Pemda Berkewajiban Menjaga Bahasa dan Sastra Daerahnya
Pemerintah daerah wajib melakukan perlindungan terhadap bahasa daerahnya masing-masing agar terhindar dari kepunahan. Banyak faktor yang menyebabkan kepunahan, mulai dari faktor internal hingga pengaruh globalisasi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pemerintah daerah wajib melakukan perlindungan terhadap bahasa daerahnya masing-masing agar terhindar dari kepunahan. Banyak faktor yang menyebabkan kepunahan, mulai dari faktor internal dan pengaruh globalisasi.
Hal ini disampaikan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Aminuddin Aziz seusai memberikan Kuliah Umum Kebahasaan di Universitas PGRI Palembang, Selasa (1/3/2022).
Kewajiban tentang perlindungan bahasa telah tertuang dalam Undang-Undang (UU) tahun 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
”Dalam kedua UU itu disebutkan pemerintah daerah wajib melindungi, mengembangkan, dan membina bahasa aksara dan sastra daerahnya,” katanya. Jika akhirnya, bahasa, aksara, atau sastra itu punah, bisa dipastikan itu adalah dosa dari pemerintah daerah.
Atas dasar itulah, pemerintah daerah berkewajiban menyediakan anggaran untuk pengembangan bahasa daerah. Alasannya pemda pula yang memiliki kebijakan dan sumber daya. Adapun langkah koordinasi dengan lembaga bahasa di pusat termasuk dengan Kantor Balai Bahasa yang tersebar di 30 provinsi di Indonesia, itu terkait kepakarannya.
Hasil riset menunjukkan Indonesia setidaknya memiliki 718 bahasa daerah dengan tingkat daya hidup (vitalitas) yang berbeda. Ada yang berstatus aman, rentan, mengalami kemunduran, terancam punah, dan punah.
Berdasarkan hasil riset tahun 2019, diketahui ada 11 bahasa daerah yang punah. Sebagian besar ada di Indonesia bagian timur. Bahkan pada tahun 2021, ada 12 bahasa daerah yang juga mengalami kemunduran. Bahkan beberapa di antaranya berada di Indonesia bagian barat dan tengah.
Upaya ini sebagai bentuk perlindungan terhadap bahasa yang ada di Sumsel. (Cahyo Sulistyaningsih)
Dikatakan mengalami kemunduran lantaran jumlah penuturnya yang kian menurun. ”Bahkan kecenderungan penurunan penggunaan bahasa itu terjadi secara konstan. Jika tidak dicegah, bisa saja punah. Situasi inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah daerah,” ungkapnya.
Punah
Aminuddin menjelaskan ada beberapa penyebab sebuah bahasa daerah mengalami kemunduran, yakni adanya sikap penutur yang sudah menganggap bahasa daerah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Faktor lain adalah perpindahan atau migrasi sang penutur ke daerah lain yang memiliki bahasa daerah yang berbeda.
Pengaruh kawin silang di mana suami-istri berasal dari daerah yang berbeda akan membuat anaknya kesulitan menggunakan bahasa daerah. Terakhir, adalah pengaruh globalisasi juga menjadi pengikis bahasa daerah karena penutur memilih untuk menggunakan bahasa dari negara yang kuat secara politik dan ekonomi, misalnya saja bahasa Inggris dan bahasa Mandarin.
Aminuddin mengakui kepunahan bahasa daerah memang akan terus mengancam daerah yang jumlah penduduknya sedikit. Sebaliknya bagi daerah yang jumlah penuturnya besar akan sangat kecil kemungkinan bahasa daerahnya mengalami kemunduran. Apalagi jika daerah tersebut memiliki kekuatan dan pengaruh yang kuat di suatu negara. Untuk di Indonesia, Aminuddin mencontohkan seperti Bahasa Jawa dan Sunda.
Karena itu, upaya perlindungan melalui konservasi dan revitalisasi bahasa, aksara, dan sastra adalah kewajiban dari pemerintah daerah. Itu karena budaya tersebut merupakan kekayaan dan aset dari daerah mereka. Perlindungan bahasa daerah juga bisa dilakukan dengan merangkul komunitas atau mengajak BUMD menggelontorkan dana CSR untuk kegiatan pengembangan bahasa daerah.
Pemerintah pusat pun sudah berupaya melestarikan bahasa daerah dengan menyisipkan sejumlah bahasa daerah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dari pencetakan awal pada tahun 1989 hanya menggunakan lima kata dari bahasa daerah sekarang sudah mencapai 113 kata.
Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan Umar Sholikan menyebut tidak ada satu pun bahasa daerah di Sumsel yang punah. Namun, ada di antaranya yang mengalami kemunduran.
Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah kemunduran tersebut seperti melakukan konservasi, revitalisasi, pencatatan, dan registrasi. Untuk langkah konservasi, lanjut Umar, dilakukan dengan melakukan kajian dari berbagai aspek baik dari sisi fonologi, sintaksis, dan morfologi dari sebuah bahasa untuk kemudian dipersiapkan untuk dikembangkan.
Adapun langkah revitalisasi dilakukan dengan mengadakan pembelajaran kepada generasi muda dalam bentuk muatan lokal, serta praktik dan pembiasaan. Beberapa bahasa yang sudah dilakukan revitalisasi seperti bahasa Melayu, Komering, dan Lematang. Tahun ini akan dikembangan ke bahasa Besemah.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel Cahyo Sulistyaningsih menyebut ada 43 bahasa di Sumsel yang sudah dicatatkan dalam obyek kemajuan kebudayaan yang didasari pada Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah. ”Upaya ini sebagai bentuk perlindungan terhadap bahasa yang ada di Sumsel," katanya.
Hanya memang ada sejumlah kendala yang dialami untuk menjadikan bahasa di Sumsel sebagai warisan budaya tak benda. Salah satunya adalah kurang lengkapnya kajian karena tidak ada tim ahli dari daerah tersebut.
Namun, upaya tersebut tidak boleh berhenti agar bahasa yang ada di Sumsel tidak punah. ”Langkah ini akan diantisipasi dengan pembentukan tim ahli,” kata Cahyo.