Masukan Gerakan Perempuan Terus Mengalir demi Perkuat RUU TPKS
Demi mewujudkan UU TPKS yang berperspektif lengkap dan kuat, sejumlah organisasi masyarakat memberi masukan kepada pemerintah.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Proses penyusunan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terus bergulir. Sebelum masuk tahapan proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat, berbagai masukan terkait isi rancangan undang-undangan tersebut terus disuarakan organisasi masyarakat sipil yang selama ini aktif mendampingi para korban kekerasan seksual.
Demi mengawal proses Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), para aktivis organisasi masyarakat sipil, termasuk akademisi dan pemimpin lembaga keumatan, pun membedah draf RUU TPKS. Pasca-RUU TPKS ditetapkan sebagai RUU Usul Inisiatif DPR, pada 18 Januari lalu, organisasi masyarakat sipil (OMS) membahas isi tersebut dan menyampaikan rekomendasi kepada DPR dan pemerintah.
Tak hanya diskusi maraton, para aktivis OMS pun menemui anggota dan pimpinan fraksi-fraksi di DPR. Bahkan, Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksualmenemui langsung Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
”Kami berharap tim pemerintah melibatkan organisasi gerakan perempuan yang mewakili masyarakat sipil untuk masuk menjadi bagian dari tim pemerintah dalam pembahasan dan penyusunan Daftar Isian Masalah (DIM) RUU TPKS,” ujar Misiyah, tim dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual saat berdialog dengan Menteri PPPA, Rabu (2/2/2022) malam.
Selain itu, Misiyah dan kawan-kawan meminta Kementerian PPPA, kementerian yang ditunjuk untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU TPKS, agar mempertimbangkan dan mengakomodasi berbagai usulan substansi yang disampaikan OMS.
Terkait judul RUU tersebut, pemerintah diminta tetap mempertahankan judul RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual karena dengan judul tersebut semakin menguatkan bahwa RUU TPKS merupakan hukum pidana khusus. ”Dengan judul ini, aturan pemidanaan dan hukum acara khusus bisa maksimal diatur, dan pada saat yang sama tetap bisa mengatur aspek nonhukum, seperti pencegahan dan pemulihan korban,” ujar Sri Nurherwati, yang juga Komisioner Komnas Perempuan periode 2014-2019.
Sementara untuk definisi ”kekerasan seksual” yang diatur dalam Pasal 1, pemerintah diminta memperbaikinya dengan mengeluarkan unsur ”secara paksa”, dan menambahkan, ”kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan/atau memanfaatkan posisi rentan” sebagai modus kekerasan seksual.
Pemerintah dan DPR diminta memasukkan kembali rumusan pasal penjembatan yang sudah dibuang dalam RUU TPKS. Hal ini penting agar ketentuan tindak pidana kekerasan seksual yang diatur di UU lain tetap memberlakukan UU TPKS, baik terkait hukum acara khusus maupun ketentuan lainnya, seperti pencegahan dan pemulihan serta aspek lainnya dalam UU TPKS, sepanjang tidak diatur tersendiri di UU lain.
Organisasi sipil juga tetap berharap pemerintah dan DPR mempertimbangkan untuk memasukkan kembali lima bentuk kekerasan seksual yang dikeluarkan dalam RUU Inisiatif DPR, terutama kekerasan seksual dalam bentuk pemaksaan perkawinan dan perbudakan seksual.
”Dengan demikian UU TPKS, nantinya akan dapat menjangkau kasus pemaksaan perkawinan termasuk yang mengatasnamakan tradisi dan adat seperti kawin tangkap, perkawinan lainnya,” tegas Nurherwati.
Karena RUU TPKS tersebut untuk melindungi korban, terkait pengaturan tentang unit pelaksana teknis daerah (UPTD), penting dimasukkan ketentuan terkait penanganan terpadu dan terintegrasi satu atap, terutama bagi korban dalam situasi trauma fisik dan psikis berat agar dapat mengakses layanan satu atap (one stop crisis centre).
