Mantan Mendiknas Yahya A Muhaimin di era Presiden Abdurrahman Wahid tutup usia. Salah satu kebijakan pendidikannya mengakui pendidikan luar sekolah sama pentingnya dengan persekolahan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mantan Menteri Pendidikan Nasional Yahya A Muhaimin (78) tutup usia pada Rabu (9/2/2022) setelah dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Margono Unit Geriatri dan Paviliun Abiyasa, Purwokerto, Jawa Tengah, karena sakit lanjut usia. Almarhum yang menjadi Menteri Pendidikan Nasional di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini dimakamkan di Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pengurus Pusat Muhammadiyah menyampaikan duka cita yang mendalam atas berpulangnya Yahya A Muhaimin. “Almarhum adalah sosok ilmuwan berintegritas, manajer yang handal dan sangat peduli pada kemajuan pendidikan di tanah air,” ujar Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Alpha Amirrachman.
Almarhum adalah adalah tokoh Muhammadiyah, menjadi anggota PP Muhammadiyah periode 2000-2005 setelah sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional di era pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001). Almarhum juga pernah menjadi Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah.
“Legasi almarhum di bidang pendidikan akan selalu kami kenang dan menjadi rujukan penting bagi setiap kebijakan pendidikan di Majelis Dikdasmen. Semoga almarhum husnul khatimah, keluarga diberikan kesabaran,” ujar Alpha.
Secara terpisah, mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Rochmat Wahab mengatakan, di masa Mendiknas Yahya A Muhaimin disiapkan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dengan menyiapkan naskah akademik. Saat itu, banyak keluhan tentang pendidikan luar sekolah (PLS) yang terpinggirkan dari sekolah formal.
“Kami memberikan masukan agar PLS juga bisa diposisikan sejajar dengan pendidikan formal atau persekolahan. Pak Yahya menerima masukan tersebut yang kemudian di UU Sisdiknas tahun 2003 dinamakan pendidikan non-formal yang dilakukan masyarakat dan ada juga pendidikan informal oleh keluarga,” jelas Rochmat yang ketika itu menjadi salah satu konsultan di PLS, Kemdiknas.
Pengakuan kesetaraan dari pendidikan non-formal ini membuat lulusan Paket A (setara SD), B (Setara SMP), dan C (setara SMA) bisa berpindah ke sekolah formal. Bahkan kini, lulusan pendidikan non-formal/informal juga bisa tembus ke perguruan tinggi negeri bergengsi.
Dekan Fisipol UGM
Di website UGM.ac.id, disebutkan, Yahya yang merupakan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada ini mengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional. Dalam karirnya di UGM, Yahya pernah mengepalai program S2 serta menjadi Dekan Fisipol.
“Atas nama Keluarga Besar UGM kami menyampaikan rasa duka yang mendalam kepada keluarga. Kami mengenal beliau sebagai sosok yang memiliki komitmen besar bagi UGM dan bangsa Indonesia,” kata Rektor UGM Panut Mulyono.
Dekan Fisipol UGM Wawan Mas’udi mengatakan, Yahya Muhaimin merupakan salah satu akademisi yang paling kuat dan berpengaruh pada masanya. Karya beliau terkait militer masih menjadi salah satu karya rujukan yang penting dalam ilmu politik di Indonesia.
Salah satu karya tulisnya yang paling dikenal adalah buku berjudul perkembangan Militer dalam Politik Indonesia 1945-1966. Tulisan ini merupakan skripsi yang ia tulis di tahun 1970, yang dinobatkan sebagai skripsi terbaik UGM dan dibukukan oleh penerbit Gamapress.
Meskipun sudah pensiun sebagai dosen, Yahya mengajar di Fisipol UGM hingga tahun 2019. Kemudian beliau memtuskan untuk lebih banyak menghabiskan waktu di Bumiayu, di mana ia juga turut terlibat merintis perguruan tinggi di daerah tersebut.
“Meski tidak menjadi dosen secara penuh, beliau kami minta untuk tetap berbagi ilmu dengan rekan-rekan mahasiswa,” kata Wawan.