Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Semua peristiwa hidup yang kita alami, senang atau susah, adalah takdir kehidupan. Namun, hidup terus berjalan, tak selamanya suram.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·5 menit baca
Kompas/AGUS SUSANTO
Kesibukan masyarakat urban di tengah pandemi. Penumpang komuter menunggu keberangkatan KRL di Stasiun Bekasi, Jawa Barat, Senin (8/6/2020).
Masih jelas dalam ingatan Fauziah Mursid (30), wartawati salah satu surat kabar nasional, saat ia pulang ke rumahnya di Depok, Jawa Barat, setelah menjalani perawatan Covid-19 di Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet, Jakarta, September 2020. Bayang-bayang sang ibu yang meninggal seminggu sebelumnya akibat Covid-19 terus muncul dalam ingatannya.
”Bagaimana Mama bangun dari tempat tidur, duduk sejenak sebelum ke kamar mandi, semua serasa terbayang-bayang,” katanya, Rabu (29/12/2021). Fauziah memang tidur sekamar dengan sang ibu sekaligus menjaga dan merawat ibunya, yang saat itu sakit kronis dan harus menjalani cuci darah dua kali seminggu.
Sang ibu meninggal saat menjalani perawatan Covid-19 di sebuah rumah sakit di Depok. Kondisi itu membuat Fauziah hanya bisa melepas ibunya dengan doa dari jauh. Terlebih ia tidak bisa menshalati ibunya secara langsung.
Kesedihan lebih besar terasa saat ia sudah kembali ke rumah tanpa kehadiran ibu. Apalagi, sebelum mereka berpisah untuk menjalani perawatan Covid-19 di tempat berbeda, Fauziah sempat berjanji bahwa mereka akan bertemu kembali.
Bayang-bayang sang ibu terus muncul hingga satu bulan. Meski demikian, ia berusaha tegar, tak ingin menunjukkan kesedihan di depan keluarga. Hingga pada satu titik, Fauziah menyadari masih ada ayah dan adiknya yang harus dia perhatikan. Ia pun bersyukur, bekerja dari rumah selama pandemi memberinya kesempatan untuk merawat ibunya secara penuh.
”Sebelum pandemi, perhatian lebih banyak dicurahkan untuk pekerjaan. Berangkat pagi, pulang malam. Saya biasanya hanya sempat menemani ibu cuci darah setiap Sabtu,” katanya.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Seorang penumpang bermasker terlelap di tengah perjalanan di KRL jurusan Bogor-Angke yang berangkat dari Stasiun Bogor, Kota Bogor, Selasa (21/4/2020).
Selama pandemi pula, Fauziah akhirnya bisa merasakan berkumpul penuh dengan keluarga dan merayakan Ramadhan hingga Idul Fitri bersama, suatu kenikmatan yang jarang dirasakannya sebagian wartawan.
”Dari pengalaman ini, saya menjadi percaya diri bahwa cobaan apa pun yang akan terjadi di masa depan, saya siap menghadapinya karena saya sudah pernah merasakan cobaan terberat dalam hidup, yaitu ditinggal Mama tanpa bisa mendampinginya,” ujarnya.
Dalam hitungan hari, tahun 2021 segera berakhir. Banyak kegetiran harus kita alami selama dua tahun terakhir ini. Dua puncak pandemi pada tahun ini memberi tekanan luar biasa bagi sebagian masyarakat. Jatuh sakit, kehilangan orang terkasih, kehilangan pekerjaan, usaha bangkrut, dan rencana-rencana yang tak tercapai.
Dalam situasi serba terbatas itu, sepanjang dua tahun terakhir ini, sejumlah bencana alam juga melanda. Pesawat jatuh, tenggelamnya kapal laut, kecelakaan lalu lintas, banjir, longsor, gempa bumi, gunung meletus, hingga tsunami, terjadi.
Wajar jika muncul rasa sedih, marah, kecewa, dan hilang harapan. Besarnya tekanan dan luka membuat sebagian orang merasakan gangguan mental dan emosional, dari rasa jenuh, cemas, hingga depresi.
Tak perlu malu menutupi kesedihan atau berpura-pura kuat jika memang sedang rapuh, terpuruk, dan kehilangan. Namun, hidup terus berjalan, dengan ihwal-ihwal lain di dalamnya yang patut disyukuri kendati bersyukur di saat dunia sedang terasa hancur tentu tidak gampang.
Peneliti psikologi positif, yang juga Kepala Pusat Bimbingan dan Konsultasi Psikologi Universitas Tarumanagara, Meiske Yunithree Suparman mengatakan, manusia tak mungkin menghapus kenangan buruk, tak bisa juga mengendarai mesin waktu untuk kembali ke masa lalu. Hidup, yang memang tak melulu tentang kesenangan dan keberhasilan, akan terus berjalan.
Hidup, yang memang tak melulu tentang kesenangan dan keberhasilan, akan terus berjalan.
