Uji publik RUU Sistem Pendidikan Nasional mulai digelar pemerintah. Pelibatan publik diharapkan bukan sekadar untuk pemenuhan syarat administratif.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Uji publik Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mulai dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sejumlah organisasi guru dan pendidikan diundang secara daring untuk memberikan umpan balik terkait dengan rancangan sistem pendidikan nasional. Pembahasan perundang-undangan ini diharapkan tidak tergesa-gesa dan membuka ruang partisipasi publik.
Isi materi dalam draf RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) masih terbatas untuk peserta uji publik dan tidak untuk disebarluaskan. Namun, dari RUU Sisdiknas yang beredar, sejumlah perubahan yang penting antara lain wajib belajar bagi usia 7-18 tahun; menekankan pentingnya pendidikan sepanjang hayat; pendidikan formal mencakup prapersekolahan, persekolahan, dan persekolahan mandiri; standar nasional pendidikan terdiri dari standar input, standar proses, dan standar capaian; serta tentang pendidikan tinggi.
”Kami berharap pembahasan dan uji publik RUU Sisdiknas tidak dikerjakan tergesa-gesa. Tidak juga uji publik yang terkesan basa-basi demi memenuhi formalitas administratif belaka,” kata Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim, Kamis (10/2/2022).
Wajib belajar seharusnya dimulai dari TK yang bisa menjadi salah satu prasyarat untuk menempuh pendidikan di jenjang dasar.
Ia menekankan pembahasan RUU Sisdiknas mesti transparan dan membuka ruang dialog partisipatif dari semua pemangku kepentingan pendidikan. Apalagi, RUU ini akan bersifat omnibus law yang bakal menggantikan tiga UU sekaligus, yakni UU Guru dan Dosen, UU Sisdiknas, serta UU Pendidikan Tinggi.
Satriwan mengatakan, uji publik dengan mengundang sekitar 32 organisasi guru/pendidikan ini dilakukan sekitar dua jam sesuai undangan daring. ”Ini, kan, seperti enggak niat dialog, mendengarkan aspirasi semua pemangku kepentingan. Kesannya jadi basa-basi uji publik RUU Sisdiknas,” ujarnya.
Menurut Satriwan, jika RUU Sisdiknas ini jadi disahkan, ada kekhawatiran pemerintah akan memungut biaya pendidikan dari masyarakat/orangtua. Biaya pendidikan akan mahal sehingga pendidikan tidak lagi menjadi kewajiban pemerintah membiayainya, melainkan dibebankan kepada masyarakat (Pasal 80-81).
Ada kekhawatiran Kemendikbudristek akan menghidupkan kembali semacam ujian nasional yang jelas akan membebani siswa dan mengotak-ngotakkan kemampuan siswa. Sebab, ada klausul: evaluasi terhadap pelajar oleh pemerintah dan lembaga mandiri.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, berdasarkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022, Komisi X DPR mengajukan dua RUU, yakni Perubahan UU Sistem Keolahragaan Nasional dan RUU Kepariwisataan, serta membahas RUU Praktik Psikologi yang merupakan RUU penugasan (bukan inisiatif DPR). ”RUU Sisdiknas merupakan usul pemerintah, masih dalam penyusunan oleh pemerintah,” ujar Hetifah.
Pendidikan usia dini
Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sumardiansyah Perdana Kusuma mengkritisi soal wajib belajar 7-18 tahun. Padahal, usia dini juga perlu diperhatikan sebagai masa usia emas.
”Apakah mungkin taman kanak-kanak sebagai pendidikan formal anak usia dini juga perlu diperkuat? Wajib belajar seharusnya dimulai dari TK yang bisa menjadi salah satu prasyarat untuk menempuh pendidikan di jenjang dasar,” kata Sumardiansyah memberi masukan.
Terkait bahwa guru wajib menjadi organisasi profesi guru sesuai pilihan masing-masing, kata Sumardiansyah, tafsirnya membingungkan. Sebab, tata kelola organisasi profesi guru tidak pernah dikaji dan didiskusikan secara serius serta berkelanjutan, mengenai apakah mau menggunakan pola induk organisasi (tunggal), konsorsium, ataukah bebas seperti sekarang. Demikian pula organisasi profesi bagi dosen belum diatur secara spesifik dan perlu dikaji/dibahas secara lebih lanjut.
Direktur Eksekutif Yayasan Nusantara Sejati Eka Simanjuntak mengatakan, RUU Sisdiknas ini belum mengakomodasi visi masa depan. Alasannya, RUU sama sekali tidak memuat hal-hal yang terkait dengan pembelajaran yang memanfaatkan kemajuan teknologi. Profil Pelajar Pancasila yang saat ini disosialisasikan secara masif oleh Kemendikbudristek, dan dimuat juga dalam draf RUU Sisdiknas itu, adalah produk lama (produk sisdiknas yang dibuat tahun 2003), yang sudah sangat perlu disesuaikan dengan keterampilan yang dibutuhkan di masa depan (soft skills).
Terkait pendidikan nonformal, ujar Eka, harus diakui juga sangat penting dalam konteks up-grading dan up-skilling. Di masa depan, pendidikan nonformal sama pentingnya dengan pendidikan formal sehingga perlu diberikan perhatian lebih serius.
Dalam undangan uji publik yang ditandatangani Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Nasional Kemendikbudristek Anindito Aditomo disebutkan acara pemaparan, diskusi, dan umpan balik terkait dengan rancangan sisdiknas dalam rangka pengembangan arah kebijakan pendidikan nasional di masa depan. Karena itu, pelibatan publik dibutuhkan.