Setelah melakukan pembahasan nonstop lebih dari sepekan, RUU TPKS akhirnya selesai dibahas di DPR. RUU yang mengatur sembilan jenis TPKS diharapkan segera disahkan menjadi UU pada pertengahan April mendatang.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
UNDEFINED
Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Supratman Andi Agtas, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Ketua Panja RUU TPKS, Willya Aditya, dan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej dan perwakilan kementerian/lembaga menandatangani hasil Rapat Pleno Pengambilan Keputusan atas Hasil Pembahasan RUU TPKS, Rabu (6/4/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (6/4/2022), menyetujui Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Selain memuat materi penting dan strategis, rancangan undang-undang itu merupakan terobosan dalam pembaruan hukum dalam menjawab persoalan kekerasan seksual di Tanah Air.
Demikian hasil Rapat Pleno Pengambilan Keputusan atas Hasil Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), yang dipimpin Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Supratman Andi Agtas, Rabu (6/4/2022).
Kecuali Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), delapan fraksi di DPR setuju proses RUU TPKS dilanjutkan dalam Sidang Paripurna Untuk Pembicaraan Tingkat dua. Jika berlangsung lancar, diperkirakan pertengahan April, RUU TPKS akan disahkan menjadi Undang Undang TPKS.
Delapan fraksi yang setuju dengan RUU TPKS adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan.
”Segera mungkin diagendakan pada paripurna terdekat, ” kata Supratman Andi Agtas, setelah mendapat persetujuan jawaban anggota Baleg DPR dalam sidang pleno itu.
Sidang tersebut dihadiri tim pemerintah yang dipimpin Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej, Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani, dan perwakilan dari 12 kementerian atau lembaga.
SONYA HELLEN SINOMBOR
Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Supratman Andi Agtas dan pimpinan Baleg, termasuk Ketua Panja RUU TPKS Willya Aditya, memimpin Rapat Pleno Pengambilan Keputusan atas Hasil Pembahasan RUU TPKS, Rabu (6/4/2022).
Sebelum mendengar pandangan mini fraksi, Ketua Panitia Kerja RUU TPKS Willy Aditya menyatakan, pembahasan RUU TPKS bisa dijadikan contoh bagaimana sebuah undang-undang diperjuangkan melalui kolaborasi dan kemauan politik dari pemerintah, DPR, serta melibatkan partisipasi dari masyarakat sipil.
”Kita sudah menyusun ini bersama, sejak awal dipercayakan sebagai Ketua Panja saya mengedepankan prinsip dialog, karena saya yakin republik ini berdiri modalitasnya dialog. Berbeda ideologi, keyakinan, dan latar belakang, spektrum politik, bisa bersepakat di bawah Merah Putih dan Pancasila. Jadi, kenapa untuk kemaslahatan perempuan dan anak-anak Indonesia kita tidak membangun dialog? ” papar Willy.
Adapun fraksi-fraksi di DPR dalam pandangan mini menyampaikan dukungan penuh pada RUU TPKS dan berharap RUU tersebut benar-benar melindungi korban jika nantinya telah disahkan menjadi UU.
Fraksi PDI-P, misalnya, berpandangan RUU TPKS memberikan pembaruan hukum berkaitan dengan hak-hak korban, bahkan mengakomodasi kekerasan seksual berbasis elektronik yang belum tercantum dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik. ”RUU TPKS memberikan perhatian terhadap penderitaan korban dalam bentuk restitusi (ganti rugi), ” kata My Esti Wijayati.
RUU TPKS memberikan perhatian terhadap penderitaan korban dalam bentuk restitusi (ganti rugi).
Adapun Fraksi PKS menolak RUU TPKS untuk disahkan menjadi UU dan dilanjutkan ke tahap berikut, sebelum pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP). Opsi lain, pembahasan RUU TPKS dilakukan bersama dengan RKHUP dengan melakukan sinkronisasi dengan seluruh tindak pidana kesusilaan.
SONYA HELLEN SINOMBOR
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Ketua Panja RUU TPKS Willya Aditya, dan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej, serta perwakilan kementerian/lembaga foto bersama anggota DPR dan aktivis masyarakat sipil seusai Rapat Pleno Pengambilan Keputusan atas Hasil Pembahasan RUU TPKS, Rabu (6/4/2022).
Pembelajaran bersama
Menteri PPPA Bintang yang menyampaikan Pendapat Mini Presiden atas RUU TPKS menyatakan, perjalanan RUU TPKS memberikan banyak pelajaran bagi semua pihak yang berkontribusi positif bagi penyempurnaan naskah RUU TPKS.
Nantinya implementasi UU TPKS merupakan wujud nyata kehadiran negara untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban. Selain itu, keberadaan regulasi tersebut untuk melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, serta menjamin agar kekerasan seksual tak berulang.
”Sesungguhnya UU ini adalah milik kita bersama. Kita susun bersama antara DPR, pemerintah, dan masyarakat sipil. Tentunya agar kita dan seluruh masyarakat Indonesia nantinya secara bersama merasakan manfaat dari UU ini ketika diimplementasikan, ” kata Bintang Darmawati.
SONYA HELLEN SINOMBOR
Para aktivis perempuan yang mewakili masyarakat sipil hadir mengikuti Rapat Pleno Pengambilan Keputusan atas Hasil Pembahasan RUU TPKS, Rabu (6/4/2022). Mereka disebut oleh anggota DPR sebagai Fraksi Balkon karena mengikuti jalan sidang RUU TPKS dari balkon.
Apresiasi atas persetujuan DPR untuk mengesahkan RUU TPKS menjadi UU juga disampaikan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan masyarakat sipil yang selama ini mengawal pembahasan RUU TPKS. ”Sebagian besar aspirasi masyarakat sipil diakomodasi,” ujar Ratna Batara Munti, dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual.
Dari pembahasan di tingkat Panja RUU TPKS, disepakati bahwa cakupan TPKS ada sembilan jenis, yakni pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selain itu, dalam RUU ini dinyatakan beberapa tindak pidana lain sebagai TPKS yang diatur dalam aturan perundang-undangan lain. RUU tersebut juga mengatur perluasan cakupan pelaku dan keadaan korban sebagai alasan pemberatan ancaman pidana dengan ditambah sepertiga dari ancaman pidana pokok.
Begitu juga restitusi yang sebelumnya sebagai pidana tambahan, ditempatkan sebagai bagian dari pidana pokok. Dalam hal pelaku tidak mampu dan tidak ada pihak ketiga yang membayar restitusi kepada korban, negara memberikan kompensasi pengaturan mengenai adanya ”dana bantuan korban ”.
RUU TPKS juga mengatur perkara TPKS tidak bisa diselesaikan di luar proses peradilan, kecuali pelaku berusia anak. Korban diberikan hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan sejak terjadinya TPKS. Hukum acara atas TPKS diatur secara komprehensif mulai dari penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan menghormati HAM, kehormatan, dan martabat, serta tidak intimidasi.