Jejak Perjuangan Pangeran Diponegoro Setelah 167 Tahun
167 tahun lalu, tepatnya pada 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro meninggal. Jejak perjuangannya masih ada di berbagai tempat di Indonesia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Pada 8 Januari, tepat 167 tahun yang lalu, Pangeran Dipenogoro mengembuskan napas terakhir di Benteng Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan. Perjalanan virtual dari Yogyakarta, Magelang, Makassar, hingga Jakarta pun diadakan untuk memperingati kematian pahlawan nasional tersebut.
Pangeran Diponegoro lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu pada 1785. Ia putra Sri Sultan Hamengkubuwono III. Saat ayahnya wafat pada 1814, Diponegoro tidak naik takhta, melainkan adiknya. Alasannya karena ”martabat” ibu kandung adiknya lebih tinggi dibandingkan ibu kandungnya (Kompas, 23/8/1969).
Diponegoro tidak lama berada di lingkungan kerajaan. Ia memilih tinggal bersama neneknya di Tegalrejo dan mendalami ilmu agama. Neneknya ialah Ratu Ageng, permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono I, orang yang kemudian mendidik Diponegoro.
Kompas mencatat, Diponegoro mengembara dan bertapa di sejumlah goa suci guna mengumpulkan kekuatan batin. Ia menjadi tokoh yang disegani dan dihormati penduduk di Tegalrejo.
Kisah Diponegoro berlanjut dengan Perang Jawa yang berlangsung selama lima tahun, yaitu pada 1825-1830. Perang Jawa menjadi salah satu perang terbesar di Indonesia. Sejarah mencatat beragam alasan perang ini terjadi, antara lain, penyalahgunaan penyewaan tanah oleh bangsa Barat yang membuat warga lokal sengsara.
Perang ini juga terjadi karena kebijakan Residen Smissaert dari Pemerintah Hinda Belanda untuk membuat jalan Yogyakarta-Magelang. Smissaert memerintahkan untuk memasang pancang penanda jalan tersebut. Masalahnya, jalan itu melintasi Tegalrejo dan lahan Diponegoro, bahkan makam leluhurnya. Pemasangan pancang dilakukan tanpa seizin Diponegoro.
Pancang-pancang itu dicabut atas perintah Diponegoro. Pancang bahkan diganti dengan tombak. Perang yang disebut juga dengan Perang Diponegoro ini pun meletus. Diponegoro mendapat bantuan dari masyarakat bahkan para bangsawan. Taktik perang gerilya hingga pengaruhnya yang besar ke masyarakat membuat Diponegoro dicap berbahaya oleh Belanda.
Ditangkap dan diasingkan
Setelah perang lima tahun, Diponegoro ditangkap Belanda pada 1830 di Magelang. Ia kemudian dibawa ke Ungaran, lalu ke Batavia (sekarang Jakarta). Ia ditahan selama 26 hari di Batavia dan ditempatkan di kamar kepala sipir penjara di Gedung Balai Kota Batavia.
Gedung itu kini menjadi Museum Sejarah Jakarta. Kamar yang dulu ditempati Diponegoro pun kini menjadi bagian dari museum dan dibuka untuk umum sejak November 2018.
Selepas dari Batavia, Diponegoro diasingkan ke Manado selama tiga tahun (1830-1833). Pengasingan berlanjut di Benteng Rotterdam, Makassar, sejak 1833 hingga ia wafat pada 1855.
”Pemerintah Hindia Belanda khawatir ada pergerakan orang pribumi Jawa dan pendukung (Diponegoro). Itu sebabnya mereka memindahkan Diponegoro. Menurut isu, awalnya Diponegoro mau dipindahkan ke Ternate. Tapi, ia dibawa ke Makassar secara rahasia,” kata pemandu di Benteng Rotterdam, Kamaruddin, secara daring, Sabtu (8/1/2022).
Diponegoro juga menulis catatan sebanyak 1.151 halaman yang dibuat selama perjalanan pengasingan ke Manado. Catatan itu disebut Babad Diponegoro. Salinannya ada di Belanda dan Indonesia. Menurut sejumlah sumber, naskah asli Babad Diponegoro dipercaya hilang.
Adapun Babad Diponegoro kini menjadi harta karun dunia. Pada 2013, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mengakui Babad Diponegoro sebagai Ingatan Kolektif Dunia (Memory of the World/ MoW).
Pemerintah Hindia Belanda khawatir ada pergerakan orang pribumi Jawa dan pendukung (Diponegoro). Itu sebabnya mereka memindahkan Diponegoro. Menurut isu, awalnya Diponegoro mau dipindahkan ke Ternate. Tapi, ia dibawa ke Makassar secara rahasia.
Sebagian kisah hidup dan perjalanan Diponegoro tersebut dikisahkan para pemandu hingga duta museum secara virtual, Sabtu (8/1/2022) sore. Perjalanan virtual ini berlangsung melalui siaran langsung di Instagram. Siaran dilakukan bersama sejumlah pihak, yakni Museum Monumen Pangeran Diponegoro (Yogyakarta), Museum Diponegoro (Magelang), Museum Sejarah Jakarta, dan Benteng Rotterdam.
Mereka bergantian membawa audiens jalan-jalan menyusuri museum, benteng, dan melihat barang-barang peninggalan Diponegoro. Kendati siaran itu terkendala sinyal hingga gangguan audio, audiens yang jumlahnya sekitar belasan itu tetap setia menyimak siaran sampai selesai.
Siaran itu diharapkan tidak hanya mengenalkan kembali sosok Diponegoro ke publik, tetapi juga nilai perjuangan yang ia wariskan. Ia dinilai sebagai pejuang kemanusiaan yang membela rakyat tertindas. Perjuangan ini agar diadaptasi ke tantangan hidup zaman sekarang.
”Jika dulu perjuangannya adalah melawan penjajah, perjuangan kita sekarang mungkin adalah perjuangan kecerdasan. Kita mesti maju di berbagai bidang,” kata Kamaruddin.