Dukung Guru sebagai Ujung Tombak Perubahan Pendidikan
Guru merupakan ujung tombak untuk melakukan perubahan dan perbaikan kualitas pendidikan. Karena itu, perannya harus diperkuat, diberdayakan, dan diberikan otonomi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Semakin lama kualitas pendidikan Indonesia dinilai tidak semakin baik. Hal itu terlihat dari berbagai ukuran internasional mengenai kemajuan pendidikan dan daya saing bangsa yang selama lebih kurang 20 tahun terakhir tidak menunjukkan hasil menggembirakan.
Ketika kualitas pendidikan Indonesia stagnan alias jalan di tempat, justru para gurulah yang sering kali dipersalahkan. Padahal, mutu pendidikan sangat terkait dengan kebijakan dan kurikulumnya. Semakin baik kebijakan pendidikan, semakin baik pula kualitas pendidikan.
”Sebenarnya guru adalah ujung tombak untuk melakukan perubahan dan perbaikan kualitas pendidikan. Karena itu, perannya harus diperkuat, diberdayakan, dan diberikan otonomi. Jangan sampai kalau ada persoalan pendidikan, seolah-olah guru menanggung beban itu sendirian,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi dalam Refleksi Akhir Tahun PB PGRI, Selasa (28/12/2021).
Namun, kebijakan terkait guru dirasakan belum adil dan masih diskriminatif. Perbaikan mendesak dilakukan dalam kebijakan rekrutmen guru aparatur sipil negara (ASN), baik yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Hanya tinggal menunggu waktu, para guru honorer yang sudah lama mengabdi tersingkir oleh guru swasta bersertifikat pendidik dan sarjana baru lulusan pendidikan profesi guru.
Unifah mengatakan, PGRI memahami kebijakan pemerintah merekrut PPPK di tengah keterbatasan anggaran yang tersedia. Meski demikian, pola rekrutmen guru dan tenaga kependidikan dalam PPPK perlu diperbaiki.
Perbaikan itu di antaranya dengan memberikan afirmasi 100 persen kepada guru dan tenaga kependidikan (GTK) yang telah mengabdi minimal lima tahun. Artinya, GTK yang telah mengabdi lima tahun atau lebih sebagai bentuk penghargaan dan loyalitasnya terhadap pendidikan perlu otomatis lulus PPPK.
Selain itu, GTK yang lulus PPPK tetap ditempatkan di sekolah asalnya sehingga tidak mengganggu aktivitas belajar-mengajar di sekolah tersebut. ”Kami berharap pemerintah menyelesaikan rekrutmen GTK honorer menjadi GTK PPPK maksimal tahun 2023,” kata Unifah.
Rekrutmen GTK baru di sekolah negeri selanjutnya hanya dengan status PNS atau PPPK, dan tidak ada lagi yang berstatus honorer. Untuk itu, pemerintah perlu membuka kembali formasi PNS untuk guru pada tahun 2022 dan 2023 mengingat profesi guru harus jadi salah satu profesi yang diminati oleh anak bangsa yang berdedikasi tinggi dan kompeten serta mendapat jaminan kesejahteraan layak dari negara.
”Kami meminta pemerintah menyediakan formasi guru berbasis pemerataan guru yang berimbang dan berkeadilan sesuai kebutuhan daerah karena selama ini distribusi guru tidak merata dan berimbang di sejumlah daerah,” ujar Unifah yang juga guru besar di Universitas Negeri Jakarta.
Ia menekankan perlunya pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh sistem perekrutan guru ASN dengan memperhatikan afirmasi yang berkeadilan bagi para guru honorer yang berusia di atas 35 tahun. Di balik berbagai permasalahan guru, beberapa dekade terakhir ini, para guru sebenarnya sudah melakukan banyak inovasi dan berbagai upaya terobosan yang tidak linear, kreatif, dan menyentuh akar persoalan pendidikan yang sebenarnya.
Memperjuangkan nasib
Secara terpisah, Ketua Umum Forum Guru Honorer Negeri Lulus Passing Grade Seluruh Indonesia Heti Kustrianingsih mengatakan, kebijakan PPPK untuk menuntaskan guru honorer di sekolah negeri harus adil. Saat ini ribuan guru lulus passing grade tahap I seleksi PPPK, tetapi tidak ada formasi akibat lebih mengutamakan pengangkatan guru di sekolah induk. Nasibnya pun terkatung-katung.
”Kami para guru honorer yang sudah lama mengabdi di sekolah negeri, meskipun lulus passing grade di tahap I, tetap sulit dapat formasi. Di tahap II, kami dikalahkan banyak guru swasta yang sudah mendapat sertifikat pendidik dan sarjana pendidikan yang juga sudah bersertifikat pendidik. Ini sungguh tidak adil dan kami akan terus berjuang. Namun, sampai sekarang belum ada dukungan dari pemerintah ataupun DPR,” kata Heti, guru honorer di salah satu SD negeri di Cilegon, Banten.
Menurut Heti, para guru honorer sekolah negeri yang lulus passing grade tahap I perlahan-lahan ”didepak” dari sekolah. Setelah pengumuman seleksi PPPK tahap II, para guru swasta yang mendapat afirmasi tinggi dari sertifikat pendidik mulai menggantikan guru honorer sekolah negeri yang tidak lulus di tahap II.
Heti mengataka,n meskipun lama mengabdi di sekolah negeri, para guru honorer sulit mendapatkan sertifikat pendidik. Sebab, guru honorer di sekolah negeri hanya berdasarkan pada surat keputusan (SK) kepala sekolah, yang tidak bisa dipakai sebagai dasar pemberian sertifikasi. Sebaliknya, guru swasta lebih mudah mendapat sertifikat pendidik asal ada SK yayasan sebagai guru tetap. Para guru yang memiliki sertifikat pendidik mendapatkan tambahan satu kali gaji setara guru PNS.
”Sungguh sedih hati ini, kesempatan PPPK yang jadi harapan bagi para guru honorer di sekolah negeri tidak juga bisa kami dapatkan. Hanya tinggal menunggu waktu, para guru honorer yang sudah lama mengabdi tersingkir oleh guru swasta bersertifikat pendidik dan sarjana baru lulusan pendidikan profesi guru,” tuturnya.