Sejumlah pengelola media massa bersiasat untuk beradaptasi menghadapi disrupsi digital. Selain memasuki ranah digital, para pengelola media massa mengutamakan kebutuhan pembaca dalam membuat konten berita.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra (kiri) menerima Anugerah Dewan Pers 2021 kategori media siber untuk Kompas.id dalam ajang Anugerah Dewan Pers 2021 di Jakarta, Kamis (9/12/2021). Dewan Pers menyelenggarakan program Anugerah Dewan Pers 2021 dalam rangka mengapresiasi media massa, wartawan, lembaga, dan perorangan yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan kemerdekaan pers di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Keberlanjutan media massa arus utama di tengah disrupsi teknologi informasi dan komunikasi menghadapi tantangan berat. Selain harus dapat bertransformasi dan beradaptasi dalam lingkaran digitalisasi, media mesti membangun kemandirian terhadap platform digital.
Dalam acara Refleksi Akhir Tahun bertajuk ”Keberlanjutan” yang digelar Dewan Pers di Jakarta, Kamis (30/12/2021) malam, sejumlah pengelola media massa cetak dan radio di daerah berbagi pengalaman untuk bisa bertahan dan berkembang menghadapi tantangan disrupsi dan pandemi Covid-19. Tampil sebagai narasumber yakni perwakilan dari Jawa Pos, Radio Suara Surabaya (SS), Harian Analisa di Medan, dan Harian Singgalang di Sumatera Barat.
Ketua Dewan Pers M Nuh menyatakan, masalah yang dihadapi kalangan pengelola media massa tiap hari tidak mudah, tetapi tetap ada potensi bagi media massa arus utama untuk berkembang karena informasi menjadi kebutuhan dasar manusia.
”Cara menyebarkan informasi itu dinamis, bisa berganti-ganti, ada masanya. Dulu penyampaian informasi dari kentongan dan saat ini secara digital. Yang berubah itu metode atau cara menyampaikan informasi,” kata Nuh.
Dengan demikian, pengelolaan esensi media massa kini perlu dilihat dari perspektif bagaimana menyampaikan informasi. ”Kalau perusahaan/lembaga media massa tidak mengubah cara dan membangun ekosistem perusahaan, ya bisa ketemu ajalnya,” ujarnya.
Cara menyebarkan informasi itu dinamis, bisa berganti-ganti, ada masanya. Dulu penyampaian informasi dari kentungan dan saat ini secara digital. Yang berubah itu metode menyampaikan informasi.
Terkait hal itu, para pengelola media massa perlu saling belajar dan berbagi pengalaman dalam rangka mempercepat proses belajar dari pengalaman media lain bagaimana bisa bertahan dan berkembang. ”Kita tidak bisa sendirian, saling membutuhkan, untuk bisa saling belajar agar cepat beradaptasi dan bertransformasi,” kata Nuh.
Koran tetap bertahan
Direktur Utama Koran Jawa Pos Leak Kustiyo mengatakan, selain koran, ada Jawapos.com dan Jawapos TV. Meski ada penurunan oplah, pendapatan koran Jawa Pos koran justru terbaik dibandingkan dengan unit lainnya. Jawapos.com juga berkembang dengan mendapat peringkat baik berdasarkan Alexa masuk 9 besar untuk media daring.
TANGKAPAN LAYAR
Para pemenang Diversity Award 2021 berfoto bersama, Minggu (12/12/2021), di Jakarta. Penghargaan ini diberikan terhadap karya jurnalistik terbaik di Indonesia yang memberitakan isu keberagaman.
Menurut Leak, jurnalisme yang baik dan didukung bisnis yang baik bisa tetap mempertahankan eksistensi surat kabar. Ditambah lagi, dengan mengutamakan kedekatan atau kedekatan dengan pembaca atau audiens.
Ada perubahan konten Jawa Pos dari yang dulu generik dengan konten dari departemen atau pemerintahan kini halaman berisi lokalitas. Pembaca di suatu wilayah bisa menemukan berita lokal yang dikemas dengan standar jurnalisme yang baik.
”Kami awalnya menemukan masa transisi yang sulit. Namun, kelak kami menemukan bahwa intimacy amat kuat untuk melawan tren konten pemberitaan umum. Bagaimana hal-hal kecil di suatu desa atau kelurahan tetap harus tampil dengan jurnalisme yang baik, diliput dengan etika jurnalistik yang pas, dan ditampilkan dengan estetika yang baik,” kata Leak.
Ada cara customized dengan menekuni pembaca lokal. Halaman-halaman koran dipahami sebagai keharusan dengan pendekatan tidak generik, tetapi sesuai kebutuhan pembaca dengan intimacy. ”Kemudian, kami menemukan bahwa iklan lokal di Surabaya juga berani membayar ruang iklan yang sama dengan di Jakarta,” kata Leak.
Sementara itu, Sekretaris Redaksi Harian Analisa Guntur Adi Sukma mengatakan, di saat ada keharusan bertransformasi digital, sesungguhnya media cetak tetap menjanjikan. Harian Analisa yang tahun depan akan berusia 50 tahun tetap mampu bertahan dan mendapatkan pendapatan besar dari koran.
”Di tengah digitalisasi, kami masih mampu bertahan dengan guncangan-guncangan yang ada. Walaupun diakui disrupsi mengganggu Harian Analisa cetak karena penurunan oplah, masih bisa eksis dan unggul,” ujar Guntur.
