Persekolahan Penuh Memicu Pelanggaran Protokol Kesehatan di Surabaya
Surabaya, Jawa Timur, perlu lebih mendorong penegakan protokol kesehatan dalam pembelajaran tatap muka penuh atau 100 persen yang sedang berlangsung untuk menekan risiko penularan Covid-19.
Oleh
AMBROSIUS HARTO, AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Uji coba pembelajaran tatap muka penuh atau 100 persen di Surabaya, Jawa Timur, memicu pelanggaran protokol kesehatan. Keluarga yang mengantar dan menjemput siswa-siswi sulit memastikan ketertiban atau jaga jarak di depan sekolah.
Senin (10/1/2022) merupakan hari pertama uji coba persekolahan penuh untuk seluruh jenjang pendidikan di Surabaya, ibu kota Jatim. Karena dalam masa uji coba, kehadiran siswa-siswi di sekolah dibagi dalam dua sif. Waktu pembelajaran 90-120 menit untuk pendidikan anak usia dini, 120-150 menit atau 2-2,5 jam untuk sekolah dasar, dan rata-rata 180 menit atau 3 jam untuk sekolah menengah pertama dan sederajat (madrasah tsanawiyah).
Dengan keberadaan sif, terutama murid SD-SMP ada yang masuk pagi dan ada yang siang. Potensi masalah muncul karena jeda kepulangan siswa siswi sif pertama dan masuknya pelajar ke sif kedua sekitar 30 menit. Di sisi lain, Pemerintah Kota Surabaya amat meminta orangtua atau keluarga mengantar putra putri mereka untuk persekolahan dengan harapan menekan risiko penularan Covid-19 (Coronavirus disease 2019).
Namun, pergantian sif dan aktivitas antarjemput memicu keramaian atau kerumunan, bahkan kemacetan di depan sekolah. Situasi itu kurang baik atau tidak selaras dengan semangat disiplin protokol kesehatan untuk menekan risiko penularan. Protokol dimaksud ialah berpelindung diri (bermasker, berkacamata, atau face shield), menjaga kebersihan dengan rutin mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari membuat atau terlibat kerumunan, dan menekan mobilitas.
Aktivitas antar jemput pada prinsipnya tidak selaras dengan semangat jaga jarak, menghindari kerumunan, dan menekan mobilitas. Misalnya di SMP Negeri 21, Jambangan, Surabaya, kemacetan di depan gerbang sekolah jelang pukul 09.30 tidak terhindari. Sif pertama selesai pukul 09.15, sedangkan sif kedua akan dimulai pukul 09.45. Lalu lintas di depan gerbang sekolah menjadi amat ramai kehadiran orangtua yang ingin menjemput putra putri mereka yang selesai sif pertama. Lainnya mengantar siswa-siswi yang masuk sif kedua.
Dalam situasi amat ramai itu, pelajar yang selesai persekolahan menjadi kesulitan untuk keluar menuju penjemput. Tidak bisa terhindari kontak dekat secara fisik dengan orang lain. Yang menambah persoalan, ada sebagian, meski tidak banyak, pengantar atau penjemput tidak berpelindung diri. Situasi yang amat ramai tidak selaras dengan penegakan protokol untuk menekan penularan.
Situasi agak berbeda terlihat di SMP Negeri 62, Gunung Anyar, Surabaya. Kerumunan tidak sampai membuat kemacetan karena sekolah ini memiliki dua gerbang. Pelajar sif pertama keluar dari gerbang belakang yang tidak menjadi akses bagi siswa-siswi sif kedua yang masuk gerbang utama di depan.
Selain itu, pengelola sekolah tidak mewajibkan siswa-siswi diantar dijemput keluarga. Mereka boleh berangkat sendiri, baik dengan jalan kaki, mengendarai sepeda, atau ikut antarjemput.
Kepala Dinas Pendidikan Surabaya Yusuf Masruh mengatakan, berbagai kendala jelas muncul dalam hari pertama uji coba PTM penuh. ”Masih perlu penyesuaian pola aktivitas peserta didik dan keluarga,” katanya.
Koordinasi
Menurut Yusuf, gugus tugas sekolah tangguh berisi siswa-siswi, guru, dan tenaga sekolah akan terus diingatkan agar memastikan penerapan protokol terlaksana dengan baik. Sekolah juga diminta berkoordinasi terus dengan orangtua atau keluarga pelajar. Sivitas yang merasa mengeluh kesehatannya diminta memeriksakan diri dan diawasi oleh tim kesehatan puskesmas.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi saat meninjau uji coba persekolahan penuh di beberapa sekolah mengatakan, PTM penuh telah disetujui oleh pemerintah pusat melalui surat keputusan bersama Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri.
Masih perlu penyesuaian pola aktivitas peserta didik dan keluarga. (Yusuf Masruh)
Menurut Eri, aparatur terpadu di Surabaya jelas tidak berseberangan dengan kebijakan itu. PTM penuh, meski ada risiko, dipandang lebih baik daripada sistem daring yang lebih banyak kendala teknis dan sosial. Pemerintah juga memandang, hampir dua tahun sistem daring dijalankan memicu penurunan daya belajar dan kepekaan sosial peserta didik.
”Surabaya tidak langsung menerapkan penuh seperti sebelum pandemi, tetapi uji coba terlebih dahulu dan dievaluasi. Jika tidak meningkatkan risiko penularan, PTM penuh perlu dilanjutkan,” kata Eri.
Epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, mengatakan, kehati-hatian dalam PTM penuh tetap diperlukan melalui pemantauan, pengawasan, dan evaluasi terus menerus. Hal itu dikaitkan dengan perkembangan situasi penularan Covid-19. ”Harus diperkuat mitigasi dalam penegakan protokol kesehatan,” katanya.