Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil Satukan Data Kekerasan terhadap Perempuan
Data kekerasan terhadap perempuan mulai disatukan agar dapat diambil perencanaan dan langkah untuk mengatasinya secara lebih komprehensif.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendokumentasian penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dalam lima tahun terakhir mengalami kemajuan yang signifikan. Namun, sistem yang dikembangkan masih berdiri sendiri-sendiri di setiap lembaga. Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah bersama organisasi masyarakat sipil dan hak asasi manusia, akhirnya merintis sistem pendokumentasian penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Selama dua tahun terakhir, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan bersinergi dalam penyatuan data dan laporan bersama untuk pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan.
Meskipun masih menghadapi sejumlah kendala, upaya penyatuan data yang dilakukan ketiga lembaga tersebut akhirnya mulai terwujud. Ini ditunjukkan dengan peluncuran data kondisi kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari hingga Juni 2021, Selasa (28/12/2021) oleh Kementerian PPPA, Komnas Perempuan, dan FPL.
Pada kegiatan bertajuk ”Gerak Bersama dalam Data: Laporan Sinergi Database Kekerasan terhadap Perempuan Tiga Lembaga”, Sekretaris Kementerian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu menegaskan, sinergi data kekerasan menjadi penting untuk dilakukan. Ini merupakan bentuk nyata penerapan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2020 terkait dengan penyelenggaraan satu data Indonesia.
”Banyak sekali manfaat dari sinergi data kekerasan ini, seperti diperolehnya data yang terpadu, mudah diakses, dan dibagipakaikan serta dikelola secara terintegrasi dan berkelanjutan,” ujar Pribudiarta dalam acara yang juga dihadiri Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dan Koordinator Sekretariat Nasional FPL Veni Siregar.
Pribudiarta menegaskan, sinergi data kekerasan terhadap perempuan penting dilakukan. Ini karena banyak sistem pendokumentasian kasus kekerasan yang dikembangkan oleh berbagai pihak, tetapi masih berdiri sendiri-sendiri. Hal ini menyebabkan penghitungan ganda atau tumpang tindih penyikapan karena basis data yang belum tersinergikan.
Selama ini data kekerasan terhadap perempuan dihimpun pemerintah melalui Kementerian PPPA melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), Komnas Perempuan mengembangkan sistem database dengan Sintaspuan, dan FPL mengembangkan sistem database penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan untuk anggotanya yang tersebar di 15 provinsi dan dinamakan dengan Titian Perempuan. Sejak akhir tahun 2019, ketiga lembaga tersebut berkomitmen bekerja sama untuk menyatukan data.
Sebagai langkah awal dari kerja sama tersebut, Selasa siang, ketiga lembaga itu meluncurkan data kondisi kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari hingga Juni 2021. Hasil sinergi pendokumentasian data kekerasan terhadap perempuan dipaparkan Lies Rosdianty (Kepala Biro Data dan Informasi, Kementerian PPPA), Dewi Kanti (Ketua Subkom Pemantauan, Komnas Perempuan), dan Suharti Mukhlas (Dewan Pengarah Nasional FPL).
Data tiga lembaga
Dari data tersebut, setiap lembaga menyajikan catatan korban kekerasan terhadap perempuan yang ditangani, yakni, 9.057 korban (Simfoni PPA), 1.967 korban (Sintaspuan Komnas Perempuan), dan 806 korban (Titian Perempuan FPL).
Lies mengungkapkan, dari data ketiga lembaga tersebut terlihat perbedaan dari usia kerentanan anak perempuan dan perempuan dewasa berdasarkan jenis dan bentuk kekerasannya. Data menunjukkan bahwa anak perempuan paling rentan mengalami kekerasan seksual. Simfoni PPA (3.248 orang), Sintaspuan (152 orang), dan Titian Perempuan (84 orang). Sementara pada data Simfoni PPA, perempuan dewasa paling tinggi mengalami kekerasan fisik (2.324 orang).
Pemerintah pusat segera melakukan pemerataan pembangunan infrastruktur sistem layanan dan pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan yang terpadu.
Namun, data Sintaspuan dan Titian Perempuan mencatat bahwa kekerasan psikis tertinggi dialami oleh perempuan dewasa (893 orang dan 349 orang). Adapun ranah kekerasan, ketiga lembaga secara konsisten memotret pelaku pada ranah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan relasi personal adalah suami.
”Secara geografis, sebaran kasus kekerasan terhadap perempuan paling tinggi berada di wilayah Jawa. Namun, fakta tersebut tidak berarti bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah lain lebih sedikit terjadi. Tingginya pengaduan kasus di wilayah Jawa karena ada infrastruktur layanan dan dukungan pendokumentasian yang baik serta komitmen pemerintah daerah dalam penanganan kasus,” kata Lies.
Kendati sudah ada pendataan, penyatuan data tersebut masih menghadapi berbagai tantangan. Selain penggunaan istilah dan kategorisasi yang berbeda antarlembaga, penghitungan ganda pun masih jadi persoalan.
”Ini karena belum terintegrasinya sistem pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan secara utuh di antara ketiga lembaga sehingga sangat memungkinkan korban melapor kasusnya ke lebih dari satu lembaga,” ujar Dewi.
Oleh karena itu, ketiga lembaga tersebut menyampaikan sejumlah rekomendasi yang dibacakan Suharti. Salah satunya, pemerintah pusat, segera melakukan pemerataan pembangunan infrastruktur sistem layanan dan pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan yang terpadu, dengan membangun sinergitas yang melibatkan lembaga layanan berbasis masyarakat, serta menganggarkan dana khusus demi keberlanjutan penanganan bagi perempuan korban kekerasan.
Andy Yentriyani menegaskan data yang lengkap, akurat, dan akuntabel sangat penting untuk merumuskan kebijakan dan langkah-langkah kelembagaan. ”Hanya dengan ketersediaan data itu, kita bisa mengenali dari mana kita beranjak, hasil yang kita capai, dan menavigasi arah yang perlu kita tempuh untuk mempercepat dan memperkuat pencapaian yang kita harapkan,” ujar Andy.
Namun, pengumpulan data merupakan sebuah usaha yang membutuhkan jerih payah yang keras dan kecermatan tingkat tinggi. Tidak heran, data menjadi barang yang mewah. Di era digital ini, data itu menjadi semakin mahal harganya karena informasi merupakan komoditi utama.
Kebutuhan pada data yang lengkap, akurat, dan akuntabel juga pivotal untuk merumuskan langkah-langkah kebijakan, kelembagaan, program, anggaran, dan pelayanan bagi korban kekerasan. ”Semua ini dibutuhkan untuk mengupayakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan secara tepat, efektif, dan berkesinambungan, baik dari sisi dalam pencegahan, pendampingan dan pemulihan korban, maupun dalam penegakan hukum,” ujar Andy.