Dukung Perempuan Pemimpin dengan Afirmasi dan Kesempatan Sama
Memberikan kesempatan perempuan berkontribusi dalam angkatan kerja berdampak positif bagi negara dan dunia. Selain memberikan kesempatan setara, harus ada afirmasi untuk perempuan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesetaraan jender memberikan kesempatan bagi perempuan dan laki-laki untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa dan dunia. Namun, kesempatan bagi para perempuan untuk masuk dalam dunia kerja di pemerintahan maupun korporasi hingga menjadi puncak pimpinan perlu terus didorong dan didukung. Ini di antaranya dengan memberikan lingkungan yang memberlakukan sistem meritokrasi dan afirmasi.
Para perempuan pemimpin juga dibutuhkan di pemerintahan maupun korporasi. Sebab, keseimbangan dalam kepemimpinan antara perempuan dan laki-laki dalam banyak hal lebih berdampak positif bagi kemajuan, kesejahteraan, dan perdamaian bersama di dalam masyarakat, bangsa, negara, dan dunia.
Dukungan untuk lebih banyak lagi perempuan pemimpin di Indonesia bermunculan mengemuka dalam diskusi virtual rangkaian acara Women in Leadership: Mengatasi Peluang dan Tantangan untuk Menjadi Pemimpin-Pengalaman dari Pemimpin Perempuan yang digelar Bank Dunia dan Kata Data Indonesia, Senin (7/3/2022). Tampil sebagai pembicara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Pendiri Wahid Institute Yenny Wahid, dan Duta Besar Australia untuk Indonesia Penny Williams PMS.
Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Satu Kahkonen mengatakan, perlu lebih banyak perempuan masuk di angkatan kerja. Ini supaya tenaga kerja dan industri kompetitif, dengan peningkatan keragaman keterampilan sehingga lahir lebih banyak ide baru dan inovasi. Dari berbagai riset global menunjukkan keragaman jender di posisi senior akan mampu meningkatkan kinerja bisnis. Namun secara global, perempuan dalam kepemimpinan baru berkisar 23 persen serta 6 persen CEO dan dewan direksi.
Ibaratnya sepasang sepatu, yang laki-laki dan perempuan kanan dan kiri. Keduanya harus sama supaya bisa selaras. Tidak mungkin yang sebelah sepatu datar, yang satunya high heels.
”Talenta perempuan belum optimal terjamah. Potensi perempuan harus didukung untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam pengambil keputusan dalam mewujudkan kesetaraan jender dan pembangunan yang sifatnya inklusif,” ujar Satu.
Partisipasi perempuan Indonesia di angkatan kerja masih 50 persen dalam 20 tahun terakhir, sedangkan di wilayah Asia Pasifik sudah sekitar 60 persen. Dengan peningkatan pendidikan dan kesehatan perempuan, perlu mendorong partisipasi perempuan di angkatan kerja dan kepemimpinan.
Saat ini ada kesenjangan tenaga kerja laki-laki dan perempuan di sektor formal sekitar 30 persen dan di informal sekitar 50 persen. Kesenjangan bisa diatasi dengan mempromosikan partisipasi perempuan di dunia kerja. Untuk itu, di dunia kerja perlu menyediakan tempat penitipan anak. Selain itu, dukungan instrumen keuangan digital yang dapat mendukung perempuan untuk bisa berwirausaha.
Retno mengatakan, profesi diplomat memang diidentikkan dengan dunia laki-laki. Namun, dengan sistem meritokrasi, terbuka pula bagi perempuan untuk menjadi diplomat. Bahkan Retno kini bisa menjadi perempuan pertama di Indonesia yang menjadi menteri luar negeri.
Hal senada disampaikan Sri Mulyani. Diskriminasi terhadap perempuan untuk mengembangkan potensi dirinya tidak boleh terjadi. Selain ada sistem meritokrasi, harus ditambah dengan langkah afirmasi karena kodratnya sebagai perempuan.
Sri mencontohkan, sebenarnya penerimaan pegawai di Kementerian Keuangan sudah 50 persen untuk laki-laki dan 50 persen perempuan. Sebab, ketika urusan kuliah dan perempuan tidak dibebani masalah keluarga, perempuan juga bisa menunjukkan performa baik dengan nilai tinggi.
Ketika meniti karier, perempuan mulai mengalami penurunan karena harus menghadapi berbagai pilihan. Di Kementerian Keuangan pun terlihat mulai eselon tiga ke atas, perempuan mulai tertinggal. Di eselon satu ada 16-17 persen perempuan, tetapi yang murni dari karier hanya dua orang, selebihnya staf khusus.
”Hal ini bukan karena sistem merit tidak adil. Tapi perempuan perlu diberi afirmasi, seperti ada tempat pengasuhan anak maupun afirmasi lainnya,” kata Sri.
Menurut Sri, negara harus hadir untuk mengatasi diskriminasi yang masih terjadi pada perempuan. Ia memandang kiprah jender berbeda dalam kepemimpinan bukan sebagai oposisi atau saling bersaing, tapi sebuah fitrah sebagai manusia yang diciptakan berpasangan.
”Ibaratnya sepasang sepatu, yang laki-laki dan perempuan kanan dan kiri. Keduanya harus sama supaya bisa selaras. Tidak mungkin yang sebelah sepatu datar, yang satunya high heels,” ujar Sri.
Yeni mengatakan di Indonesia, masih banyak masalah kultur, norma, agama, dan regulasi dalam memberikan kesempatan pada perempuan. Bahkan, di internal perempuan pun masih banyak yang belum sadar bahwa mereka bisa aktif berperan di masyarakat.
Salah satu yang dilakukan Wahid Institute lewat program Peace Village mengajak perempuan terlibat dalam perdamaian. Ketika perempuan terlibat, kemungkinan perdamaian bisa dipertahankan 15 tahun meningkat 35 persen.
”Kalau perempuan jadi pemimpin, negara tidak gampang konflik. Kita melihat perempuan pemimpin lebih punya kemampuan empati pada masyarakat. Dari performa pemimpin perempuan ketika mengatasi krisis pandemi, pemimpin perempuan membuat terobosan yang lebih empatik kepada masyarakat dan lebih menenteramkan,” kata Yeni.
Ada pula Pesantren Programmer untuk membekali para santri belajar teknologi informasi, ditambah pula dengan kepemimpinan dan kewirausahaan. Program ini untuk memfasiliatsi perempuan keluar dari zona nyaman dan berani mengambil risiko untuk mewujdukan cita-cita yang berbeda dari yang selama ini ada di sekelilingnya.
”Ketika perempuan mengambil keputusan untuk dirinya akan berdampak besar pada negara. Sebab, perempuan penerus peradaban sebuah bangsa. Salah satunya masalah kehamilan perempuan bukan hanya soal pribadi. Tapi kehamilan perempuan juga sebagai investasi bangsa. Karena itu, berikanlah fasilitas yang layak dan afirmasi bagi perempuan sehingga mudah ketika kembali bekerja,” kata Yeni.
Peny Wiliam mengatakan, ketika perempuan menjadi pemimpin dapat memberi nilai tambah dengan gaya kepemimpinan yang beragam. Perempuan perlu punya panutan (role model) menjadi perempuan pemimpin yang bisa menyeimbangkan karier dan keluarga, sehingga memunculkan inspirasi dan percaya diri untuk mencapai yang terbaik dalam kehidupannya, termasuk menjadi perempuan pemimpin.