Siapapun dengan motif apapun bisa terjebak dalam penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Banyaknya mereka yang terlibat dalam situasi ini jadi pertanda rentannya kesehatan mental kita.
Oleh
M ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Sejak pertengahan tahun 2021 hingga awal tahun 2022, sejumlah figur publik ditangkap polisi akibat mengonsumsi narkotika dan obat-obatan atau narkoba terlarang. Sebagai fenomena gunung es, jumlah masyarakat awam yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba dipastikan jauh lebih besar. Pendekatan hukum semata nyatanya tak mampu mengurangi kasus-kasus yang terjadi.
Tidak ada motif tunggal yang membuat seseorang mengonsumsi narkoba. Motif itu umumnya saling bertumpang tindih antara faktor fisik, psikologis, dan sosial. Beban hidup, tekanan pekerjaan, konsep diri yang tak matang, persoalan kesehatan fisik dan mental, hingga tuntutan lingkungan yang tak pernah ada akhirnya membuat hidup terasa penuh tekanan.
Namun, sebagian orang gagal mencari solusi positif atas masalahnya. “Pengguna narkoba adalah orang yang gagal menciptakan kenikmatan hidup dengan cara yang positif,” kata fasilitator rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Yosi Eka Putri di Jakarta, Minggu (16/1/2022).
Sebagian orang mengonsumsi narkoba agar tetap terlihat cantik dan langsing. Ada yang menggunakannya agar bisa bekerja keras di tengah tekanan dan beban kerja tinggi. Namun ada pula yang memakainya untuk stimulan guna menambah keberanian, baik saat berdemonstrasi, tawuran, dan melawan petugas atau stimulan untuk mendorong proses kreatif.
Mereka yang tidak bisa mengikuti perubahan akan tertinggal dan menimbulkan tekanan mental hingga frustasi.
Meski demikian, ada orang menggunakan narkoba untuk swamedikasi atau pengobatan mandiri, meningkatkan kepercayaan diri, mengatasi sindrom pascakekuasaan (postpower syndrome), pelampiasan stres akibat berbagai persoalan hidup, seperti konflik rumah tangga hingga pelarian dari beban hidup, seperti kemiskinan atau utang.
Sebagian orang memakai narkoba untuk membuat rasa nyaman atau membangun kepercayaan diri. Sebagian yang lain mengonsumsi karena sekadar menemani pasangan atau ikut-ikutan teman, yaitu sebagai konformitas agar diterima kelompok tertentu. Semula mereka hanya coba-coba, namun akhirnya kecanduan dan sulit keluar dari jeratan narkoba.
“Motivasi pemakaian narkoba sangat bergantung pada kebutuhan yang diinginkan atau dibayangkan. Karena itu, kasus narkoba tidak bisa disamakan satu dengan yang lain,” tambah Guru Besar Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Koentjoro.
Motif untuk menggunakan narkoba itu juga akan berdampak pada pilihan jenis narkoba yang digunakan. Meski demikian, kemudahan mendapatkan narkoba di pasaran serta kemampuan ekonomi pengguna juga akan memengaruhi pilihan narkobanya. Ganja (cannabis, hasis, cimeng, gelek), sabu (ice, meth, kristal) dan ekstasi (xtc, inex, cui lin, kancing) adalah jenis narkoba yang paling banyak digunakan di Indonesia.
Meski demikian, keragaman wilayah dan ekonomi membuat narkoba yang digunakan sangat beragam. Menghirup lem, mengonsumsi obat batuk merek tertentu secara berlebihan, hingga makan jamur tahi sapi dijadikan alternatif sebagian orang demi mendapat efek narkotika yang diinginkan.
Pengguna narkoba bisa berasal dari beragam latar belakang ekonomi, sosial, tingkat pendidikan hingga jenis kelamin dan umur. Situasi sosial yang tidak menentu, seperti saat pandemi ini, rentan meningkatkan stres di semua kelompok masyarakat hingga bisa memicu peningkatan konsumsi narkoba.
Generasi frustasi
Survei Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba 2021 yang dilakukan BNN bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Badan Pusat Statistik menunjukkan prevalensi orang yang menggunakan narkoba selama setahun terakhir naik dari 1,80 persen atau setara 3,42 juta penduduk pada 2019 menjadi 1,95 persen atau sekitar 3,66 juta orang pada 2021.
