukannya dengan pendekatan pribadi karena mahaguru penyair itu mengenal dan memahami kepribadian setiap orang.