Pelibatan Publik yang Bermakna dalam Pembahasan RUU Sistem Pendidikan Nasional
RUU Sistem Pendidikan Nasional akan segera diajukan ke Badan Legislasi DPR. Namun, publik merasa rancangan yang diajukan pemerintah lewat Kemendikbudristek belum menjawab tantangan sistem pendidikan nasional masa depan.
Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang diinisiasi pemerintah ditargetkan untuk bisa disodorkan ke Badan Legislasi DPR RI di tahun ini, setidaknya pada April, agar bisa mulai menjadi pembahasan bersama pemerintah dan parlemen. Targetnya pada 2023 sudah ada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menggantikan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai amanat UUD 1945 agar pemerintah mengadakan satu sistem pendidikan nasional.
Sontak rencana pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang ingin bergegas menyerahkan rancangan naskah akademik dan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) mengagetkan banyak kalangan pendidikan. Keinginan untuk bisa memantau perubahan atau hal-hal yang akan diatur dalam revisi UU Sisdiknas saat ini begitu besar.
Alasannya, pendidikan bisa dikatakan menyangkut hajat hidup orang banyak. Berbagai kebijakan yang dituangkan dalam RUU Sisdiknas tentunya perlu dicermati. Tujuannya agar semua pemangku kepentingan pendidikan yakin bahwa semangat reformasi pendidikan yang diembuskan pemerintah dengan satu payung hukum benar-benar membawa kebaikan bagi masa depan bangsa, sesuai dengan amanat konstitusi bahwa pendidikan diselenggarakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Seharusnya visi dan perspektif UU lebih luas dari saat ini agar mampu menjawab tantangan hingga 20 tahun ke depan dengan asumsi atau prediksi.
Sayangnya, hingga saat ini, rancangan naskah akademik dan RUU Sisdiknas yang sudah mulai diujipublikkan oleh Kemendikbudristek lewat Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek masih bersifat terbatas, rahasia hanya untuk individu atau organisasi yang diundang saja. Dalam era keterbukaan seperti saat ini, tentunya tidak mudah untuk ”menahan” rancangan naskah akademik dan RUU Sisdiknas itu tidak tersebar ke tengah publik. Perbincangan pun mengarah bagaimana RUU Sisdiknas yang dinilai belum mengakomodasi tentang realitas dan tantangan ke depan itu sudah akan dibahas bersama Badan Legislatif.
Tak heran, kegelisahan publik tentang prosedur serta substansi dari RUU Sisdiknas mencuat. Sejumlah surat terbuka disampaikan berbagai organisasi dan koalisi pendidikan kepada pemerintah agar pembahasan RUU Sisdiknas melibatkan publik dan tidak tergesa-gesa. Desakan agar rancangan naskah akademik dan RUU Sisdiknas bisa diakses publik menguat. Sebab, dengan model uji publik terbatas, materi rancangan secara resmi hanya diperbolehkan bagi pihak yang diundang Kemendikbusristek secara resmi dalam empat kali kegiatan diskusi terfokus terbatas (FGD)/uji publik yang melibatkan 43 lembaga/organisasi pemangku kepentingan pendidikan.
Baca Juga: RUU Sisdiknas Ditargetkan Selesai Tahun Depan
Di diskusi Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Pendidikan (Ngopi Seksi) bertajuk ”Partisipasi Publik dalam Pembentukan RUU Sisdiknas”, awal Maret lalu, berbagai pemangku kepentingan pendidikan persekolahan dan pendidikan alternatif/masyarakat hingga organisasi penyelenggara pendidikan mendorong keterbukaan dan transparansi Kemendikbudristek dalam pembentukan RUU Sisdiknas. Pelibatan publik yang luas akan memberikan warna dan wujud keberagaman Indonesia yang akan menyatu dalam sebuah sistem pendidikan nasional.
”Masyarakat seharusnya justru didorong untuk memberikan masukan-masukan terhadap RUU Sisdikans yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia di masa yang akan datang,” kata Direktur Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia Indra Charismiadji.
Ketua Umum Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia David Tjandra mewakili Asosiasi Organisasi Penyelenggara Pendidikan mengatakan, pemerintah wajib memberikan kesempatan bagi publik untuk berpartisipasi secara bermakna dengan memberikan hak untuk didengar dan dipertimbangkan aspirasinya. Namun, uji publik RUU Sisdiknas saat ini terkesan hanya mencari partisipasi untuk mencapai syarat formal saja.
”Dengan menguatnya desakan publik untuk transparasni RUU Sisdiknas sampai saat ini, terkesan yang dilakukan Kemendikbudristek itu sebagai syarat formal sudah uji publik, bukan partisipasi dengan semua pemangku kepentingan. Padahal, pendidikan semua berkepentingan. Jadi, harus ada niat tulus dari Kemendikbusristek bagaimana partisipasi bermakna dari seluruh kepentingan stakeholders pendidikan bisa difasilitasi dengan baik untuk membuat pendidikan di Indonesia semakin maju,” papar David.
Sementara itu, Karina Adistiana, psikolog pendidikan yang juga terlibat di Jaringan Pendidikan Alternatif, yang mencermati RUU Sisdiknas yang beredar tidak resmi, melihat bahwa pendidikan lebih dilihat dengan perspektif persekolahan. Kalau berniat membangun ekosistem pendidikan anak, tentunya pendidikan di luar persekolahan juga perlu dilibatkan.
Baca Juga: Masukan untuk RUU Sisdiknas
”Dalam pendidikan ini, justru pemerintah harus bisa menggiatkan keterlibatan publik. Sebab, untuk membesarkan anak, semua orang terlibat. Jadi, pelibatan publik harus benar-benar terjadi, termasuk yang bergerak di luar persekolahan,” ujar Karina.
