Pandemi Covid-19 memperdalam ketidaksetaraan jender di berbagai bidang, termasuk dalam pekerjaan. Kesetaraan jender memerlukan komitmen dari dunia usaha dalam memberdayakan perempuan sesuai potensinya.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Pandemi Covid-19 memperdalam ketidaksetaraan jender di berbagai bidang, termasuk dalam pekerjaan. Untuk memberdayakan perempuan di tempat kerja, hal itu membutuhkan komitmen dunia usaha.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga mengatakan, permasalahan kesetaraan jender sangat kompleks karena budaya patriarki berlangsung berabad-abad. Padahal, keterlibatan perempuan amat penting, termasuk di dunia usaha dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi.
“Kesetaraan jender di tempat kerja membutuhkan komitmen dunia usaha. Mari kita dobrak kebiasaan lama yang membatasi ruang gerak perempuan melalui aksi nyata dalam segala akses pembangunan,” ujarnya dalam diskusi daring bertema "Ring The Bell for Gender Equality 2022", di Jakarta, Rabu (9/3/2022).
Bintang menyebutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan pada 2021 sebesar 54 persen. Jumlah itu jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki sebesar 82 persen.
Ketimpangan juga terjadi pada rata-rata upah per bulan dengan Rp 2,1 juta untuk perempuan dan Rp 2,6 juta untuk laki-laki. Sementara pada kepemimpinan sektor usaha, berdasarkan data Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO Juni 2020, proporsi chief executive officer (CEO) masih 15 persen.
“Jumlah minimal untuk membawa perubahan dan memetik manfaat dari keberagaman jender sebesar 30 persen perempuan di tingkat direksi,” katanya.
Meningkatkan kreativitas
Menurut Bintang, pengarusutamaan jender berpotensi meningkatkan kreativitas, produktivitas, dan profit. Berdasarkan data McKinsey Global Institute, Indonesia dapat meningkatkan produk domestik bruto hingga 135 miliar dollar AS per tahun pada 2025 jika partisipasi ekonomi perempuan juga ditingkatkan.
Ada berbagai faktor penghambat pemberdayaan perempuan, di antaranya kurangnya pendidikan dan pelatihan, akses tidak setara terhadap hak seksual dan reproduksi, serta ketimpangan pembagian kerja rumah tangga dan relasi kuasa.
“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak meningkatkan akses perempuan prasejahtera terhadap permodalan dan pendampingan bisnis. Mendorong literasi digital dan keuangan,” katanya.
United Nations (UN) Women Representative and Liaison to ASEAN Jamshed M Kazi juga menekankan pentingnya partisipasi perempuan dalam mendongkrak ekonomi. Kontribusi dunia usaha akan mendorong perubahan berkelanjutan mencapai kesetaraan jender.
“Perempuan adalah penggerak pertumbuhan ekonomi. Saat ini kita fokus pada pemulihan dari pandemi. Kita punya kesempatan untuk membangun lebih baik dan lebih cepat dengan belajar dari komitmen aksi di masa lalu,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) Maya Juwita menambahkan, perusahaan yang memperlakukan perempuan secara baik turut berinvestasi pada bisnis yang lebih produktif. Pemenuhan hak perempuan tidak hanya membutuhkan dukungan kebijakan perusahaan. Namun, juga lingkungan yang tidak bias jender sehingga mencegah diskriminasi.
“Kesetaraan jender bukan hanya masalah perempuan. Kita juga perlu mengikutsertakan laki-laki dalam diskusi dan aksi untuk mencapainya (kesetaraan jender),” katanya.