Namun, digitalisasi tetap disiapkan dengan membangun situs analisadaily.com. Awalnya 100 persen bentuk digital dari cetak. Lalu berubah menjadi portal berita yang berbeda dari Harian Analisa cetak meskipun ada keterkaitan dengan fitur e-paper.
”Dari kondisi ini, kami memikirkan apakah media cetak perlu bertransfomasi mengubah diri ke digital atau lebih ke model multiplatform. Kayaknya lebih memberikan banyak hal positif yang multiplatform dengan diversifiaksi produk,” ujarnya.
Sampai saat ini, menurut Guntur, pembaca Harian Analisa cetak umumnya adalah pembaca setia. Belum tentu mereka beralih ke e-paper. Ketika menjadi platform daring sepenuhnya, pihaknya masih berhitung apa bisa menutup biaya operasional sepenuhnya karena yang media daring masih impas.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Pegiat Pers Mahasiswa Akademika Universitas Udayana, Bali, menggarap sebentuk konvergensi media melalui kegiatan bertajuk ”Jelajah Jurnalistik 2021” selama rentang 14-29 Juni 2021. Foto dari penayangan konferensi pers tentang kegiatan Jelajah Jurnalistik 2021 yang diselenggarakan Persma Akademika Universitas Udayana secara daring, Minggu (11/7/2021).
Sementara Pemimpin Redaksi Harian Singgalang Khairul Jasmi optimistis bahwa surat kabar bisa bertahan dengan kekuatan rasa bahasa. Media cetak bisa bertahan dengan pendapatan dari advertorial yang dikemas dalam rasa bahasa tidak kalah denga nonadvertorial. Selain itu, koran ini terus mempertahankan program Singgalang Masuk Sekolah agar terjaga regenerasi pembaca.
Tak hanya media cetak yang optimistis masih bisa mempertahankan eksistensi. Pimpinan Redaksi Radio Suara Surabaya Eddy Prastyo menyatakan, radio juga mengalami tantangan disrupsi.
Namun, secara karakter ada keberuntungan radio yang hampir mirip dengan media daring, yakni selintas dan bisa di-update sesegera mungkin. ”Kami di Radio SS juga tidak kesulitan untuk proses transformasi meksipun juga tidak mudah,” kata Eddy.
Penurunan pendengar radio juga dialami Radio Suara Surabaya. Namun, kemudian bisa meningkat kembali dengan strategi keintiman berbasis lokal. Meskipun belum secara signifikan berdampak pada peningkatan pendapatan/bisnis, ini memberikan gairah bagi tim untuk terus menemukan strategi baru.
Menurut Eddy, radio sudah beradaptasi dengan perkembangan digital dengan dengan membuat platform, aplikasi, dan web. Pendengar tidak hanya menikmati suara, tetapi bisa juga memilih teks dan video.
Keterlibatan warga juga diberi ruang untuk bisa melaporkan peristiwa lewat aplikasi. ”Keintiman dengan pendengar dengan berbasis lokal jadi kesempatan untuk dekat dengan mereka. Kami masih terus belajar,” ujar Eddy.
Menurut Kemal Gani dari Forum Pemimpin Redaksi, tiap media akan hidup dan menemukan titik keseimbangan. ”Nanti ada porsinya untuk tiap media. Namun, akan sangat bijaksana kalau sudah menyiapkan platform yang lain supaya bisa hidup,” ujarnya.
”Apa pun platformnya, intinya tetap memproduksi konten dengan prinsip yang kita pegang, dari perencanaan isi, aktualitas, kebermanafatan, ada proses check dan recheck, akurasi, dan penggunaan bahasa yang benar sebagai upaya menghadirkan jurnalisme yang baik dna berkualitas,” ujar Kemal.
Media massa arus utama harus dapat mengimbangi media sosial untuk memberikan hal-hal bermanfaat bagi masyarakat. Media massa arus utama harus tetap dengan komitmen untuk memberi asupan konten bagus pada masyarakat dengan cara yang menarik.
Tenaga Ahli Dewan Pers, Marah Sakti Siregar, mengapresiasi kegigihan para pengelola media massa di daerah yang gigih mempertahankan medium. ”Ini bukan sekadar bisnis, melainkan jurnalisme berkualitas yang disepakati bersama. Seperti New York Times yang lahir kembali karena digital, pelanggan bisa naik karena ada rasa percaya dan kedekatan dengan audiens,” ujarnya.
Agus Sudibyo dari Dewan Pers sekaligus sebagai moderator mengatakan, tantangan yang dihadapi media massa saat ini yakni ketergantungan pada platform digital. Hal ini bisa dihindari dan tidak selalu buruk. Namun, ketergantungan berlebihan akan menimbulkan dampak negatif terhadap mutu jurnalisme saat ini.
Media massa juga diajak untuk menemukan cara mendekatkan diri dengan konstituen pembaca/audiens dan pengiklan. Dengan teknologi digital, ada potensi semakin menjauhkan penerbit dan pengiklan atau semakin melemahkan hubungan langsung penerbit dan pengiklan karena lewat perantara teknologi.
Menurut Agus, media massa juga harus dapat membangun kemandirian data pengguna. Sebab, berbagai platform, seperti Google dan Facebook, mendapatkan data pengguna dengan memanfaatakan konten pihak lain.
Tak kalah penting perlunya diferensiasi produk. Jika platform media sosial identik dengan hoaks dan disinformasi, media massa siber harus menyajikan hal-hal yang lebih bermanfaat dengan pendekatan lokalitas dan proximity/kedekatan. ”Media massa yang bisa berkembang yang kembali pada isu lokal yang dekat dengan problem sehari-hari pembaca,” ujarnya.