Karya Jurnalistik Dorong Pengetahuan Publik soal Perdagangan Manusia
Organisasi Buruh Internasional (ILO) memprediksi ada 24,9 juta korban perdagangan orang di dunia. Jurnalis berperan penting untuk mengedukasi publik tentang isu ini.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran jurnalis dalam pemberitaan isu perdagangan manusia dinilai penting. Pemberitaan tersebut tidak hanya membentuk persepsi publik soal perdagangan manusia, tetapi juga meningkatkan kesadaran publik tentang isu tersebut.
Hal ini mengemuka pada diskusi virtual berjudul ”Menguak Perdagangan Manusia di Asia Tenggara dengan Jurnalisme”, Kamis (16/12/2021) malam. Diskusi tersebut diselenggarakan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) memprediksi ada 24,9 juta korban perdagangan orang di dunia. Sebanyak 16 juta korban di antaranya bekerja di sektor domestik, konstruksi, dan/atau pertanian; 4,8 juta orang korban eksploitasi seksual; serta 4 juta dipekerjakan secara paksa.
Penting juga untuk membuat pusat data dan informasi terpusat tentang perdagangan manusia di antara para jurnalis.
Sebanyak 99 persen korban eksploitasi seksual merupakan perempuan dan anak. Ada pula laki-laki yang menjadi korban eksploitasi seksual. Namun, kebanyakan lelaki menjadi korban kerja paksa di sektor pertambangan, perikanan, pertanian, konstruksi, dan manufaktur. ILO memperkirakan 83 juta orang pernah merasakan bentuk-bentuk perdagangan manusia dalam kurun waktu beberapa hari hingga lima tahun.
Penasihat Hukum Residen Kedutaan Besar AS di Jakarta, Bruce Miyake, menambahkan, sekitar 1,6 juta orang menjadi korban perdagangan manusia per tahun di Asia. Ini berdasarkan laporan Lembaga Pembangunan Internasional AS (USAID) pada 2019.
Adapun perdagangan manusia menjadi salah satu kejahatan transnasional dengan pendapatan tertinggi. Menurut laporan ILO bertajuk Profits and Poverty: The Economics of the Forced Labor yang terbit 2014, pendapatan ilegal dari kerja paksa sebesar 150 miliar dollar AS per tahun. Dari angka itu, sekitar 99 miliar dollar AS didapat dari eksploitasi seksual komersial, sementara 51 miliar dollar AS sisanya dari eksploitasi ekonomi, seperti pekerjaan di bidang domestik.
”Perdagangan manusia adalah salah satu kejahatan yang paling memalukan,” ujar Miyake.
Menurut dia, kesadaran publik tentang perdagangan manusia mesti diperkuat. Itu sebabnya, peran jurnalis jadi penting untuk memberitakan perdagangan manusia. Pemahaman publik diharapkan mengarah ke pencarian solusi yang lebih baik dari sebelumnya.
”Media dapat membentuk persepsi (publik) dan memandu diskusi masyarakat tentang isu ini,” ucapnya.
Menurut koresponden Nippon Television, Erwin Purba, Pemerintah Indonesia telah berupaya membuat hukum dan aturan utuk mencegah perdagangan orang. Misalnya, larangan memungut biaya bagi calon pekerja yang ingin membuat dokumen. Namun, larangan ini kerap tidak berlaku di lapangan.
Selain itu, ada celah untuk membuat kartu identitas legal, tetapi dengan data palsu. Ada sejumlah calon pekerja migran yang berbohong soal umur, nama, dan kota domisilinya. ”Jika ada sesuatu terjadi kepada mereka (misalnya kecelakaan), kita tidak akan tahu siapa sesungguhnya korban karena datanya palsu,” kata Erwin.
Menurut koresponden berita CNN Filipina, Triciah Terada, motif dan bentuk perdagangan orang kini kian beragam. Perdagangan orang pun kini sudah memanfaatkan kemajuan teknologi. Baik penegak hukum maupun para pemangku kepentingan lain mesti gerak cepat, bahkan berinovasi agar tidak ketinggalan. Jurnalis pun mesti ambil bagian untuk edukasi publik
”Kita berperan untuk mengisi kesenjangan (informasi). Kerja jurnalistik ini memberitakan ke publik seperti apa itu perdagangan manusia,” kata Terada. ”Penting juga untuk membuat pusat data dan informasi terpusat tentang perdagangan manusia di antara para jurnalis,” ujarnya.
Sementara itu, menurut jurnalis Malaysiakini, Alyaa Alhadjri, liputan perdagangan manusia dapat dilakukan secara kolaboratif, misalnya dengan jurnalis dari media lain atau bahkan dari negara lain.