Rasa bahasa cenderung terabaikan seiring bergesernya konsep berita menjadi konten pada media digital tertentu. Demi umpan klik, kaidah tidak dihiraukan.
Oleh
NASRULLAH NARA
·3 menit baca
Seiring terkuaknya kasus-kasus kekerasan seksual belakangan ini, portal berita pun kian gencar menyajikan berita dengan judul bombastis dan sensasional.
Coba perhatikan tiga judul berita dari media daring yang berbeda terkait fenomena itu: 1. Pria Berusia 60 Tahun di Jakarta Tega Cabuli Ponakannya Sendiri yang Masih di Bawah-Umur; 2. Miris! Pelaku Pencabulan Anak di Bawah Umur Ternyata Masih Pelajar; 3. Astaga! Pelaku dan Korban Pencabulan Sama-sama Masih di Bawah Umur.
Penggunaan diksi masih pada judul-judul tersebut membuka ruang tafsir permisif. Terkesan perbuatan bejat tersebut tidak menjadi masalah apabila korban kebetulan sudah tidak berstatus anak-anak lagi, sudah dewasa, dan sudah melampaui masa status pelajar. Bahkan, pada judul berita yang terakhir, terkesan pelaku pun diposisikan sebagai pihak yang tidak bermasalah jika seandainya sudah ”cukup umur”.
Apabila belum cukup jelas menangkap tafsir dan kesan permisif yang dimaksud, cobalah cermati juga tiga judul berita media daring berikut ini: 1. Orang Tua Korban Pergoki Kakek Cabuli Anaknya yang Baru Berusia 5 Tahun; 2. Dugaan Pelecehan Seksual di Sekolah Internasional, Korban Baru Berusia 7 Tahun; 3. Remaja 8 Kali Dirudapaksa Paman, Pelaku Tetap Beraksi Padahal Ayah Korban Baru 2 Hari Meninggal.
Modus pembubuhan diksi masih dan baru pada judul-judul berita tersebut bertujuan memantik kesan dramatis. Bisa jadi dengan maksud memanen clickbait (umpan klik), pengelola portal lupa bahwa dramatisasi fakta dan suasana batin justru bias. Misi eksploitatif menihilkan fungsi informatif-edukatif yang harusnya diemban oleh media.
Pesan yang hendak disampaikan agar masyarakat sadar akan pentingnya memahami relasi setara dan waspada terhadap kejahatan seksual bisa buyar. Kehadiran masih dan baru berpotensi menihilkan upaya bersama melawan kekerasan seksual.
Masih adalah kata sifat. KBBI daring mengartikannya: 1. sedang dalam keadaan tidak/belum selesai atau sedang berlangsung; 2. ada; tinggal; bersisa.
Pesan yang hendak disampaikan agar masyarakat sadar akan pentingnya memahami relasi setara dan waspada terhadap kejahatan seksual bisa buyar.
Sesuatu yang belum selesai dapat dimaknai sebagai sebuah tahapan yang sedang berproses hingga mencapai fase tertentu.
Baru juga kata sifat. KBBI daring antara lain mengartikannya ’belum pernah ada; belum lama; kemudian; setelah itu; sedang; lagi...’. Makna ’sedang’ dan ’lagi’ tentunya menunjuk situasi yang juga tengah berproses menuju fase tertentu.
Sejatinya, diksi masih dan baru untuk situasi-kondisi yang menaut pada subyek (pelaku) dan obyek (korban) tak lepas dari rasa bahasa. Dalam proses komunikasi di mana berita dimaksudkan sebagai pesan yang dikonstruksi untuk khalayak, untaian kata bukanlah sekadar ejaan belaka. Setiap kata yang disodorkan ke ruang publik sepatutnya memiliki arti jelas agar pesan yang diusung dapat dipahami oleh khalayak.
Mengingat untaian kata ini bersumber dari media massa, dengan sendirinya pula terkait kaidah bahasa jurnalistik. Haris Sumadiria (2010) menegaskan beberapa karakter bahasa jurnalistik, antara lain lugas, jelas, jernih, diksi yang tepat, dan tunduk pada kaidah etika. Salah satu fungsi utama pers adalah mendidik. Ini bukan saja harus tecermin pada materi berita, melainkan juga pada bahasanya.
Masalahnya, belakangan ini, rasa bahasa cenderung terabaikan seiring bergesernya konsep berita menjadi konten pada media digital tertentu. Komodifikasi informasi mendorong konten diluncurkan secepat mungkin tanpa hirau perkara kaidah. Kemasan konten termasuk judulnya dikondisikan untuk menarik dan membuat khalayak penasaran agar mengekliknya. Konten yang kini jadi raja diukur trafiknya dengan pendekatan mesin-digital. Gegas melindas rasa.