Gotong Royong Mencegah Putus Sekolah
Akses siswa miskin bersekolah masih sering terkendala biaya, sehingga mereka terpaksa putus sekolah. Gotong royong berbagai pihak diperlukan untuk menekan angka putus sekolah.
Saat Indonesia menghadapi masa bonus demografi, generasi muda yang produktif dan berkualitas seharusnya jadi andalan. Namun, bagi anak-anak dari keluarga miskin, kontribusi untuk menyukseskan bonus demografi masih jauh dari jangkauan. Putus sekolah justru jadi bagian dari persoalan anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin yang membuat mereka terjebak menjadi pekerja anak, anak jalanan, hingga menikah di usia muda.
Fenomena anak putus sekolah masih membayangi wajah pendidikan Indonesia. Berbagai inisiatif pemerintah, komunitas, individu, hingga dunia usaha pun bermunculan untuk mencegah putus sekolah hingga mengembalikan asa yang sempat pudar di wajah anak-anak.
Sarimatia Andani Ataambu, Koordinator Tutor Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Satriabudi Dharma Setia di Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, sejak awal tahun 2021 lalu semakin giat turun ke berbagai desa di sejumlah kecamatan di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Dengan dukungan Yayasan Satriabudi Dharma Setia yang didirikan pegiat pendidikan non-formal, Erlina VF Ratu bersama anak-anaknya, terobosan baru ditawarkan untuk menjangkau anak-anak usia sekolah maupun orang dewasa agar bisa menyelesaikan pendidikan setara sekolah formal lewat pendidikan kejar paket.
Kabar anak-anak desa yang sulit bersekolah karena pandemi Covid-19, membuat Andani prihatin. Anak-anak usia sekolah dari desa yang bersekolah di Kota Waingapu banyak yang kembali ke kampung karena tak sanggup lagi membayar kos atau mencukupi kebutuhan hidup. Di desa pun, banyak anak putus sekolah karena lokasi SMA/SMK jauh dari desa.
“Ada cara untuk bisa bersekolah kembali dengan PKBM. Tapi adanya di Waingapu, yang berarti harus siap keluar biaya. Saya merasa senang ketika ada tawaran untuk memberikan layanan PKBM dengan menyediakan tutor di desa. Jadi, anak-anak putus sekolah bisa belajar dengan modul yang sudah disiapkan. Secara rutin tutor datang ke desa untuk membantu warga belajar dari yang usia sekolah hingga di atas 25 tahun,” kata Andani, Selasa (1/3/2022).
Sebanyak 228 warga bisa dijangkau PKBM Satriabudi Dharma Setia untuk mengikuti pendidikan kesetaraan secara gratis. Warga yang mendapat bantuan tutor kesetaraan diminta berkomitmen untuk belajar.
“Kami sampaikan, kesempatan untuk bisa belajar kembali secara gratis ini bukan untuk mendapat ijazah saja. Yang terpenting justru mereka bisa belajar kembali dengan bantuan modul yang bisa dipelajari sendiri, nanti dibimbing tutor jika ada yang tidak paham,” kata Andani.
Dengan layanan tersebut, sepasang remaja yang dikeluarkan dari sekolah di SMA di Kota Waingapu karena salah pergaulan merasa menemukan secercah harapan. Kedua anak muda ini terpaksa menikah karena hamil di luar nikah.
Kini, mereka punya satu anak usia satu tahun dan tinggal menumpang di rumah orangtua dari pihak laki-laki.
Adanya akses untuk bisa lulus SMA dengan kejar Paket C membuat asa pasangan muda itu kembali bersinar.
Keduanya rajin ikut belajar di PKBM Satriabudi bersama Andini. “Mereka merasa menyesal karena sudah salah bergaul. Namun, (kini mereka) punya mimpi untuk bisa kuliah,” kata Andani.
Baca juga: Gotong Royong Beasiswa di Surabaya untuk Siswa dari Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Mendampingi belajar
Di kantong-kantong kemiskinan di Jakarta, komunitas Rumah Belajar Pelangi Nusantara yang didirikan sejak 2010, mendampingi anak-anak dari keluarga prasejahtera untuk bermain dan belajar bersama. Semula, kegiatan ini dilakukan di beberapa titik di Jakarta, seperti Muara Angke, Pantai Indah Kapuk, dan Rawamangun. Namun, karena beberapa alasan, kegiatan tersebut kini hanya berlangsung di kawasan padat penduduk di Rawamangun.
“Ada 60-70 anak yang biasanya mengikuti kegiatan kami, sementara jumlah pasti relawan ada dua orang. Kami baru mengadakan dua kali pertemuan di tahun 2022. Untuk sementara, kegiatan diliburkan karena kasus Covid-19 kembali naik,” kata Pendiri Rumah Belajar Pelangi Nusantara Valentina Sastrodihardjo.
Anak-anak tersebut berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang bersekolah di sekolah formal, PKBM, dan ada pula yang tidak sekolah. Meskipun ada sejumlah skema bantuan pendidikan seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP), layanan pendidikan tidak serta-merta bisa diakses semua anak.
