Pelestarian batik terhambat regenerasi. Pandemi Covid-19 membuat para pembatik beralih profesi, sementara generasi muda ragu dengan industri batik karena faktor ekonomi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/ LUCKY PRANSISKA
Proses mencuci batik yang diberi pewarna alami di sentra batik Betawi di Palbatu, Jakarta Selatan, Rabu (31/8/2016). Batik Palbatu memproduksi batik-batik tulis motif baru khas Betawi.
JAKARTA, KOMPAS – Keberlanjutan batik di Indonesia terhambat isu regenerasi. Pandemi memicu hilangnya perajin batik dalam jumlah besar, sementara itu sebagian generasi muda enggan berkecimpung di industri batik karena pertimbangan ekonomi.
Menurut data Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), jumlah pembatik di Indonesia turun 80 persen selama pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, jumlah pembatik mencapai 131.568 orang dan kini tinggal sekitar 26.000 orang. Menurut Ketua Umum APPBI Komarudin Kudiya, para pembatik beralih profesi selama pandemi. Ada yang melaut, bertani, menjadi tukang kayu, tukang batu, maupun perajin rotan.
“Saat pindah profesi, kami khawatir keahlian atau keterampilan motorik halus mereka untuk membatik ikut berubah,” kata Komarudin saat dihubungi, Kamis (24/2/2022).
HARIS FIRDAUS
Pendiri usaha Batik Jolawe, Dedi H Purwadi, menyelesaikan karya batik buatannya, Jumat (20/8/2021), di rumahnya di Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Batik Jolawe merupakan usaha batik yang memproduksi batik dengan pewarna alam.
Alih profesi disebabkan pula oleh kondisi penjualan batik selama pandemi. Ia mengatakan, kunjungan publik ke pameran batik maupun toko batik menurun. Hal ini berpengaruh ke turunnya penjualan batik.
Pendiri komunitas Kesengsem Lasem Agni Malagina mengatakan, berdasarkan diskusi dengan para pegiat batik di Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta sebelumnya, regenerasi menjadi isu yang dikeluhkan para pembatik yang kini berusia 40-80 tahun. Anak-anak mereka lebih memilih bekerja di pabrik atau kantor daripada meneruskan pekerjaan orangtuanya sebagai pembatik.
Para pembatik kesulitan mencari pembatik muda yang sesuai kriteria, yakni yang memiliki tingkat kehalusan (membatik yang tinggi), punya keterampilan, serta yang memiliki etos kerja
Ekonomi dinilai menjadi isu utama keengganan anak muda menekuni batik. Menurut Agni, belum banyak rumah batik yang menjamin kesejahteraan para pekerja yang terlibat dalam industri batik. Generasi muda pun memilih pekerjaan dengan Upah Minimum Regional (UMR) agar bisa memenuhi kebutuhan hidup.
Hal tersebut mendorong putusnya warisan pengetahuan dan keterampilan membatik. Padahal, keterampilan membatik secara halus hanya bisa didapatkan dengan praktik dalam jangka waktu panjang.
“Para pembatik kesulitan mencari pembatik muda yang sesuai kriteria, yakni yang memiliki tingkat kehalusan (membatik yang tinggi), punya keterampilan, serta yang memiliki etos kerja,” ucap Agni.
Perajin batik Kelompok Usaha Bersama Batik Pring Mas Nunik Wahyuni (30) sedang mencanting batik di Desa Papringan, Banyumas, Jawa Tengah, Senin (22/6/2020).
Sulitnya regenerasi dapat berdampak ke hilangnya batik di kemudian hari. Anggota Paguyuban Pecinta Batik Indonesia (PPBI) Sekar Jagad, Indrawati Gan, mengatakan, usaha batik keluarganya yang dirintis sejak tahun 1860-an sempat menghilang. Kakek buyutnya, Gan Sam Gie, memulai usaha batik peranakan Tionghoa, kemudian diteruskan ke anak-anaknya.
Indrawati merupakan penerus generasi keempat. Namun, usaha batik keluarganya sempat hilang setelah ayahnya yang adalah generasi ketiga meninggal. Untuk menghidupkan lagi batik keluarganya, ia belajar batik ke berbagai sumber dan menulis buku tentang jejak batik keluarganya.
“Pengalaman ini agar jangan terjadi ke pembatik di generasi lain. Warisan budaya ini mesti dilestarikan. Menurut saya, literasi dan dokumentasi tentang batik sangat penting. Ini agar anak-cucu kita nanti tidak kehilangan informasi berharga,” ujarnya pada acara daring Bincang Batik: Batik Peranakan, Pusaka Budaya Indonesia yang diselenggarakan PPBI Sekar Jagad.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Peringatan Hari Batik Nasional - Murid SD dan perajin batik membuat karya batik pada kain sepanjang 300 meter dalam acara peringatan Hari Batik Nasional di Desa Kebon, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Senin (2/10). Kegiatan yang diselenggarakan oleh UNESCO Jakarta dan CITI Foundation tersebut juga untuk melestarikan batik tulis melalui regenerasi perajin batik.
Harapan
Di sisi lain, Agni mengatakan, muncul sejumlah pembatik muda maupun orang-orang muda yang peduli batik di berbagai daerah. Mereka berasal dari berbagai latar belakang. Hal ini menjadi sinyal positif keberlanjutan batik di masa depan.
Menurut Komarudin, regenerasi batik mesti melibatkan banyak pihak. Peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan dibutuhkan. Kemitraan dengan asosiasi pegiat batik juga penting agar langkah pelestarian batik tepat sasaran. Generasi muda juga mesti dilibatkan.
“Teknik membatik juga diajarkan ke anak muda agar mereka menguasai itu dan tenaga terampil tidak hilang. Setidaknya mereka mesti mengerti konsep pengembangan batik,” ucap Komarudin.