Sejumlah seniman menggalang solidaritas untuk sastrawan Remy Sylado yang tengah sakit. Kejadian Remy mengingatkan betapa rentannya pekerja seni yang berkarya tanpa jaring pengaman sosial.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Kondisi kesehatan sastrawan Remy Sylado sedang tidak baik. Layanan kesehatan sulit dijangkau karena keterbatasan biaya. Rekan-rekan seniman dan beberapa pihak pun turun tangan membantu seniman serba bisa tersebut.
Solidaritas dari rekan-rekan Remy tampak dari pameran karya lukis bertajuk Doa untuk Remy Sylado. Pameran tersebut berlangsung pada 5-8 Februari 2022 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta turut mendukung pameran ini.
Ada 20 lukisan dari 18 pelukis di pameran tersebut. Dua lukisan di antaranya buatan Remy, yakni lukisan berjudul I'm Nobody's Child yang berukuran 110 sentimeter x 80 sentimeter dan lukisan Senasib Sepenanggungan berukuran 120 sentimeter x 90 sentimeter.
Ada pula lukisan dari pelukis lain, seperti Putu Wijaya, Mudji Sutrisno, AR Soedarto, dan Baron Basuning. Puluhan lukisan tersebut dilelang dengan harga bervariasi, mulai dari ”satu digit” hingga ”tiga digit”. Dana yang terkumpul akan diberikan 100 persen kepada pihak keluarga Remy untuk biaya kesehatan dan pemulihan.
Ketua panitia pelaksana pameran Jose Rizal Manua mengatakan, ada satu lukisan yang sudah terjual. Lukisan berjudul Terror of Justice karya Kembang Sepatu itu bernilai Rp 17 juta. Karena pameran usai tanggal 8 Februari, sejumlah lukisan lain akan ditawarkan kepada publik.
”Kami tidak memperpanjang pameran. Tapi, ada 5-7 lukisan yang akan kami tawarkan ke teman-teman seniman dan jurnalis setelah pameran,” kata Jose saat dihubungi pada Selasa (8/2/2022).
Para seniman hingga jurnalis, kata Jose, bekerja secara sukarela demi menggalang dana untuk Remy. Ia menambahkan, sudah setahun terakhir Remy yang bernama asli Yapi Panda Abdiel Tambayong ini sakit. Ia menderita hernia dan mendapat tiga serangan stroke. Perawatan hanya berlangsung di rumah.
Kondisi Remy sempat disiarkan kepada publik dan pemerintah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merespons dengan menanggung biaya perawatan Remy di rumah sakit. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga sempat menjenguk Remy di kediamannya.
Emmy Tambayong, istri Remy Sylado, sebelumnya mengatakan, kondisi Remy membaik setelah operasi. Remy pun ia sebut bahagia karena ada orang-orang yang membantunya.
”Saya meyakinkan dia, ’Kamu punya banyak teman. Kamu mesti bangkit. Masih banyak orang yang mengharapkan ilmu darimu. Tuhan sudah memberi ilmu dan talenta untuk kamu bagikan’,” kata Emmy pada pembukaan pameran, Jumat (4/2/2022).
Remy Sylado adalah salah seorang sastrawan masyhur di Indonesia. Beberapa karya tulisnya berjudul Kerudung Merah Kirmizi, Hotel Pro Deo, dan Menunggu Matahari Melbourne. Selain sastrawan dan penyair, Remy juga aktor dan sutradara. Ia juga menggeluti seni rupa. Remy disebut pula ahli bahasa, antara lain karena kemampuannya berbahasa Yunani, Ibrani, Mandarin, dan Arab.
Nasib pekerja seni
Kejadian yang menimpa Remy merupakan cerminan kehidupan para pekerja seni yang bekerja tanpa jaring perlindungan sosial. Hal ini bisa terjadi pada siapa saja, termasuk seniman Remy. Kata Jose yang juga pegiat teater, ”Jika orang sebesar Remy Sylado saja bisa mengalami hal seperti ini, bagaimana saya dan seniman-seniman lain?”
Ia berharap pemerintah memperhatikan nasib para pekerja seni. Pekerja seni dinilai punya kontribusi kepada publik, baik dalam bentuk pemikiran, karya, maupun gerakan seni. Kontribusi itu, menurut Jose, akan terus tinggal di masyarakat.
Di sisi lain, tidak sedikit seniman yang masa tuanya tidak sejahtera. Ketiadaan jaring pengaman sosial membuat posisi para seniman dan semua pekerja seni rentan. Pandemi Covid-19 memperjelas kerentanan itu.
”Seniman tidak bisa menggelar pertunjukan saat pandemi sehingga tidak ada pemasukan,” kata Jose. ”Padahal, ekosistem seni akan sehat jika ada jaring pengaman. Seniman bisa melahirkan karya-karyanya dengan baik,” tambahnya.
Kerentanan pekerja seni
Kerentanan pekerja seni tampak pula pada survei ”Paranormal Baru: Penampakan”. Survei ini dilakukan Cecil Mariani dan Anggraeni Widhiasih untuk instalasi seni yang berjudul serupa. Instalasi itu dipamerkan pada ajang Jakarta Biennale 2021 yang berlangsung pada November 2021-Januari 2022.
Ada 106 responden yang mengikuti survei ini sejak pertengahan Oktober hingga 15 November 2021. Mereka adalah pekerja seni di sejumlah kota di Indonesia. Beberapa di antaranya bekerja di luar negeri.
Survei menyatakan, ada 25,3 persen responden yang berstatus pekerja tetap. Sementara itu, 30,9 persen lainnya berstatus pekerja kontrak berbasis proyek, 24,7 persen pekerja harian lepas, dan 16,7 persen berstatus tidak jelas atau ”bantu-bantu”.
Cecil Mariani mengatakan, dari 106 responden, survei mengidentifikasi ada 162 status kerja. Ini berarti satu orang memiliki lebih dari satu pekerjaan. Ada yang memiliki pekerjaan ganda dan ada yang berafiliasi dengan lebih dari satu organisasi. Ia menambahkan, responden bekerja ganda agar bisa memenuhi kebutuhan hidup.
”Responden juga menyampaikan tantangan kerja. Ada yang menyebut bahwa pekerjaan seni tidak ada pengaman finansial serta minim penghargaan ke kerja-kerja printilan,” kata Cecil pada diskusi daring #PekerjaBicara ”Di Balik Panggung Seni Jakarta”, Sabtu (5/2/2022). Diskusi ini diselenggarakan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi).
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana mengatakan, pekerja seni mesti diperhatikan. Pihaknya pun bekerja sama dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta untuk menangani Remy Sylado. Sementara itu, anak Remy akan diupayakan agar bisa bekerja di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
”Jadi, tidak hanya mengharapkan karya-karyanya saja dan tidak memedulikan kondisi pekerja seni,” ucap Iwan, Jumat (4/2/2022). ”Masih banyak pekerja seni yang butuh perhatian. Ini kewajiban kita semua untuk memperhatikan mereka untuk kemajuan seni dan budaya bangsa,” ucapnya.