Jangan Lagi Ada Kasus seperti NWR!
Kekerasan seksual tak berjeda, bahkan semakin memprihatinkan. Di masa pandemi pun korban kekerasan seksual terus berjatuhan. Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual semakin urgen.

Anggota Jaringan Peduli Perempuan Sumatera Barat mengikuti aksi damai antikekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Jalan Jenderal Sudirman depan Kantor Gubernur Sumatera, Padang, Sumatera Barat, Kamis (25/11/2021). Aksi ini menyikapi maraknya kasus kekerasan seksual, terutama terhadap anak, di Sumbar sekaligus memperingati Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Internasional.
Kejahatan seksual di Indonesia kian memprihatinkan dan mengusik rasa kemanusiaan. Korban terus berjatuhan, tapi negara seakan tak berdaya. Para pelaku terus melenggang, bahkan mendapat impunitas.
Tidak ada yang menduga, seorang perempuan yang ditemukan bunuh diri di makam ayahnya ternyata korban kekerasan seksual dalam relasi berpacaran. Pada Kamis (2/12/2021) petang, NWR ditemukan bunuh diri saat berziarah ke makam ayahnya di pemakaman Dusun Sugihan Desa Japan, Kecamatan Sooko, sekitar pukul 15.30.
Kematian NWR menjadi viral di media sosial. Belakangan diketahui NWR mengakhiri hidupnya setelah mengalami kekerasan seksual dari pacarnya yang juga anggota kepolisian. Sosok NWR menggambarkan betapa beratnya beban yang dihadapi korban kekerasan seksual. Mengakhiri hidup menjadi jalan terakhir NWR, ketika dia tak mampu lagi menjalani siklus kekerasan berlapis dan berulang.
Baca juga : Masalah Kekerasan Seksual Kian Kompleks, RUU PKS Dibutuhkan
Psikolog dari Yayasan Pulih, Ika Putri Dewi, mengungkapkan, ”memilih jalan bunuh diri” bukan kalimat yang tepat dalam perspektif korban. Dari sudut pandang korban, proses sampai dilakukannya bunuh diri justru ketika korban merasa tidak memiliki lagi pilihan yang dianggapnya dapat membantu kesejahteraan dirinya dari segi fisik dan psikologis.
”Dalam hal ini, korban mengalami kejadian luar biasa, yakni kekerasan seksual dalam hubungan berpacaran dengan pasangannya,” ujar Ika, Rabu (8/12/2021).
Sebab, dampak dari kekerasan seksual adalah terenggutnya rasa aman korban. Apalagi, jika pelakunya adalah orang dikenalnya, bahkan orang yang memiliki hubungan dekat, entah itu pasangan, keluarga, teman, dan sebagainya.
Tak hanya itu, dampak lanjut dari kekerasan seksual adalah munculnya perasaan negatif yang menguasai korban seperti rasa takut, malu, cemas, bingung, sedih, tidak berharga, tidak bermakna, dan kehilangan kepercayaan terhadap lingkungan.
”Apalagi ditilik dari konteks kasusnya, dikatakan ada paksaan dari pasangannya untuk melakukan aborsi. Paksaan aborsi, artinya bisa jadi aborsi yang dilakukan bukan aborsi aman bagi korban, baik secara medis maupun mental psikologis,” ujar Ika.
Sebelum mengakhiri hidupnya, NWR sempat menghubungi Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada Agustus 2021. NWR menjadi korban kekerasan dalam berpacaran hampir dua tahun sejak 2019.
Dari pengakuan kepada Komnas Perempuan, saat menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan, pacar NWR yang berprofesi sebagai anggota kepolisian memaksanya untuk menggugurkan kehamilan dengan berbagai cara. Bahkan, ia juga mengalami pemaksaan hubungan seksual.
Pemaksaan aborsi terjadi hingga dua kali. Terakhir, korban sampai mengalami pendarahan, trombosit berkurang, dan jatuh sakit.
