Kasus Kekerasan Berbasis Jender Daring Mendominasi
Pembatasan kegiatan di masa pandemi jadi celah bagi pelaku kejahatan berbasis jender daring. Sejumlah perempuan dan anak-anak jadi korban, diperdaya oleh pelaku. Namun payung hukumnya hingga kini belum ada.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kondisi pandemi Covid-19 yang membatasi ruang gerak masyarakat, membuat banyak aktivitas warga beralih ke ruang virtual atau daring. Situasi yang tidak diimbangi dengan sistem perlindungan yang aman ini membuat sejumlah perempuan dan anak menjadi korban kekerasan berbasis jender secara daring.
Ancaman kekerasan berbasis jender secara daring atau kekerasan berbasis gender online (KBGO) terhadap perempuan terus meningkat sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan sepanjang tahun 2021, KBGO menjadi laporan tertinggi yang diterima Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta.
Catatan Tahunan (Catahu) LBH APIK Jakarta 2021 menyebutkan dari total 1.321 aduan yang masuk ke LBH APIK Jakarta pada tahun 2021, sebanyak 489 kasus merupakan kasus KBGO, disusul kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 374 kasus, tindak pidana umum 81 kasus, kekerasan dalam pacaran (KDP) sebanyak 73 kasus, dan kekerasan seksual dewasa 66 kasus.
“Selama 5 tahun terakhir, LBH APIK Jakarta melakukan pendampingan, KDRT adalah kasus paling tinggi diadukan. Akan tetapi pada tahun 2021 kasus KBGO menempati posisi tertinggi menggeser posisi KDRT,” ujar Uli Pangaribuan, Koordinator Pelayanan Hukum.
Uli menyampaikan hal itu, dalam diskusi publik bertema "Potret Situasi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual Tahun 2021: Sebuah Catatan Akhir Tahun 2021 LBH APIK Jakarta", Jumat (10/12/2021) yang berlangsung secara daring di Jakarta.
Catahu LBH APIK Jakarta 2021 disampaikan bergantian oleh Uli dan Tuani SRM dari Divisi Pelayanan Hukum, serta Dian Novita dan Sasha Trisha dari Divisi Perubahan Hukum, dan dibuka oleh Direktur LBH Jakarta Siti Mazuma.
Hadir sebagai penanggap meliputi Veryanto Sitohang, Komisioner Komisi NasionalAntikekerasan terhadap Perempuan, dan Damar Juniarto selaku Direktur Eksekutif SAFEnet, serta penyintas LBH APIK Jakarta.
Menurut Uli, pada tahun 2021 jumlah laporan kasus KGBO yang diterima LBH APIK Jakarta meningkat signifikan. Dari pengaduan dari korban KBGO, modus yang digunakan pelaku bervariasi, di antaranya bujuk rayu menjadi pacar atau dinikahi kemudian korban diminta untuk mengirimkan video atau foto pribadinya. Selain itu korban diminta memberikan sejumlah uang dengan ancaman jika tidak mengirimkan maka foto pribadinya akan disebar.
“Tahun 2021, bentuk KBGO tertinggi yang dilaporkan adalah ancaman penyebaran foto pribadi (malicious distribution). Pelaku biasanya adalah orang dikenal oleh korban, seperti pacar, mantan pacar, suami, mantan suami, teman, dan orang yang baru dikenal oleh korban di media sosial, bahkan ada juga yang tidak diketahui pelakunya (anonymous),” papar Uli.
Tahun 2021, bentuk KBGO tertinggi yang dilaporkan adalah ancaman penyebaran foto pribadi (malicious distribution).
Tuani menambahkan, situasi dan kondisi penanganan kasus pada tahun 2021 masih belum berpihak kepada perempuan korban kekerasan, karena sejumlah hambatan dalam melakukan pendampingan, penanganan, dan upaya akses keadilan.
“Selain kebijakan belum berpihak kepada korban, kuatnya budaya patriarki tidak hanya di dunia nyata tetapi meluas ke dunia maya, lemahnya perspektif bagi aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan advokat juga menyebabkan banyaknya kriminalisasi terhadap perempuan korban,” kata Tuani.
Fenomena gunung es
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, menuturkan, situasi kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia amat serius. Fenomena kekerasan adalah seperti gunung es lantaran jumlah kasus yang terjadi sebenarnya dapat lebih besar lagi dari jumlah kasus yang terlaporkan. Di masa pandemi, situasi menjadi semakin sulit.
Bintang mengutip laporan The Sustainable Development Report (2020), yang menyatakan pandemi Covid-19 menyebabkan berbagai kemunduran yang serius dalam seluruh taraget dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan memperdalam ketimpangan yang sudah terjadi.
Perempuan, sebagai kelompok rentan, menanggung dampak yang lebih besar dibandingkan laki-laki, dari segi pendapatan, kesehatan mental, beban kerja, hingga perlindungan sosial yang tidak memadai.
“Tidak hanya itu, perempuan juga dihadapkan pada berbagai isu sosial baru sebagai imbas dari diterapkannya normal baru. Penggunaan internet yang semakin masif telah meningkatkan risiko KBGO,” ujar Bintang.
Damar menyatakan Catahu LBH APIK 2021 yang mengungkapkan jumlah kasus KGBO yang meningkat menunjukkan situasi perempuan di ruang digital yang menghadapi ancaman kekerasan secara daring dalam berbagai bentuk. Media sosial yang harusnya menyenangkan dan menghubungkan seseorang dengan orang yang baru dikenal, ternyata dapat memperburuk dan memperbesar kekerasan pada anak dan perempuan.
“Tidak diselidikinya kekerasan daring, karena kekerasan terhadap perempuan berbasis teknologi hanya terjadi secara virtual dan dinilai bukan bentuk kekerasan, seolah-olah hanya karena terjadi virtual tidak membuat kekerasan ini nyata terjadi,” ujar Damar yang menegaskan korban-korban KGBO juga ditemukan SAFEnet. Karena itu, kondisi di Indonesia saat ini pantas disebutkan sebagai darurat KBGO.