Digelar Maraton, Konsultasi Publik RUU TPKS antara Pemerintah dengan Masyarakat
Kementerian PPPA menargetkan daftar isian masalah RUU TPKS diserahkan kepada DPR pekan ini. Berbagai masukan publik terutama organisasi pendamping korban menjadi perhatian pemerintah.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berupaya mengakomodasi berbagai masukan dari jaringan masyarakat publik, dalam penyusunan daftar isian masalah Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Selama beberapa hari terakhir, perwakilan organisasi masyarakat sipil diundang khusus dalam konsultasi publik untuk menyampaikan pandangan terkait penyusunannya.
”Sebelum Daftar Isian Masalah Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (DIM RUU TPKS) diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, kami membuka ruang seluas-luasnya kepada jaringan organisasi masyarakat sipil untuk memberikan masukan,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Minggu (6/2/2022).
Bintang menyatakan, setelah menerima surat Menteri Sekretaris Negara yang menunjuk Kementerian PPPA sebagai leading sector dalam mewakili Presiden untuk penyusunan pandangan pemerintah dan DIM RUU TPKS, pada Kamis (3/2/2022), pihaknya langsung bergerak cepat.
Pekan lalu, sejak Kamis (3/2/2022), Kementerian PPPA tidak berhenti melakukan pertemuan terkait RUU TPKS baik dengan kementerian/lembaga ataupun jaringan organisasi masyarakat sipil. Setelah menggelar rapat koordinasi lintas sektor dengan kementerian/lembaga terkait, yang juga dihadiri Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dan Kementerian PPPA , hingga Minggu, masih menggelar konsultasi publik dengan organisasi masyarakat sipil.
”Pemerintah sangat terbuka dengan masukan teman-teman organisasi masyarakat sipil. Karena itu jangan ragu menyampaikan masukan. DIM yang disusun pemerintah akan mengakomodasi masukan-masukan organisasi masyarakat sipil,” ujar Bintang.
Terkait dengan permintaan organisasi masyarakat sipil untuk melihat seluruh isi DIM, Bintang menyatakan, sampai saat ini pihak Kementerian PPPA berupaya mengacu pada mekanisme dalam peraturan perundang-undangan. Kendati demikian, Bintang meminta organisasi masyarakat sipil jangan khawatir sebab nanti akan ada kesempatan bisa melihat isi DIM sekaligus menyempurnakan jika ada masukan yang belum terakomodasi.
Utamakan kepentingan korban
Ketika berdiskusi dengan Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan,Menteri PPPA menegaskan, penyempurnaan DIM RUU TPKS membutuhkan pemahaman dan semangat yang sama oleh berbagai pihak. Namun yang terpenting adalah mengutamakan kepentingan korban.
”RUU ini sudah sangat dibutuhkan, dinanti-nantikan. Ini kesempatan yang bagus untuk kita mengawal jangan ada hak-hak korban yang terabaikan atau tertinggalkan. Kita harus dengarkan semua lini sehingga kita bisa menyempurnakan dan memaksimalkan hasilnya nanti memberikan kepentingan terbaik bagi korban,” tambahBintang. Ia pun menegaskan bahwa tidak hanya kecepatan yang diperhatikan, tetapi ketepatan dalam penyusunan DIM pemerintah juga menjadi penting.
Oleh karena itu, sebelum diserahkan kepada DPR, Kementerian PPPA menggelar konsultasi publik dengan berbagai organisasi masyarakat, dan rakor dengan kementerian/lembaga terkait.
Hak korban perlu ditambahkan rumusan terkait prinsip bahwa semua korban dapat mengakses hak-hak tersebut tanpa diskriminasi.
Koordinator Sekretariat Nasional FPL Veni Siregar mengapresiasi peran pemerintah yang konsisten mengawal DIM RUU TPKS. Upaya Kementerian PPPA mendorong formulasi pembahasan terbuka dengan menerima masukan masyarakat sipil merupakan langkah maju.
”Kami memahami bahwa DIM dokumen yang resmi di mana seharusnya dibuka saat proses pembahasan dengan DPR. Namun Kementerian PPPA sudah memberitahukan beberapa poin perbaikan substansi dari DIM pemerintah,” kata Veni.
Pendampingan korban
Ratna Batara Munti dariAsosiasi LBH APIK Indonesiamengemukakan, dalamkonsultasipublikyang digelar pada Minggu,diskusi berfokus pada isu yang menjaditugas dan fungsi Kementerian PPPA, sepertibabyang mengaturhak korban,unit pelayanan teknis daerah (UPTD)PPA, serta peranmasyarakat dan keluarga.
Sejumlah masukan diberikan organisasi masyarakat sipil. Misalnya terkait pendampingan korban untuk mendapatkan hak-haknya dalam RUU TPKS dan DIM pemerintahhal itu hanya mengatur bagi korban yang menempuh jalur pidana (memproses kasusnya). Padahal, faktanya, banyak faktor yang membuat korban tidak mudah melaporkan kasusnya, mulai dari kendala psikologis, tidak ada dukungan keluarga, stigma, hingga anggapan bahwa yang terjadi sebagai aib keluarga/masyarakat.
Maka, DIM pemerintah perlu memastikan agar setiap korban mendapatkan hak-haknya, seperti pemulihan meskipun kasusnya tidak/gagal diproses secara hukum. ”Oleh sebab itu terkait hak korban perlu ditambahkan rumusan terkait prinsip bahwa semua korban dapat mengakses hak-hak tersebut tanpa diskriminasi. Jadi terkait pendampingan, perlu diperluas tidak hanya terbatas hanya dalam proses peradilan,” ujar Ratna.
Masukan lain adalah perlu dicantumkan layanan rumah aman dan penyediaan layanan terpadu satu atap. Adapun untuk Bab tentang Peran Serta Masyarakat dan Keluarga, masih lebih banyak pada pencegahan, dan peran keluarga hanya di pencegahan saja. ”Keluarga penting terlibat membantu korban untuk pemulihan dan akses terhadap keadilan dan hak hak lainnya. Fakta selama ini justru keluarga yang sering kali menghambat korban apalagi jika pelaku adalah anggota keluarga itu sendiri,” ujar Ratna.
Terkait RUU TPKS, Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan,menyatakan, dari enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual, lima elemen sudah diakomodasi, yang belum diakomodasi adalah elemen pengawasan eksternal yang dilakukan olehlembaga negara hak asasi manusia (LNHAM), yakni Komisi Nasional HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Disabilitas, dan lembaga independen lainnya terhadap penghapusan kekerasan seksual sesuai tugas pokok dan fungsinya masing masing.
”Kami merekomendasilan lima elemen kunci untuk dipertahankan dengan penajaman dan perbaikan. Seperti judul yang memuat frasa ’tindak pidana kekerasan seksual’ akan lebih baik menggunakan judul yang pernah dirumuskan oleh pemerintah pada tahun 2019, yaitu Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” kata Aminah.
Berbagai masukan publik, terutama dari jaringan organisasi masyarakat sipil yang selama ini mendampingi korban kekerasan seksual, harapannya akan semakin menyempurnakan DIM Pemerintah sehingga proses pembahasan di DPR diharapkan berjalan lancar dan cepat.