Proses aborsi diduga juga didukung oleh keluarga pelaku yang awalnya menghalangi perkawinan pelaku dengan korban karena alasan masih ada kakak perempuan pelaku yang belum menikah. Tak berhenti di situ, korban juga dituduh sengaja menjebak pelaku agar dinikahi.
Sementara itu, pelaku juga diketahui memiliki hubungan dengan perempuan lain, tapi pelaku bersikeras tidak mau memutuskan relasinya dengan korban.
Dalam kondisi seperti ini, selain mengalami tekanan fisik, korban juga mengalami gangguan kejiwaan yang hebat. Ia merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri dan didiagnosa obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya.
”Kondisi paksaan aborsi membuat korban semakin merasa tidak berdaya atas tubuhnya, hak atas ketubuhannya terkait dengan reproduksi benar-benar terampas. Tentunya kondisi tersebut akan menambah dampak psikologis dalam dirinya, seperti perasaan bersalah,” tegas Ika.
Karena tidak ada pendampingan dan dukungan dari lingkungan sekitarnya, korban mengalami kondisi mental yang sangat depresif, yaitu perasaan putus asa, tidak berdaya, tidak bermakna, kehilangan harapan, hingga merasa tidak punya pilihan, kecuali mengakhiri penderitaannya dengan mengakhiri hidup.

Kekerasan struktural
Apa yang dialami NWR sesungguhnya menunjukkan betapa perempuan korban tak hanya mengalami kekerasan berlapis, tetapi juga kekerasan struktural yang membuat seseorang sampai mengakhiri hidupnya.
”Kasus NWR mengilustrasikan dengan sangat jelas dimensi struktural dari kekerasan dalam pacaran. Kasus ini jelas menunjukkan betapa kekerasan seksual dalam pacaran yang bentuknya tidak tunggal ada perkosaan, pemaksaan aborsi,” ujar Nur Hasyim, Co-Founder Aliansi Laki-Laki Baru, yang juga pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Selasa (7/12/2021).
Kekerasan yang dialami NWR terjadi karena pola relasi yang tidak seimbang antara korban dan pelaku. Selain laki-laki, pelaku juga seorang aparat kepolisian, maka selain jenis kelamin, sumber kuasa pelaku adalah aparat.
”Sementara korban perempuan dan dia pernah menjadi korban kekerasan seksual sebelumnya pada saat menjadi mahasiswa. Perempuan yang pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya memiliki risiko lebih besar untuk menjadi korban lagi,” tegas Nur Hasyim.
Baca juga : Perlindungan Korban Kekerasan Seksual
Pola relasi antara NWR dan pelaku adalah pola relasi yang seksis atau pola hubungan yang dasarkan pada dominasi jenis kelamin. Kekerasan yang dialami NWR difasilitasi oleh ketiadaan sistem perlindungan bagi korban. Apalagi, mekanisme perlindungan bagi korban melalui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tak kunjung hadir.
Ketiadaan dukungan dari anggota keluarga yang memandang NWR mencemarkan nama baik keluarga semakin membuat korban terpuruk. Stigma negatif terhadap NWR pun terus melekat. Ia dicap melakukan zina.
”Termasuk ekspose polisi yang menyebut hubungan NWR dan pelaku dilihat sebagai hubungan layaknya suami dan istri. NWR mengalami kekerasan struktural,” ujar Nur.

Demonstran yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil (Gemas) berdemonstrasi menuntut pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Mereka meminta DPR segera membentuk Tim Perumus RUU PKS dengan melibatkan masyarakat selama pembahasan RUU PKS.
Hegemoni menyalahkan korban
Kasus korban kekerasan seksual bunuh diri seperti NWR, menurut peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, bukan yang pertama. Di Medan dan Bogor pada tahun 2017 juga pernah terjadi korban kekerasan seksual yang akhirnya bunuh diri.