Bukan hanya itu, pemerintah wajib mengalokasikan anggaran untuk penyediaan layanan terpadu baik yang diselenggarakan pemerintah sendiri maupun layanan berbasis komunitas oleh lembaga layanan nonpemerintah.
Restitusi
Salah satu yang menjadi perhatian khusus dalam pasal-pasal RUU TPKS adalah pengaturan soal restitusi yang tercantum dalam Pasal 23 Ayat 11 yangberbunyi, ”Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana penjara pengganti paling lama 1 tahun”.
Pengaturan restitusi dalam RUU tersebut dinilai belum kuat sehingga perlu ditambahkan pengaturannya, misalnya selama pelaku menjalani pidana penjara pengganti, wajib melakukan kerja sosial dengan tujuan memperoleh penghasilan dibawah pengawasan lembaga pemasyarakatan (lapas).Selain itu, jika pelaku meninggal sebelum membayar restitusi, maka restitusi diambilkan dari harta waris hak pelaku, ketentuannya akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP).
Dalam eksekusi restitusi, jaksa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan putusan restitusi dengan melibatkan pendamping sehingga bukan korban yang mengupayakan eksekusi restitusi.
Anis Hidayah dari Migrant Care menegaskan, belajar dari kasus tindak pidana perdagangan orang, hanya sebagian kecil uang restitusi yang dibayarkan pelaku kepada korban.
Masukan organisasi gerakan perempuan disambut baik oleh Menteri PPPA. Darmawati bahkan membuka pintu selebar-lebarnya atas masukan publik karena merupakan bagian dari partisipasi publik yang wajib dalam proses pembentukan UU.
”Partisipasi publik sangat kami perlukan agar DIM yang menjadi draf sandingan dari RUU TPKS yang disusun pemerintah benar-benar sesuai harapan kita bersama, terutama membawa kepentingan korban,” kata Darmawati.
Ratna Batara Munti, Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia/Direktur LBH APIK Jawa Baratmengapresiasi kerja keras tim pemerintah yang tanpa menunggu Surat Presiden (Surpres) terkait proses RUU TPKS telah menyiapkan DIM pemerintah. Meskipun DIM tidak bisa disebar, dia berharap OMS mendapat poin-poin pentingnya secara tertulis sehingga bisa memberikan masukan lebih konstruktif.
”Kami juga berharap dilibatkan lebih jauh dalam diskusi isu-isu penting di tim pemerintah, seperti soal layanan terpadu, restitusi, dan pengaturan tindak pidana kekerasan seksual,” ujar Ratna, Kamis (3/2/2022) petang.
Kamis pagi, Kantor Staf Presiden juga menggelar konsultasi publik bersama masyarakat sipil dan akademisi. ”Pemerintah akan terus menampung masukan dan aspirasi masyarakat terkait RUU TPKS,” ujar Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani.
Ia juga memastikan bahwa perspektif yang digali dari koalisi masyarakat sipil dan akademisi melalui konsultasi publik RUU TPKS mendapatkan perhatian serius dan dikaji secara mendalam sebagai bagian dari proses penyusunan DIM oleh Pemerintah.
Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran untuk penyediaan layanan terpadu baik yang diselenggarakan pemerintah sendiri maupun layanan berbasis komunitas oleh lembaga layanan nonpemerintah.
Masukan kelompok masyarakat sipil dan akademisi akan menjadi bagian tidak terpisahkan dalam proses penyusunan DIM pemerintah. Proses pembahasan RUU TPKS memang masih belum dimulai di DPR. Namun, diskusi-diskusi yang memperdalam DIM dan RUU TPKS diharapkan akan terus berlanjut hingga pembahasan dimulai sehingga pada saat pembahasan perbedaan pandangan yang membuat pembahasan RUU terhambat bisa diminimalkan.