Sikap positif pun tetap perlu dijaga. ”Hiduplah seperti seharusnya hidup. Hidup dengan sebaik-baiknya karena kita tidak tahu sampai kapan kesempatan itu ada,” ujarnya.
Meiske menambahkan, bersyukur bukan berarti membandingkan nasib dengan orang lain. Sebagian orang enggan bersyukur karena merasa tidak berempati atas penderitaan orang lain. Ada pula yang menjadikan kondisi orang lain sebagai dasar untuk bersyukur. ”Bersyukur itu bukan tentang membanding-bandingkan diri dengan orang lain, melainkan tentang diri kita sendiri,” katanya.
Syukur tidak menafikan luka, tetapi mengubah kedukaan itu menjadi pembelajaran hidup. Walhasil, tak hanya melegakan jiwa, tetapi juga membuat emosi dan pikiran lebih positif, suasana hati lebih bahagia, dan penghargaan atas diri meningkat. Hidup jadi lebih terarah, tidak kesepian, serta emosi lebih stabil, sehingga tidak mudah berlaku impulsif. Secara sosial-spiritual, syukur juga membuat kita lebih mudah berempati, mendorong berbuat baik, memiliki komunikasi yang efektif, hingga lebih mampu memaknai hidup.
Kompas
Andika (35), asal Tasikmalaya, mengenakan kostum badut untuk menghibur anak-anak korban bencana banjir bandang di SD Negeri Sukaratu I , Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Senin (26/9). Hiburan yang dilakukan sebagai kegiatan terapi pemulihan trauma bagi anak-anak korban bencana tersebut yang mulai masuk sekolah ini diharapkan dapat membantu meringankan psikologis dan memberi edukasi bencana terhadap anak-anak.
Penghubung
Mona Sugianto, psikolog klinis, yang juga direktur lembaga psikologi Ad Familia Indonesia, mengatakan, harapan adalah salah satu penghubung antara masa kini dan masa depan. Harapan membuat manusia tetap memiliki tujuan meski tengah hidup dalam kegetiran dan kegelapan. Tujuan inilah yang membuat seseorang mau berubah, berproses, dan menempa diri untuk menjadi lebih baik.
”Harapan adalah antisipasi positif yang membuat kita mampu menanggung atau beradaptasi dengan penderitaan ataupun hal-hal sulit,” katanya.
Menjaga harapan di tengah situasi sulit tentu tidak mudah. Namun, Mona mengingatkan, hidup tidak berjalan datar. Naik-turun, bergelombang, kadang jalannya mulus, kadang penuh kerikil tajam. Penderitaan tidak akan terjadi selamanya, demikian pula kegembiraan. Harapan membuat masa depan tak lagi dipandang sebagai keputusasaan.
Bersyukur dan memiliki harapan pada masa sulit bisa dimulai dari menyadari hal-hal kecil dan sederhana lebih dulu. Kita bisa berdiam sejenak sebelum tidur atau sesudah bangun tidur untuk merenungkan apa yang sudah terjadi selama seharian ataupun apa yang ingin kita lakukan satu hari ke depan.
Bersyukur dan menjaga harapan pada masa sulit bisa dimulai dari menyadari hal-hal kecil dan sederhana lebih dulu.
Salah satu cara yang disarankan adalah menuliskan hal-hal yang bisa disyukuri sepanjang hari dalam buku khusus. Pada tahap awal, mungkin sulit mencari alasan untuk bersyukur. Maka, awali dengan pelan-pelan, dimulai dengan menuliskan tiga hal yang patut disyukuri.
Di fase awal, bisa dimulai dari hal-hal besar seperti bersyukur masih bisa hidup dan bernapas. Namun, setelah terbiasa, kita akan bisa lebih menyadari dan mensyukuri hal-hal kecil, sederhana dan personal, seperti bisa menyapa sahabat dan keluarga, menikmati hobi, memberikan tip kepada pengemudi ojek, atau bisa bermain dengan anak.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Ratusan simpatisan mengajak warga tersenyum sambil melepaskan balon dalam kampanye Gerakan Mari Tersenyum yang digelar Himpunan Psikologi Indonesia di Bundara Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu (10/10/2012).
Hal-hal yang disyukuri itu bisa ditulis dalam kertas warna-warni dan dimasukkan ke dalam toples atau wadah khusus. Ketika toples itu penuh, kita akan menyadari dengan kasatmata bahwa ada banyak kebahagiaan yang bisa kita syukuri, melampaui penderitaan kita.
Membaca atau menuliskan kata-kata mutiara pembangkit jiwa dan memasangnya di dinding kamar, di atas meja belajar atau meja kerja, juga bisa dilakukan. Pemajangan ini akan mengajak kita untuk membacanya berulang kali hingga akhirnya memberi masukan positif bagi otak dan jiwa kita.
Semua ini harus dilakukan rutin dan konsisten. ”Setelah setahun berjalan, kita akan sadar, betapa banyak hal yang sebenarnya bisa kita syukuri,” ucapnya.