Ketika Putusan Soal Restitusi Jadi Polemik
Meski diatur oleh undang-undang, pembayaran restitusi bagi korban kekerasan seksual hingga kini belum terealisasi secara optimal. Bahkan jumlah restitusi yang dibayarkan pelaku kepada korban masih sangat rendah.
Selama dua pekan terakhir, putusan majelis hakim di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, terhadap terdakwa Herry Wirawan (36) mendapat perhatian publik, bahkan diangkat menjadi topik diskusi oleh sejumlah organisasi dan lembaga. Putusan tersebut mengundang perdebatan, bukan karena vonis seumur hidup terhadap terdakwa, tetapi karena putusan hakim terkait restitusi yang baru pertama kali dibebankan pada negara.
Seperti diberitakan, pada Selasa (15/2/2022), majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung yang diketuai Yohanes Purnomo Ali menghukum terdakwa Herry dengan pidana penjara seumur hidup. Oleh karena divonis seumur hidup, terdakwa tidak dibebankan membayar restitusi atau ganti rugi, bahkan tidak dikebiri.
Namun, majelis hakim memutuskan pembayaran restitusi kepada 12 korban (1 korban mundur ketika mengajukan permohonan restitusi) dengan nilai total Rp 331.527.186 dibebankan kepada negara melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Yang dimaksud dengan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.
Putusan tersebut menarik, karena dalam putusannya, majelis hakim yang memerintahkan negara membayar restitusi pada korban merupakan yang pertama kali terjadi dalam pengadilan kasus kekerasan seksual. Selama ini,pelaku yang dibebankan untuk membayar restitusi. Mengenai jumlah restitusi yang akan diberikan pelaku pada korban, penghitungannya dilakukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Baca juga : Restitusi Bisa Dibayar Lebih Dulu oleh Negara
Jika dilihat dari sisi korban, putusan pembayaran restitusi tersebut diapresiasi publik. Majelis hakim dinilai memiliki perspektif perlindungan korban. Sebab, selama ini meskipun sudah ada aturan tentang restitusi, belum semua majelis hakim yang mengadili perkara kekerasan seksual dalam memutus perkara, menyertakan perintah pembayaran restitusi pada korban.
Kalau pun ada putusan restitusi terhadap korban kekerasan seksual, jumlahnya sangat kecil. Dari laporan LPSK tahun 2020, dari jumlah total Rp 2,130 miliar restitusi yang dihitung LPSK, yang dikabulkan hakim hanya sekitar Rp 229 juta, dan yang dibayarkan kepada korban kekerasan seksual hanya sekitar Rp 10 juta.
Rendahnya angka pembayaran restitusi kepada korban, karena sejumlah alasan. LPSK menyebutkan sejumlah tantangan pemenuhan restitusi dalam proses peradilan, antara lain penghitungan restitusi tidak masuk ke dalam tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). JPU beralasan tidak memiliki dasar hukum untuk menuntut restitusi kepada terdakwa, atau penghitungan restitusi tidak dikabulkan hakim karena sejumlah faktor.
“Restitusi tidak dibayarkan, juga karena proses hukum berhenti atau dihentikan, namun berkas tuntutan restitusi sudah masuk ke jaksa penuntut umum,” ujar Wakil Ketua Umum LPSK, Livia Istania Iskandar.
Maka, ketika ada putusan restitusi dari majelis hakim PN Bandung terhadap para korban kekerasan seksual, hal tersebut dianggap sebagai bentuk keberpihakan hakim pada para korban yang mengalami penderitaan akibat perbuatan terdakwa.
Persoalannya, apakah putusan tersebut bisa dijalankan? Mengingat dalam putusan tersebut yang diperintahkan membayar restitusi adalah Kementerian PPPA. Selama ini, yang dibebankan membayar restitusi adalah pelaku. Lalu, pertanyaannya, bagaimana Kementeriaan PPPA membayarnya? Alokasi anggarannya dari mana? dan sejumlah pertanyaan lainnya.
Baca juga : Komnas Perempuan Pertanyakan Putusan Restitusi Korban Herry Wirawan
Atas putusan hakim tersebut, Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyatakan menghormati putusan tersebut. Namun dia menegaskan putusan penetapan restitusi tersebut tidak memiliki dasar hukum. Sebab, dalam kasus ini, Kementerian PPPA tidak dapat menjadi pihak ketiga yang menanggung restitusi.
Dasarnya adalah Pasal 1 UU 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyebutkan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada jorban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Sementara itu, soal pihak ketiga, belum ada pengertian yang baku terkait “pihak ketiga”, sehingga berpeluang adanya kekeliruan penafsiran sampai dengan pelanggaran asas kepastian hukum.
“Dalam kasus ini (Herry Wirawan), restitusi tidak dapat di bebankan kepada Kementerian PPPA. Namun, Kementerian PPPA berperan mendampingi dan memastikan korban mendapatkan restitusinya,” papar Deputi Perlindungan Khusus Anak, Kementerian PPPA, Nahar dalam Media Briefing dengan bertema “Restitusi vs Kompensasi bagi Korban Kekerasan Seksual” yang digelar Lembaga perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Rabu (23/2/2022).
Akan mematuhi
Meski demikian, jika restitusi tetap dibebankan pada negara, Kementerian PPPA menyatakan sesuai perintah KUHAP, negara tetap harus mematuhi dan melaksanakan segera putusan majelis hakim. Namun, hal itudikhawatirkan berpotensi menghilangkan efek jera dan pelaku bebas dari tanggungjawabnya, karena akanberdampak pada pemahaman masyarakat bahwa pelaku kekerasan seksual cukup mendapatkan hukuman penjara, dan membenarkan bahwa restitusi dibayarkan oleh negara.
