Kita mungkin meletakkan makna-makna yang berbeda dari rumah sebelum dan selama pandemi. Maknanya dapat berubah dari positif menjadi lebih negatif, dari negatif menjadi positif, ataupun dari positif menjadi lebih positif.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Sebelum pandemi, sebagian dari kita mungkin jarang berpikir mengenai rumah. Rumah ada sebagai tempat untuk tinggal, tidur, ataupun bersantai, dan sudah ada yang mengurusnya.
Sebagian juga lebih sibuk di luar rumah, sering pergi meninggalkan rumah, bahkan jarang pulang. Kita menuntut atau terima beres begitu saja, bahwa rumah sudah diurus dengan baik, entah oleh pekerja rumah tangga, istri, ibu, maupun pihak lain yang tinggal di rumah, atau ditugasi mengurus rumah.
Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun membuat kita jadi lebih memperhatikan rumah. Mendadak semua harus jauh lebih banyak tinggal di rumah, karena rumah menjadi tempat yang dianggap jauh lebih aman untuk melakukan hampir semua hal.
Menarik bahwa saya menemukan laporan penelitian dari Yalçın dan Düzen (2021) yang mewawancarai 66 orang yang tinggal di beberapa kota berbeda di Turki. Mereka meneliti bagaimana individu memaknai rumah sebelum dan selama pandemi.
Bagaimanakah caranya agar orang luar, bila diperlukan, dapat masuk atau turut terlibat mengambil tindakan di sebuah rumah yang tidak aman bagi penghuninya? Bila itu tidak dapat dilakukan, bagaimanakah individu dapat melindungi dan membahagiakan dirinya sendiri?
Di Turki hampir semua orang tinggal di flat. Terbatasnya ruang menyebabkan balkon–atau ruang antara-menjadi area sangat penting untuk melakukan berbagai hal. Misalnya untuk bersantai, melihat pemandangan, makan dan minum, menjemur baju, hingga bercengkerama dengan tetangga atau teman. Banyak yang juga mengharapkan memiliki rumah yang lebih besar daripada yang ditinggalinya saat wawancara dilakukan.
Makna rumah
Ditanya mengenai apa yang membuat rumah dirasa nyaman, jawaban partisipan bervariasi. Ada yang menyinggung struktur rumah (misal ada balkon, kamar pribadi, dapur luas). Ada yang bicara mengenai kebebasan dalam rumah (misal dapat bersantai, memakai baju seenaknya, tidak diganggu orang lain). Ada yang menjawab terkait peran dan tanggung jawab (misal, terasa nyaman bila tidak harus membersihkan rumah, pekerjaan rumah sudah selesai). Yang terakhir adalah apabila rumah menghadirkan ketenangan dan suasana sunyi (bukan sepi).
Secara umum kita memaknai rumah sebagai ’tempat tinggal’ atau ’tempat untuk pulang’, yang konotasinya positif. Meski demikian, bukan tidak mungkin pada sebagian orang yang lebih kecil jumlahnya, rumah dimaknai kurang positif. Misalnya, rumah berarti ’tidak bebas’, ’kewajiban’, ’tempat yang membosankan’.
Penelitian Yalçın dan Düzen menemukan bahwa kita mungkin meletakkan makna-makna yang berbeda dari rumah sebelum dan selama pandemi. Maknanya dapat berubah dari positif menjadi lebih negatif, dari negatif menjadi positif, ataupun dari positif menjadi lebih positif lagi.
Sebagian melihat makna rumah berubah dari positif menjadi lebih negatif. Sebelum pandemi, rumah adalah ’tempat beristirahat’, atau ’tempat dapat melepas kangen dengan orangtua’. Sekarang menjadi ’harus memasak’, ’harus mengikuti aturan dari orangtua’, atau ’tempat yang membuat aku merasa jenuh dan bosan’.
Bagi yang lain, makna rumah menjadi lebih positif. Misalnya, dapat mengelola rumah dengan lebih baik, dapat berbicara dari hati ke hati dan menjadi lebih dekat dengan anak, atau jadi lebih bersyukur karena sadar ada keluarga atau orang dekat yang peduli.
Penelitian Yalçın dan Düzen membuat saya bertanya-tanya, bagaimana kita di Indonesia memaknai rumah sebelum dan selama pandemi? Barangkali tema jawabannya relatif sama. Kita sebelumnya kurang menghargai rumah, dan harus terus tinggal di rumah membuat kita sadar bahwa kita perlu merawat rumah dengan lebih baik, perlu membuatnya menjadi lebih menyenangkan untuk ditinggali.
Rumah aman
Di masa pandemi ini, rumah dapat bermakna segala-galanya, bahkan diartikan sebagai kehidupan itu sendiri. Ada yang menjawab, ”Sekarang ini rumah berarti ’hidup’. Sekolah ada di rumah, cari hiburan juga di rumah, bekerja dari rumah, beristirahat juga pasti di rumah. Rumah adalah segala-galanya.”
Yang tidak terungkap dari penelitian Yalçın dan Düzen ialah bagaimana rumah dirasakan oleh mereka yang pada kenyataannya tidak aman berada di dalamnya. Bila rumah bermakna segala-galanya, dan kita belum dapat keluar dari rumah, bagaimanakah mereka atau kita yang tidak aman berada di rumah dapat menjaga diri sendiri?
Saya jadi teringat kasus yang ditangani mahasiswa. Kami harusnya menangani klien dewasa, tetapi ternyata seorang gadis kecil usia 11 tahun menghubungi layanan psikologi daring di mana mahasiswa saya sedang bertugas. Gadis kecil ini ketakutan karena kakaknya telah beberapa kali melakukan pelecehan seksual padanya.
Ketika ditanya, ia bilang ia telah bercerita pada ibunya, tetapi ibunya kurang peduli. Ia tidak berani bercerita kepada ayahnya karena ayahnya sering memukul. Ia juga tidak tahu orang dewasa manakah yang dapat dimintainya pertolongan, karena dengan guru pun ia tidak pernah bertemu akibat sekolah dilaksanakan secara daring.
Bagaimanakah caranya agar orang luar, bila diperlukan, dapat masuk atau turut terlibat mengambil tindakan di sebuah rumah yang tidak aman bagi penghuninya? Bila itu tidak dapat dilakukan, bagaimanakah individu dapat melindungi dan membahagiakan dirinya sendiri? Pertanyaan ini saya ajukan karena saya memang belum memiliki jawabannya.
Ada yang merasa sangat nyaman, aman, dan bahagia di dalam rumahnya. Ia mengambil perumpamaan berikut: ”Rumah adalah tempatku bekerja. Dapurku adalah restoranku. Saya sangat mencintai halaman rumahku. Pasangan hidupku adalah kolegaku, dan rumahku adalah pusat hiburan.”
Semoga lebih banyak lagi dari kita yang dapat merasakan hal di atas mengenai rumah kita.