Sekolah Diseleksi untuk Terapkan Kurikulum Prototipe
Sekolah yang ingin mengikuti Kurikulum Prototipe harus melewati seleksi. Penerapan kurikulum ini berjenjang di kelas I dan IV SD, kelas VII SMP, dan kelas X SMA/SMK sederajat.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi membuka opsi bagi sekolah-sekolah untuk menerapkan Kurikulum Prototipe mulai Juli 2022. Meskipun pemberlakuan Kurikulum Prototipe merupakan pilihan sekolah secara bertahap dalam dua tahun ke depan, untuk sekolah yang berminat menerapkan kurikulum yang sudah diujicobakan di 2.500 sekolah penggerak ini harus mendaftar dan disurvei level kesiapannya.
Kurikulum Prototipe kini terus disosialisasikan ke sejumlah pemangku kepentingan pendidikan di daerah. Dengan Kurikulum Prototipe, guru didorong untuk menerapkan pembelajaran sesuai dengan kemampuan siswa serta memberi ruang lebih luas pada pengembangan karakter dan kompetensi dasar.
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Anindito Aditomo, Senin (10/1/2022), di Jakarta, mengatakan, pemerintah pusat memberi opsi kepada sekolah dalam penerapan Kurikulum Prototipe. Ada mekanisme pendaftaran dan survei untuk menentukan level kesiapan.
”Nanti akan ada sekolah yang disarankan mulai dengan pelatihan dan penerapan terbatas dulu di tahun ajaran 2022. Artinya, sekolah masih menggunakan Kurikulum 2013, tetapi dengan mencoba beberapa elemen Kurikulum Prototipe. Nah, sekolah yang sudah lebih siap bisa menerapkan secara lebih utuh,” jelas Anindito.
Guru yang terkendala akses informasi agar diberikan tambahan bimbingan agar lebih memahami dan menerapkan Kurikulum Prototipe dengan baik.
Proses pendaftaran, kata Anindito, akan dikelola pusat dengan melibatkan pemerintah daerah. Sampai saat ini, pendaftaran belum dibuka karena masuk dalam detail-detail yang masih disiapkan. Penerapan Kurikulum Prototipe ini mulai berjenjang di kelas I dan IV SD, kelas VII SMP, dan kelas X SMA/SMK sederajat.
Di acara Sosialisasi Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Sulawesi Barat di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, pekan lalu, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Kemendikbudristek Zulfikri Anas menyampaikan Kurikulum Prototipe akan mulai ditawarkan secara lebih masif pada 2022-2024. Kemendikbudristek akan memberikan bimbingan intensif mengenai Kurikulum Prototipe kepada sekolah dan dinas pendidikan melalui unit di pusat dan di daerah.
Penerapan Kurikulum Prototipe menjadi strategi percepatan pemulihan pendidikan dan memitigasi kehilangan pembelajaran (learning loss) akibat pandemi Covid-19. Ini tecermin dalam karakteristik Kurikulum Prototipe, yaitu fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan peserta didik (teach at the right level).
Kurikulum Prototipe fokus pada materi esensial sehingga guru punya cukup waktu untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar, seperti literasi dan numerasi. ”Materi yang padat itu cenderung membuat guru menceramahi anak tentang materi yang ada, dari awal sampai akhir, kemudian mengejar target kompetensi, sehingga tidak sempat mengecek apakah anak sudah paham atau tidak,” ujar Zulfikri.
Selain itu, Kurikulum Prototipe akan mendorong pembelajaran berbasis proyek untuk pengembangan keterampilan nonteknis (soft skills) dan karakter Profil Pelajar Pancasila, yaitu keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia, gotong royong, kebinekaan global, kemandirian, nalar kritis, dan kreativitas.
Anggota Komisi X DPR, Ratih Megasari Singkarru, mengingatkan agar Kemendikbudristek serius menyiapkan guru-guru yang akan menerapkan Kurikulum Prototipe ini. Para guru yang terkendala akses informasi agar diberikan tambahan bimbingan agar lebih memahami dan menerapkan Kurikulum Prototipe dengan baik.
Secara terpisah, dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Diana Setiyawati menyoroti kenormalan baru membawa angin segar dalam meredakan kasus Covid-19 di masyarakat. Melalui kebijakan protokol kesehatan yang ketat, pembatasan sosial dan wilayah, serta keberadaan Satuan Tugas Covid-19 terbukti efektif mengatasi dampak dari penyebaran Covid-19.
Namun, di sisi lain muncul sejumlah dampak negatif dari kenormalan baru. Beberapa studi menunjukkan dampak negatif ini melahirkan perilaku individu yang tidak sehat, seperti kecemasan, kemarahan, kesedihan, efikasi diri lemah, mudah tersulut emosi, dan kecanduan gawai semakin marak.
”Untuk sistem pendidikan, perlu dilakukan penyusunan ragam kurikulum yang sesuai untuk metode pembelajaran jarak jauh, tatap muka maupun bauran di antara keduanya. Hal ini tentunya perlu diimbangi dengan peningkatan kapasitas guru sehingga mampu merancang pembelajaran dengan tepat,” ujar Diana.
Memberdayakan sekolah
Anindito mengatakan, Kurikulum Prototipe tidak langsung ditetapkan untuk semua sekolah, tetapi sebagai opsi yang bisa dipilih sekolah. Tujuannya untuk menegaskan bahwa sekolah memiliki kewenangan dan tanggung jawab mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan dan konteksnya. Selain itu, guna mewujudkan perubahan kurikulum nasional terjadi secara lancar dan bertahap.
Menurut Anindito, terkait kurikulum sebenarnya tugas pemerintah menetapkan kerangkanya, bukan menetapkan kurikulum yang sudah operasional dan siap digunakan begitu saja oleh sekolah. Tugas sekolah untuk menyusun kurikulum yang operasional.
”Jadi, kurikulum antarsekolah bisa dan seharusnya berbeda, sesuai dengan karakteristik murid dan kondisi sekolah. Tentu asalkan mengacu pada kerangka yang sama,” jelas Anindito.
Sekolah bertanggung jawab untuk merefleksikan kerangka kurikulum mana yang cocok untuk mereka.
Sayangnya, lanjut dia, ekosistem pendidikan sudah lama dianggap sebagai pelaksana kebijakan pusat. Akibatnya, paradigma yang berkembang adalah kepatuhan pada aturan, bukan rasa berdaya sebagai pekerja profesional.
Regulasi kurikulum dari pusat pun sering dianggap sebagai resep atau instruksi. Sampai format dokumen pun banyak yang merasa perlu diseragamkan dari pusat. Selain karena kapasitas guru yang tidak siap, masalah ini juga terjadi akibat regulasi yang kaku, rinci, dan menyeragamkan.
”Lewat opsi kurikulum, kami ingin menegaskan bahwa sekolah bertanggung jawab untuk merefleksikan kerangka kurikulum mana yang cocok untuk mereka,” ujar Anindito.