Sejak dua tahun terakhir, ujar Karina, pegiat pendidikan alternatif/di luar persekolahan sudah merasa resah dengan berbagai kebijakan Kemendikbudristek. Perubahan struktur di Kemendikbudristek membuat perspektif pendidikan diarahkan tetap ke persekolahan. Ini tecermin juga di RUU Sisdiknas sehingga pegiat pendidikan di luar sekolah juga merasa ingin terlibat.
”Kalau mau mencerdaskan publik, ya, dengan segera menyosialisasikan dan memfasilitasi masyarakat,” kata Karina.
Tidak menolak revisi
Dalam webinar Satu Frekensi yang digelar Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia bertajuk ”Urgensi Penundaan Revisi UU Sisidiknas”, sebenarnya publik tidak menolak rencana untuk merevisi UU Sisdiknas saat ini. Namun, perubahan yang direncanakan dengan matang dan melibatkan pemangku kepetingan yang lebih luas akan mampu menghasilkan UU Sisdiknas yang visioner, yang mampu untuk menjawab tantangan saat Indonesia menghadapi bonus demografi tahun 2035 ataupun menyiapkan generasi emas 2045.
Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta Suyantoyang juga Ketua Komite Reformasi Pendidikan untuk menghasilkan UU Sisdiknas Tahun 2003 mengatakan, tiap UU selalu memiliki cacat bawaan meskipun dipikirkan banyak orang dan ahli. Ketika sudah diundangkan, tetap akan ada multitafsir karena terkait dengan kepentingan masing-masing individu ataupun golongan.
Baca Juga: RUU Sisdiknas Terbuka untuk Ditanggapi
”RUU Sisdiknas ini jangan terlalu banyak memiliki celah meksipun tidak bisa juga menutup celah sama sekali. Kalau dipikirkan tergesa-gesa, ya, nanti banyak celah untuk dipermasalahkan. Saat ini saja terlihat draf belum baik dan tahun 2023 sudah tahun politik,” kata Suyanto.
Ia mengenang, untuk merevisi UU Sisdiknas tahun 1989 menjadi UU Sisdiknas saat ini, pembuatan draf RUU Sisdiknas butuh waktu 3,5 tahun dengan terus memberi ruang aspirasi bagi banyak pemangku kepentingan pendidikan. Sebab, UU, selain harus melihat praktik yang terjadi di dalam masyarakat, juga harus visioner.
Desakan publik ini juga bisa dipahami, kata Suyanto, jika mengacu pada pengalaman Kemendikbudristek ketika memberlakukan PP No 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan. Baru diundangkan sudah diprotes publik, salah satunya karena di perguruan tinggi tidak mengatur mata kuliah wajib Pancasila dan Bahasa Indonesia. Akibatnya, PP Standar Nasional ini pun butuh direvisi.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan menilai substansi di dalam RUU Sisdiknas ini terkesan untuk pengekalan dari kebijakan Kemendikbudristek sekarang. ”Seharusnya visi dan perspektif UU lebih luas dari saat ini agar mampu menjawab tantangan hingga 20 tahun ke depan dengan asumsi atau prediksi,” ujar Hamid.
Hamid mengatakan, RUU Sisdiknas harus lebih luas dari kebijakan menteri sekarang. Karena itulah, RUU Sisdiknas harus dikaji ulang dan diperluas dengan perspektif jauh ke depan dan memberikan kontinuitas untuk kebijakan pendidikan yang lebih baik lagi.
”Bukan menolak revsi UU Sisdiknas, melainkan harus melihat bagaimana kedudukan sebuah UU, hal prinsip yang harus dicermati,” kata Hamid.
Salah satunya tentang persekolahan mandiri dan persekolahan biasa dalam sistem pendidikan nasional, kata Hamid, perspektif ini bisa jadi pemecah belah bangsa. ”Konsep ini, atau pasal yang berkenaan dengan itu, harus dihapus atau diganti. Semua anak bangsa harus mendapatkan pendidikan berkualitas, apalagi pendidikan dasar,” kata Hamid.
Segera dibuka
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan, RUU Sisdiknas saat ini masih dalam perencanaan. Setelah mendapat masukan dari uji publik yang digelar empat kali dengan melibatkan 42 organisasi pemangku kepentingan, mulai dari ahli penddiikan hingga ahli hukum, tim Kemendikbudristek sedang menggodok berbagai masukan sehingga siap menjadi naskah akademik dan RUU Sisdiknas yang bisa diakses publik secara resmi.
”Sebenarnya pelibatan publik yang dilakukan itu sudah cukup ekstensif. Kami mengundang banyak pemangku kepentingan dan mereka punya akses dan memberikan masukan lisan dan tertulis, misalnya ayat spesifik yang perlu diperbaiki. Itu sedang dalam proses kami cermati dan perbaiki. Tentu tidak semua masukan diakomodasi karena masukan dari berbagai pihak juga bisa saling bertentangan. Namun, yang jelas, kita pertimbangkan secara serius,” tutur Anindito.
Anindito mengatakan, drafberikutnya akan dipublikasikan lebih luas sehingga bisa dicermati berbagai pihak. ”Kami tidak alergi kritik dan masukan kritis. Kami merasa harus menjaga di antara pihak-pihak yang mendukung saja, tetapi tidak kritis dengan pihak yang mengkritisi RUU Sisdiknas . Jadi, kita ingin berdebat atau berargumentasi, tetapi subtantif. Kritis oke, tetapi semangatnya untuk melakukan perbaikan,” ujar Anindito.
Catatan: Tulisan ini telah mengalami editing ulang tanpa mengubah substansi.