“Perlu payung hukum baru, yang mengakomodasi secara rinci dalam peraturan perundang-undangan terkait mekanisme pembayaran restitusi oleh pihak ketiga, termasuk definisi pihak ketiga yang membayarkan restitusi,” ujar Nahar.
Eksekusi putusan hakim terkait restitusi dikhawatirkan tidak berjalan mulus. Sebab, hingga kini belum adanya payung hukum yang mengatur tata cara dan prosedur jaksa dalam melaksanakan putusan pengadilan untuk melaksanakan pemberian restitusi oleh pemerintah. “Akibatnya, tidak adanya jaminan bagi korban untuk memperoleh hak atas restitusi, dan akhirnya tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi korban,” papar Nahar.
Seperti diketahui, dalam perkara Herry Wirawan, PN Bandung menghukum terdakwa Herry dengan pidana penjara seumur hidup. Herry dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan, yakni memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya sehingga menimbulkan korban lebih dari satu orang (13 orang). Dari perbuatan tersebut, lahir sembilan bayi dari delapan korban. Satu korban bahkan melahirkan dua kali.
Baca juga: Pembelajaran dari Vonis Herry Wirawan
Terhadap putusan PN Bandung, LPSK juga menilai hakim tidak tepat membebankan pidana tambahan berupa restitusi kepada negara melalui Kementerian PPPA. Alasannya, restitusi merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Namun, Peraturan Pemerintah No 43/2017 Tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban, tidak dikenal pihak ketiga.
Negara bukanlah pihak ketiga dalam perkara ini. Karena negara tidak ada hubungan dengan perbuatan pidana pelaku. Pihak ketiga haruslah pihak jelas hubungan hukumnya dengan pelaku, misal, keluarga dan yayasan dari pelaku,” ujar Edwin Partogi Pasaribu, Wakil Ketua LPSK seraya mencontohkan dalam kasus perdagangan orang ada pihak yang membayar restitusi. Karena itulah, LPSK merekomendasikan pembayaran restitusi dapat dibebankan dari aset yayasan pelaku. Caranya, yayasan bubarkan lebih dahulu, lalu aset disita dan dijual untuk pembayaran restitusi.
Kepentingan korban
Ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo, menilairestitusi harus dilihat sebagai program untuk memulihkan korban, dan berperan penting dalam merehabilitasi korban. “Jadi restitusi itu bukanlah hukuman, atau alternatif pidana penjara atau denda. Restitusi tidak bisa gantikan pidana lain,” tegas Harkristuti yang juga Tim Penyusun Undang Undang 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Jadi restitusi itu bukanlah hukuman, atau alternatif pidana penjara atau denda. Restitusi tidak bisa gantikan pidana lain
Meski negara bisa memberikan ganti rugi, karena negara punya mandat melindungi warganya, terkait putusan hakim soal pembayaran restitusi kepada korban kekerasan seksual, Harkristuti melihat ada kerancuan, karena membebankan restitusi kepada Kementerian PPPA. “Saya senang pengadilan sudah berorientasi pada kepentingan korban, tapi tidak seyogyanya kepentingan korban ini dijadikan alasan untuk melanggar ketentuan yang sudah ada,” ujar Harkristuti,
Kritik juga dilontarkan Erasmus Abraham Todo Napitupulu, Direktur Eksekutif Institute For Justice Reform (ICJR).Ia menegaskan dari sejumlah kajian ICJR menemukan ada masalah administrasi dalam pelaksanaan restitusi. Selain ada beban untuk korban ketika harus mengajukan restitusi, juga ada masalah dalam pengaturan komponen restitusi yang berbeda dan ketidakjelasan mekanisme penghitungan ganti kerugian. “Tidak ada penjelasan bagaimana konsekuensinya jika restitusi tidak dibayarkan,” paparnya.
Di tengah perdebatan, apakah putusan pembayaran restitusi terhadap para korban kekerasan seksual dengan terdakwa Herry Wirawan bisa dijalankan atau tidak? Wakil Ketua MPR, Arsul Sani, berpendapat meskipun proses hukum berlanjut (proses banding dan seterusnya), demi kepentingan korban, sebenarnya pemerintah bisa mencari cara atau alternatif lain agar dapat membayar lebih dulu restitusi kepada para korban.
Dia mengusulkan, supaya tidak menyalahi aturan keuangan negara, pemerintah bisa mengalokasikan anggaran melalui Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN), dengan pertimbangan kondisi yang dialami para korban kekerasan seksual sebagai kondisi darurat.
Usulan Arsul tersebut cukup masuk akal dan bisa diterima sejumlah kalangan termasuk Kementerian PPPA, demi untuk memulihkan para korban secepatnya. Sebab, jika menunggu putusan perkara Herry Wirawan berkekuatan hukum, waktunya pasti akan lama, sementara para korban membutuhkan upaya pemulihan yang cepat. Apalagi, delapan korban memiliki anak, akibat persetubuhan yang dilakukan terdakwa.
Maka, semakin cepat korban mendapatkan restitusi maka semakin baik. Setidaknya, ada kepastian putusan hakim PN Bandung soal restitusi bisa dilaksanakan, sehingga putusan hakim tidak hanya berhenti di teks putusan tetapi tidak bisa dieksekusi.