”Kita mesti merombak kebijakan soal perlakuan kita pada korban, enggak cuma di aparat penegak hukum tapi juga di publik, di keluarga dan di semua lingkungan publik, institusi pendidikan, agama, dan semuanya. Hegemoni menyalahkan korban dan melihat korban bukan sebagai subyek, benar-benar harus dihancurkan,” tegas Maidina.
Sementara dari aspek hukum, dugaan perkosaan terhadap NWR harus diusut pelaku penegak hukum dan harus pemberatan terhadap semua perbuatan pelaku.
Kasus NWR menunjukkan betapa kekerasan dalam berpacaran (KDP) masih menjadi fenomena gunung es. Tidak banyak korban berbicara, apalagi membawa kasusnya kepada aparat penegak hukum. Lingkungan masyarakat bahkan masih memandang kasus KDP sebagai hal yang tabu dibicarakan.
Tidak heran kalau kemudian korban memilih menyelesaikan dengan caranya sendiri. Beberapa tetap bertahan, meskipun hubungan tersebut sudah tidak sehat bahkan hubungan beracun (toxic relationship). Minimnya pengetahuan individu, komunitas, ataupun masyarakat tentang sebuah hubungan yang tidak sehat ikut melanggengkan KDP.
Bagi Komnas Perempuan, kasus NWR merupakan salah satu dari 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan ke Komnas Perempuan dalam periode Januari-Oktober 2021. Adapun KDP adalah jenis kasus kekerasan di ruang privat/personal yang ketiga terbanyak dilaporkan.
Pada kurun 2015-2020 tercatat 11.975 kasus yang dilaporkan oleh berbagai pengada layanan di hampir seluruh provinsi. Dari jumlah itu, sekitar 20 persen merupakan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat.

Hari Perempuan Internasional 2019 diperingati perempuan dari sejumlah organisasi dengan berunjuk rasa di Taman Aspirasi, di depan Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (8/3/2019). Mereka, antara lain, mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, perlindungan terhadap pekerja perempuan, dan perlakuan yang setara.
Keterbatasan layanan
Di sisi lain, kematian NWR menjadi pukulan berat bagi Komnas Perempuan dan lembaga layanan. Sebab, sebelumnya korban sudah sempat meminta bantuan Komnas Perempuan. Setelah mendengarkan keterangan korban, Komnas Perempuan mengeluarkan surat rujukan pada 18 November 2021 kepada P2TP2A Mojokerto.
Namun, karena kapasitas psikolog yang terbatas dan jumlah klien yang banyak, penjangkauan tidak dapat dilakukan sesering yang dibutuhkan dan dijadwalkan kembali di awal Desember. Namun, sebelum terlaksana, korban bunuh diri.
Kasus NWR adalah akibat yang sangat memilukan dari situasi ini. Keterlambatan dalam membantu NWR adalah pelajaran sangat berharga bagi kita semua.
”Kasus NWR adalah akibat yang sangat memilukan dari situasi ini. Keterlambatan dalam membantu NWR adalah pelajaran sangat berharga bagi kita semua,” ujar Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani.
Masa pandemi mempengaruhi daya lembaga layanan sehingga tidak mampu melakukan layanan seperti yang diharapkan. Hingga pertengahan 2021, semakin banyak lembaga layanan yang kewalahan menerima rujukan, sementara kasus-kasus pengaduan langsung membanjiri mereka.
Baca juga : Panja RUU TPKS Finalisasi Draf Menjelang Paripurna
Maka, dalam kondisi sekarang ini, semua tangan haruslah disiapkan untuk merangkul dan merawat korban agar tidak ada lagi korban seperti NWR. Dukungan negara untuk menghadirkan lembaga layanan yang siap hadir bagi korban menjadi kunci, di samping penegakan hukum yang berpihak pada korban.
Kasus NWR seharusnya menjadi momentum DPR untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU TPKS menjadi undang-undang.