Sementara prevalensi mereka yang pernah memakai narkoba juga naik dari 2,40 persen atau sekitar 4,53 juta orang pada 2019 menjadi 2,57 persen atau setara 4,83 juta orang pada 2021.
Jumlah itu diprediksi akan terus meningkat seiring perkembangan penduduk, pertumbuhan ekonomi, serta perubahan sosial yang menyertainya. Saat ini, lebih dua pertiga penduduk berusia produktif antara 15-64 tahun, median umur antara 28-30 tahun, berpendapatan menengah, lebih banyak yang tinggal di perkotaan, dan terkoneksi dunia global melalui internet.
“Kasus hukum penyalahgunaan narkoba memang tidak pernah turun,” kata Yossi.
Besarnya penduduk Indonesia adalah pasar besar narkoba. Perubahan sosial di masa depan yang makin cepat dipastikan akan sulit diikuti oleh semua orang karena terbatasnya kapasitas otak manusia. Mereka yang tidak bisa mengikuti perubahan akan tertinggal dan menimbulkan tekanan mental hingga frustasi.
“Karena itu, generasi masa depan sering disebut sebagai generasi frustasi,” ujar Koentjoro. Mereka yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut rentan melampiaskannya persoalan kesehatan mental yang dialami pada narkoba.
Di sisi lain, generasi muda saat ini hidup di dunia maya. Pandangan, sikap dan perilaku mereka sangat dipengaruhi oleh media sosial yang dipenuhi oleh tontonan yang mengumbar emosi. Mereka rentan mengalami perundungan, ejekan bentuk tubuh, rasa rendah diri, hingga merasa kurang bahagia akibat tingginya paparan hal-hal yang bersifat materialisme dan hedonisme.
Situasi itu rentan menimbulkan berbagai persoalan kesehatan mental, termasuk penyalahgunaan narkoba. Namun isu ini memang belum menjadi perhatian serius pemerintah dan masyarakat. Bahkan, banyak yang menganggapnya masalah kesehatan mental sebagai aib hingga harus ditutupi. Akibatnya, anak muda yang mengalami kecanduan narkoba umumnya baru dibawa berobat saat sudah mengalami kecanduan parah.
Walau pandemi berdampak pada semua orang, nyatanya tidak semua menjadikan narkoba sebagai pelampiasan. Persoalan kesempatan dan dukungan lingkungan sosial sekitar sangat menentukan apakah seseorang akan mengonsumsi narkoba atau tidak.
Anak yang mendapat perhatian orangtua secara utuh dan penanaman nilai-nilai di masyarakat secara jelas lebih memiliki faktor pelindung yang bisa menghindarkan mereka dari narkoba. Karena itu, pola asuh orangtua dan keluarga yang harmonis berperan besar menjaga generasi muda agar tidak melirik ke narkoba.
Dukungan lingkungan juga sangat penting karena masalah ini tidak hanya bisa diselesaikan secara hukum. “Guru, keluarga dan masyarakat perlu peduli dengan penyalahgunaan narkoba. Mereka perlu mengenali gejala awal pengonsumsi narkoba hingga bisa segera bertindak dan berobat agar jangan sampai kecanduan,” tambah Yosi.
Menurut Koentjoro, kesehatan mental adalah produk budaya. Karena itu, pencegahan dan penanganan narkoba pun harus dilakukan dengan pendekatan budaya.
BNN memang memiliki sejumlah program pencegahan penyalahgunaan narkoba, seperti desa bersinar dengan melatih masyarakat untuk mengenali dan merehabilitasi pengguna narkoba. Pada 2021, baru ada 346 desa bersinar. Padahal, ada 83.381 desa/keluarahan di Indonesia. Karena itu, pelibatan dan peningkatan pengetahuan masyarakat untuk mencegah mencegah dan membantu rehabilitasi narkoba perlu terus didorong.
Di sisi lain, peran pemerintahan daerah dalam pencegahan penyalahgunaan narkoba perlu terus diperkuat. Pendekatan budaya dan sosial kemasyarakat perlu terus diperkuat, bukan dengan pendekatan hukum semata. Nilai-nilai kearifan lokal perlu terus digali dan diwariskan kepada generasi muda hingga kerentaran dan peluang mereka dalam penyalahgunaan narkoba dapat ditekan.