Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik Jadi Sorotan DPR dan Pemerintah
Kekerasan seksual dengan berbagai modus hingga kini terjadi. Namun, belum ada payung hukum untuk melindungi korban. Maka, kehadiran UU TPKS menjadi penting.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual terus berlanjut di Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (29/3/2022). Selain menyepakati sejumlah substansi baru yang diusulkan pemerintah pada beberapa nomor DIM, DPR dan pemerintah sepakat untuk menunda pembahasan usulan substansi baru yang terkait dengan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang dipimpin oleh Ketua Panja Willy Adiyta meneruskan pembahasan DIM bersama pemerintah yang dipimpin Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy OS Hiariej.
Pembahasan DIM substansi dan substansi baru dilanjutkan mulai DIM nomor 71 hingga nomor 116. Misalnya, DPR setuju substansi baru yang diajukan pemerintah pada DIM 73 yang berbunyi, ”Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”.
Pemerintah juga setuju dengan substansi baru pada DIM 74 yang berbunyi, “Setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.00”.
Akan tetapi, terkait DIM 78-79 soal kekerasan seksual berbasis elektronik, sejumlah anggota DPR meminta pengaturan tersebut harus tetap dipertahankan. Pembahasan soal kekerasan seksual berbasis elektronik cukup mengundang perdebatan panjang dari anggota DPR.
Sejumlah anggota Panja RUU TPKS mengungkapkan, pengaturan tentang kekerasan seksual berbasis elektronik perlu dipertahankan. Sebab, ada sejumlah hal yang terjadi di masyarakat soal perekaman dan transmisi elektronik yang tidak diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
”Karena ada usulan sejumlah baru, bagaimana kalau kita tunda dan lanjutkan pembahasan besok,” ujar Willy di tengah persidangan.
Soal kekerasan seksual berbasis elektronik, sejumlah anggota DPR meminta pengaturan tersebut harus tetap dipertahankan.
Untuk rumusan Pasal 5 RUU TPKS diusulkan berbunyi ”Setiap orang yang tanpa hak melakukan perekaman yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman; dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima, dipidana karena melakukan pelecehan seksual berbasis elektronik dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”
Bahkan jika perbuatan tersebut ditambah dengan maksud pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau menyesatkan atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 75 juta.
Pada rapat panja yang digelar secara luring dan daring tersebut, DPR setuju dengan usulan pemerintah tentang pemaksaan perkawinan, termasuk perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, dan pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.
Demikian juga dengan DIM Nomor 87-94 yang diusulkan pemerintah untuk dihapus, rapat panja sepakat untuk menunda pembahasan tersebut, serta sepakat DIM tersebut tidak dihapus dengan reformulasi rumusan.
Di tengah pembahasan RUU tersebut, Ketua Panja Willy Aditya sempat mengingatkan anggota Panja Arteria Dahlan untuk saling menjaga kehormatan, ketika ada beberapa pertanyaan yang diajukan Arteria kepada pemerintah dan jawaban Wamenkumhan dinilai memuaskan.
Secara terpisah, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta DPR dan Pemerintah agar memasukkan elemen pemantauan dan pengawasan TPKS dalam RUU TPKS. Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani bersama komisioner lainnya, Siti Aminah Tardi dan Maria Ulfa Ansor, menegaskan, pemantauan dan pengawasan independen sangat penting.
Hal ini diusulkan Komnas Perempuan karena dalam RUU TPKS maupun DIM yang disusun pemerintah yang kini dalam pembahasan, soal pemantauan dan pengawasan oleh lembaga independen belum diatur. ”Pemantauan dan pengawasan independen dapat dilakukan oleh lembaga nasional hak asasi manusia dan lembaga pengawas eksternal dalam sistem peradilan pidana,” ujar Maria Ulfa.
Andy memastikan, pengaturan pemantauan dan pengawasan dalam RUU TPKS tidak akan menghapuskan pengaturan fungsi pengawasan (monitor dan evaluasi) dan koordinasi di setiap pengampu tugas dan koordinasi oleh pemerintah terkait pelaksanaan RUU TPKS.