Masalah Ekonomi hingga Minimnya Bimbingan Sebabkan Anak Putus Sekolah
Masalah ekonomi hingga kurangnya bimbingan selama pelajaran jarak jauh menjadi faktor risiko anak putus sekolah. Pemetaan dampak pandemi terhadap pendidikan pun dibutuhkan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 meningkatkan risiko putus sekolah pada anak. Selain terkendala faktor ekonomi, minimnya bimbingan saat anak belajar di rumah dan hilangnya capaian belajar memicu juga menjadi alasan.
Pada masa pandemi 2021-2022, angka putus sekolah tertinggi terjadi di jenjang SMP, yakni 15.042 anak. Angka ini lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yaitu 11.378 anak. Sementara itu, jumlah siswa SMK yang putus sekolah pada 2021 sebanyak 13.951 anak.
Sebelumnya, pada 2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat ada 157.166 anak putus sekolah di tingkat pendidikan dasar dan menengah (Kompas, 23/7/2020).
Pada Juni 2020, Bank Dunia memperkirakan sekitar tujuh juta siswa sekolah dasar hingga menengah terancam putus sekolah akibat pandemi. Adapun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memprediksi 24 juta siswa prasekolah hingga pendidikan tinggi putus sekolah.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan, ada berbagai faktor yang menyebabkan anak putus sekolah. Salah satu alasannya adalah anak diajak keluarga untuk bekerja. Pekerjaan tersebut biasanya nonformal, seperti pekerjaan di sektor perkebunan atau di usaha milik keluarga.
”Ada keluarga yang melihat bahwa proses pendidikan belum berjalan normal sehingga anak diajak bekerja. Ini berpotensi menyebabkan putus sekolah,” kata Jasra, Senin (28/2/2022). ”Hal itu ditambah dengan keterbatasan gawai (untuk belajar jarak jauh) dan minimnya pendampingan belajar di rumah akan berpengaruh ke pendidikan anak,” tambahnya.
Suasana rumah yang tidak kondusif juga menyulitkan anak untuk belajar. Yang terjadi kemudian adalah hilangnya capaian belajar atau learning loss. Menurut Jasra, hal tersebut mengurangi semangat belajar anak dan berpotensi berujung ke putus sekolah.
”Pihak sekolah perlu jemput bola. Artinya, jika ada anak yang tidak ikut belajar, guru mesti curiga dan tanyakan masalahnya ke anak. Komunikasi perlu dijalin. Ini butuh peran guru bimbingan konseling, wali kelas, dan orangtua,” ucap Jasra.
Pihak sekolah perlu jemput bola. Artinya, jika ada anak yang tidak ikut belajar, guru mesti curiga dan tanyakan masalahnya ke anak. Komunikasi perlu dijalin. Ini butuh peran guru bimbingan konseling, wali kelas, dan orangtua. (Jasra Putra)
Ia mendorong agar pemerintah mengevaluasi proses belajar dan mengajar yang berjalan selama ini. Pemerintah daerah juga didorong untuk memetakan anak-anak yang putus sekolah akibat pandemi. Anak-anak yang putus sekolah juga didorong untuk mengikuti ujian kesetaraan sekolah, yaitu Kejar Paket A, B, dan C.
Tantangan ganda
Menurut pendiri komunitas Rumah Belajar Pelangi Nusantara, Valentina Sastrodihardjo, anak dari keluarga prasejahtera menghadapi tantangan pendidikan ganda saat pandemi. Mereka kesulitan belajar dari rumah karena tidak memiliki gawai yang mumpuni. Selain itu, tidak semuanya mampu membeli kuota internet. Di sisi lain, mereka juga tidak punya pendamping belajar di rumah.
”Orangtua mesti bekerja keras mengajarkan anak di rumah. Sebagian orangtua adalah tamatan SD. Selain itu, tidak semua orangtua sabar menghadapi anaknya dan tidak semua mampu mengajar dengan bahasa yang sederhana,” kata Valentina.
Pengajar dan kepala sekolah nonformal Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA), Kristina Iin Dwiyanti, mengatakan, sekolahnya membuka bimbingan belajar gratis untuk siswa SD-SMA. Tujuannya untuk membantu anak-anak keluarga prasejahtera memahami pelajaran, terutama matematika dan bahasa Inggris. Bimbingan belajar berlangsung terbatas secara luring.