Pelanggaran Protokol Kesehatan di Sekolah Masih Terjadi
Penerapan protokol kesehatan selama pembelajaran tatap muka terbatas di sejumlah daerah belum berjalan dengan baik. Hal itu disebabkan lemahnya pengawasan di sekolah untuk mencegah penularan Covid-19.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelanggaran protokol kesehatan di sekolah seiring dengan masifnya pembelajaran tatap muka terbatas masih terjadi. Untuk itu, pengawasan penerapan protokol kesehatan di satuan pendidikan mesti ditingkatkan sesuai aturan dalam surat keputusan bersama empat menteri.
Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri, di Jakarta, Rabu (12/1/2022), mengatakan, dari pantauan di sejumlah daerah, pelanggaran protokol kesehatan selama pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas yang sudah bisa dihadiri sampai 100 persen siswa setiap hari masih terjadi. Hal itu disebabkan kurangnya pengawasan.
”Pelaksanaan PTM terbatas harus rutin dievaluasi untuk memastikan kesehatan dan keselamatan warga sekolah tetap diutamakan. Suasana PTM 100 persen jangan sampai membuat semua pihak lengah,” ujarnya. Karena itu, pemerintah daerah perlu melakukan skrining atau penapisan dengan cara melaksanakan tes swab acak dan berkala kepada siswa dan guru di sekolah.
Menurut Iman, pencegahan kerumunan di sekolah sebagai salah satu upaya menegakkan protokol kesehatan (prokes) masih sulit dilakukan. Terbatasnya thermogun atau alat pemindai suhu tubuh yang disediakan sekolah, misalnya, membuat banyak siswa berkerumun saat pengecekan suhu setiba di sekolah.
Sekolah juga diminta mengatur jam istirahat yang tidak terlalu lama, berkisar 10-15 menit, sehingga siswa tidak berkerumun. ”Guru piket jangan hanya pasif, harus berkeliling di sekitar area sekolah, memantau kegiatan olahraga ataupun tamu yang masuk, termasuk pengantar siswa. Saat istirahat bagaimana, disiplin prokes atau enggak,” ujarnya.
Pelaksanaan PTM terbatas harus rutin dievaluasi untuk memastikan kesehatan dan keselamatan warga sekolah tetap diutamakan. Suasana PTM 100 persen jangan membuat semua pihak lengah.
Sekretaris P2G DKI Jakarta Abdul Rahman mengatakan, pihaknya mendesak agar pengawasan penerapan protokol kesehatan di sekolah oleh pemerintah daerah, Satuan Tugas Penanganan Covid-19, dan pemerintah pusat ditingkatkan.
”Kami meminta Dinas Pendidikan atau Satgas melakukan inspeksi mendadak. Saya yakin, misalnya Disdik DKI atau Satgas Covid-19 DKI sidak ke sekolah-sekolah, akan banyak menemukan pelanggaran Surat Keputusan Bersama (SKB) empat Menteri,” kata Abdul.
Aparat, seperti satuan polisi pamong praja, Tim Satgas Covid-19, dan aparat lainnya perlu menyisir dan mengawasi pelaksanaan protokol kesehatan di jam-jam krusial siswa pulang sekolah, sekitar pukul 12.00-13.00. Upaya ini sebagai tindakan preventif agar anak-anak tidak menularkan atau tertular karena mereka nongkrong sepulang sekolah.
Para orangtua dan wali kelas juga bisa saling berkomunikasi, utamanya jika sudah waktunya pulang sekolah, tetapi anak didik belum pulang. P2G mengkritik pihak Satgas Covid-19 sekolah yang kebanyakan hanya aktif saat jam datang dan pulang sekolah. Seharusnya, di sela-sela waktu tersebut, tim juga aktif mengontrol secara bergantian.
Secara terpisah, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyatakan, prosedur standar operasi (SOP) PTM terbatas sebenarnya sudah disiapkan sekolah. Namun, ketika dipraktikkan dalam PTM 100 persen, belum tentu mulus. Kerumunan menjadi salah satu masalah yang kerap terjadi.
Selain itu, SOP kedatangan siswa disiapkan dan dilaksanakan dengan baik, mulai dari cek barcode PeduliLindungi, ukur suhu badan, cuci tangan, memakai masker, hingga pengaturan menuju kelas. Antrean cuci tangan juga diatur agar tidak terjadi penumpukan. Namun, begitu memasuki kelas, ketentuan untuk jaga jarak 1 meter sulit diterapkan.
Demikian pula SOP kepulangan siswa tidak terjadi kerumunan sehingga dibuat tiap kelas pulangnya di jeda waktunya sehingga tidak berbarengan. Hal ini untuk menghindari penumpukan. Namun, dalam praktiknya, dari hasil pengawasan ada penumpukan, karena para orangtua siswa terlambat menjemput anaknya. Akibatnya anak-anak yang menunggu dekat pintu gerbang menjadi menumpuk.
Dari pemantauan saat berkeliling dari satu kelas ke kelas lainnya, lanjut Retno, terlihat para peserta didik sulit jaga jarak. Ukuran ruangan kelas yang kecil dengan peserta didik antara 32-40 orang membuat jaga jarak yang ideal antara satu siswa dengan siswa lainnya di masa pandemi sulit dilakukan.
Padahal lamanya jam belajar ditambah, yang semula hanya 4 jam per hari menjadi 6 jam per hari. Itu berarti puluhan anak lebih lama berada di dalam ruangan bersama gurunya dalam jumlah cukup banyak.
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada, Bayu Satria Wiratama, beberapa waktu lalu mengatakan, selain disiplin menjalankan prokes saat PTM, sistem tanggap dan pengawasan Covid-19 di sekolah juga harus berjalan dengan baik. Dengan begitu, siswa yang diduga terkena Covid-19 bisa cepat terdeteksi.
Hal itu ditunjang dengan pengawasan terkait kedisplinan 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas dari semua warga sekolah, termasuk staf nonguru dan orangtua.
”Kemudian ditunjang dengan memastikan sebagian besar warga sekolah yang terlibat pembelajaran tatap muka sudah divaksin,” ujarnya. Semua warga sekolah harus disiplin menjalankan prokes saat di sekolah dan luar sekolah. Sebab, resiko terpapar bisa terjadi kepada siapa pun.
Bayu mengingatkan supaya vaksinasi pada pendidik dan tenaga kependidikan serta siswa terus dipercepat. Sebab, vakinasi sebagai upaya memberikan perlindungan bagi semua warga sekolah dan masyarakat di tengah mulai meningkatnya aktivitas masyarakat, termasuk PTM terbatas.
Terkait vaksinasi, Iman mengatakan, P2G mendesak agar program vaksin penguat juga segera diberikan kepada guru dan tenaga kependidikan. ”Para GTK di sekolah ini bertemu banyak siswa setiap hari. Karena itu, mereka harus diprioritaskan mendapatkan vaksin booster (penguat),” ujarnya.