Beberapa dari mereka tidak memiliki akta lahir. Nama mereka juga ada yang tidak tercatat di Kartu Keluarga. Padahal, data tersebut penting untuk mengakses layanan pendidikan.
Itu sebabnya, ia dan sejumlah relawan turun ke lapangan membantu anak-anak belajar. Sebelum pandemi, kegiatan ini rutin dilakukan tiap pekan. Kegiatan sempat berhenti di beberapa bulan pertama pandemi. Setelah itu, kegiatan kembali dilakukan secara terbatas. Kelas dibagi dua kloter dengan durasi masing-masing 30-45 menit.
Ada juga Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA) yang fokus ke pendidikan anak usia dini. Sekolah informal yang dibuat sejak dua dekade lalu ini terbuka untuk anak-anak keluarga prasejahtera secara gratis. Selain itu, SAAJA juga membuka program bimbingan belajar gratis untuk anak SD-SMA. Program ini sempat dihentikan selama pandemi dan baru kembali aktif per Februari 2022.
Kepala SAAJA Kristina Iin Dwiyanti mengatakan, sekolah itu menampung anak-anak dari permukiman di sekitar kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Profesi orangtua mereka beragam, antara lain pemulung, pembersih makam, dan asisten rumah tangga.
Sekolah ini mengandalkan dana donatur untuk beroperasi. Sesekali ada perusahaan atau perguruan tinggi yang datang untuk bekerja sama, misalnya untuk kegiatan tanggung jawab korporasi (CSR) dan kuliah kerja nyata (KKN). “Tidak ada donatur tetap. Walau kadang kami tidak memiliki pemasukan dan mesti beroperasi secara terbatas, tapi kami tetap berusaha agar anak tidak berhenti belajar. Rezeki untuk anak itu pasti ada,” kata Iin.
Baca juga: Puluhan Ribu Anak Putus Sekolah di Usia Wajib Belajar
Orangtua asuh
Upaya mencegah anak putus sekolah juga muncul dari berbagi pemerintah daerah. Ada yang mengandalkan APBD hingga mengajak masyarakat dan perusahaan untuk berperan serta.
Selama 2021, tercatat 1.753 ASN di lingkungan pemkot menjadi orangtua asuh. Para ASN itu menanggung biaya pendidikan sebanyak 2.800 anak asuh dari kalangan MBR.
Di Kota Surabaya, terdapat program beasiswa bagi pelajar dari keluarga masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang sudah berlangsung sejak 2013, dipelopori oleh Tri Rismaharini ketika menjadi Wali Kota Surabaya. Program tersebut mengajak siapapun untuk menjadi orangtua asuh pelajar dari keluarga yang tidak mampu yang dijaring oleh Pemkot untuk jenjang SMP Swasta.
Yang bisa menjadi orangtua asuh tidak hanya organisasi, lembaga, atau yayasan, tetapi juga individu hingga aparat sipil negara (ASN) di lingkungan Pemkot Surabaya. Khusus bagi ASN Pemkot Surabaya, dana beasiswa per siswa Rp 125.000/bulan langsung dipotong dari gaji mereka.
Sebagai contoh, menurut mantan Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya yang kini sebagai staf ahli wali kota Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia Pemkot Surabaya Supomo, selama 2021, tercatat 1.753 ASN di lingkungan pemkot menjadi orangtua asuh. Para ASN itu menanggung biaya pendidikan sebanyak 2.800 anak asuh dari kalangan MBR.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, upaya mencegah putus sekolah dilakukan melalui alokasi APBD lewat program Kartu Cerdas untuk siswa dari keluarga kurang mampu. Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY Didik Wardaya mengatakan, pihaknya melakukan sosialisasi dan advokasi di wilayah-wilayah yang memiliki banyak anak rawan putus sekolah. Sosialisasi itu dilakukan untuk mendorong agar anak-anak yang putus sekolah memiliki motivasi melanjutkan pendidikan.
Didik menyebut, sosialisasi dan advokasi itu tidak hanya menyasar anak selaku peserta didik, tapi juga para orangtua. Sebab, orangtua juga memiliki peran penting untuk memastikan anak-anak mereka tidak putus sekolah.
Apabila ditemukan ada anak yang tidak sekolah, maka pihak sekolah di sekitar tempat tinggal anak tersebut harus berupaya mengajak mereka sekolah. "Kami minta teman-teman kepala sekolah, jika di lingkungan sekolah terdapat anak usia sekolah yang tidak sekolah karena faktor biaya, ya kewajiban kita untuk menarik supaya mereka mau sekolah," ungkap Didik.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Jasra Putra mengatakan, pendidikan ialah hak anak. Memastikan anak-anak memperoleh pendidikan sama dengan memastikan terciptanya generasi emas di tahun 2045.
Baca juga: Mimpi Bersekolah yang Terkubur di Usia Belia
“Semua anak harus diberi kesempatan memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Ini berlaku ke semua anak, baik difabel maupun anak dari berbagai latar belakang ekonomi dan sosial,” ujar Jasra. (ELN/SKA/ETA/HRS/NSA/FRN/COK)