Naskah Kuno Kerajaan Tarusan di Sumbar Didigitalisasi
Digitalisasi diharapkan menyelamatkan isi naskah sekaligus membuka akses bagi para peneliti untuk melakukan kajian terhadap Kerajaan Tarusan ini. Banyak manuskrip belum terjamah para ahli waris kerajaan.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Penggiat konservasi naskah kuno melakukan digitalisasi terhadap manuskrip peninggalan Kerajaan Tarusan di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Digitalisasi diharapkan dapat menyelamatkan isi naskah sekaligus membuka akses bagi para peneliti melakukan kajian terhadap kerajaan tersebut.
Digitalisasi dilakukan di rumah ahli waris kerajaan di Nagari Duku, Kecamatan Koto XI Tarusan, Pesisir Selatan, Kamis (24/3/2022). Tim terdiri dari enam orang dari Jurusan Sastra Minangkabau Universitas Andalas, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Sumbar, Surau Intellectual for Conservation, dan Suaka Luhung Naskah.
Dalam upaya digitalisasi di lokasi, tim membersihkan manuskrip, membuat metadata fisik, memfoto manuskrip, dan menyimpannya ke dalam map. Selanjutnya, tim akan membuat metadata isi manuskrip berdasarkan foto naskah.
Ketua tim sekaligus filolog Universitas Andalas, Pramono, mengatakan, belum diketahui berapa bundel dan lembar teks naskah Kerajaan Tarusan tersebut. Walakin, perkiraan awal jumlahnya sekitar 100 lembar teks. Upaya digitalisasi di tempat ini akan tuntas dalam waktu sepekan.
”Kondisi naskahnya memprihatinkan. Sebagian besar sudah grade D (skala A-D). Banyak manuskrip yang kertasnya berlubang, lapuk, sobek, dan kotor. Digitalisasi merupakan upaya paling cepat untuk menyelamatkan isi kandungan manuskrip,” kata Pramono.
Menurut Pramono, naskah peninggalan Kerajaan Tarusan ini sangat penting dan menarik. Secara umum, manuskrip yang ditulis pada awal dan pertengahan abad ke-19 ini berisi konten lokal, antara lain, tentang sejarah, pengetahuan tradisional, berkas administrasi seperti aset, dan surat-surat. Manuskrip menggunakan aksara Latin, Arab Melayu, dan Arab dengan bahasa Melayu dan bahasa Arab.
Pramono yang juga dosen Jurusan Sastra Minangkabau, Universitas Andalas, ini melanjutkan, koleksi naskah di Nagari Duku tersebut termasuk langka karena berisi konten lokal. Terlebih, selama ini, naskah yang biasa ditemukan di Sumbar berisi tentang keislaman.
Menemukan manuskrip berisi konten lokal di Sumbar layaknya seorang petambang menemukan segumpal emas. Hampir semua yang berbau konten lokal dibawa Belanda, seperti tambo, petatah-petitih, dan sejarah.
”Menemukan manuskrip berisi konten lokal di Sumbar layaknya seorang petambang menemukan segumpal emas. Hampir semua yang berbau konten lokal dibawa Belanda, seperti tambo, petatah-petitih, dan sejarah. Hanya di beberapa tempat di Sumbar yang ditemukan naskah dengan konten lokal ini,” ujarnya.
Menurut Pramono, upaya digitalisasi diharapkan membuka akses bagi para peneliti untuk memanfaatkan manuskrip ini sebagai sumber utama kajian. Setelah dikaji, posisi Kerajaan Tarusan akan diperbincangkan secara ilmiah dalam konteks sejarah lokal Sumbar. Selama ini, kerajaan itu tidak banyak dibahas karena sumber tertulisnya belum terakses.
”Mudah-mudahan setelah diketahui kekayaannya, bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kajian yang lebih luas dan mendalam terkait posisi eksistensi, dinamika, perkembangan, dan peran Kerajaan Tarusan dalam konteks dinamika sejarah lokal Sumbar,” ujarnya.
Terkait kondisi naskah yang memprihatinkan, Pramono akan mengajak berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, melakukan restorasi fisik naskah. Sebab, tanpa restorasi, naskah tersebut tinggal menunggu kehancuran. ”Kalau tidak segera ditangani, kita hanya akan menjumpai fisik naskah ini maksimal satu dasawarsa,” ujarnya.
Tidak hanya di Pesisir Selatan, lanjut Pramono, seluruh naskah kuno di Sumbar kondisinya sangat mengkhawatirkan. Usianya ratusan tahun dan disimpan ahli waris dengan cara tradisional, yakni tanpa pengawetan dan sistem pelestarian sewajarnya. Ditambah lagi cuaca ekstrem wilayah tropis dan lokasi rawan bencana semakin membuat rentan dokumen.
”Baru lebih dari separuh koleksi naskah di masyarakat yang sudah didigitalisasi. Sisanya belum, antara lain karena masyarakat tidak memberikan akses, sumber daya terbatas, dan skala prioritas,” katanya.
Ditambahkan Pramono, upaya digitalisasi ini merupakan bagian dari misi Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (Dreamsea). Untuk wilayah Sumbar, misi Dreamsea berlangsung sejak Maret 2019 dan berakhir tahun ini. Hingga Maret 2022, sudah 75.000 lembar naskah yang didigitalisasi.
Belum terjamah
Ahli waris Kerajaan Tarusan Sutan Achmad Kosasih Bagindo Sutan Besar mengatakan, upaya digitalisasi diharapkan bisa menjadi bahan penelitian terhadap kerajaan ini. Ahli waris punya banyak informasi terkait kerajaan ini. Manuskrip yang sudah dijaga dari turun temurun belum terjamah. ”Kami belum sempat baca dan teliti semuanya karena keterbatasan ilmu kami,” katanya.
Kosasih melanjutkan, berdasarkan naskah yang bisa dipahami keluarga, kerajaan ini ada sejak 1640 dengan raja pertama Sutan Kalipah Bagindo Sutan Besar yang berkuasa selama 1640-1661. Adapun raja kesepuluh sekaligus terakhir Sutan Yahya Bagindo Sutan Besar yang berkuasa selama 1876-1912.
Pada masa kolonial Belanda, kata Kosasih, raja selain jadi kepala kaum (suku) juga menjabat regen atau angku lareh dari Kelarasan Tarusan, yaitu wilayah Kecamatan Koto XI Tarusan saat ini. Namun, setelah raja terakhir, sistem kerajaan terputus dan terpecah atas beberapa nagari.
Ditambahkan Kosasih, selain manuskrip, kerajaan ini juga punya peninggalan berupa pedang, keris, dan lainnya, serta kuburan raja-raja. Adapun istana tidak ada yang tersisa karena pusat pemerintahan berpindah-pindah sesuai tempat tinggal istri raja.