Penelitian arkeologi menyingkap kronologi peradaban hingga tradisi dan kearifan lokal manusia masa lalu. Hal ini penting dipelajari sebagai bekal pembangunan masa depan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penelitian arkeologi penting sebagai landasan penyusunan kebijakan sekaligus perencanaan pembangunan. Dengan demikian, pembangunan sesuai dengan konteks lingkungan dan tetap berakar pada kearifan lokal.
Hal ini mengemuka pada Seminar Nasional Arkeologi yang digelar Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Selasa (7/12/2021). Dari 102 penelitian yang dilakukan Puslit Arkenas dan Balai Arkeologi, ada enam penelitian terpilih yang ditampilkan selama seminar. Salah satu penelitian ialah tentang evolusi peradaban di kawasan ibu kota negara (IKN), wilayah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Arkeolog Truman Simanjuntak mengatakan, timnya meneliti kawasan IKN sejak 2020. Hingga kini, tim peneliti telah mengamati 278 obyek yang terdiri dari 165 situs, 56 tradisi, serta 57 fitur lingkungan di wilayah IKN dan sekitarnya.
IKN dengan luas lebih kurang 256.000 hektar ini berada di Cekungan Kutai, cekungan terbesar di Indonesia. Cekungan ini di antaranya terdiri dari batuan sedimen laut dalam dan dangkal. Di sana ada susunan batu pasir, lempung, dan gamping berusia 15 juta-30 juta tahun.
Kondisi geologi ini penting untuk diperhatikan dalam rencana pembangunan IKN. Tanah lempung sulit menyerap air sehingga antisipasi bencana, misalnya banjir, diperlukan.
”Tanah lempung juga licin. Mendirikan bangunan di tanah lempung butuh strategi-strategi tertentu agar bangunannya stabil,” kata Truman yang juga Kepala Tim Penelitian IKN Puslit Arkenas di Jakarta.
Kawasan IKN yang saat ini didominasi perkebunan pun sarat sejarah. Peneliti menemukan jejak kehidupan manusia di Goa Panglima, Kecamatan Sepaku, Kaltim. Ini tampak dari penemuan sejumlah artefak dan ekofak, seperti tembikar, perkakas dari tulang, cangkang, litik, batu, arang, hingga batu pipisan. Ada juga sisa tubuh manusia, seperti gigi geraham manusia, fragmen rahang bawah, dan fragmen tulang hasta atau ulna.
Temuan itu masih diteliti untuk menentukan kronologi kehidupan di Goa Panglima. Namun, Truman memperkirakan goa itu dihuni sejak zaman holosen atau masa ketika es mencair. Selain Goa Panglima, masih ada goa lain yang mesti diteliti, misalnya Goa Sanggulan.
Peneliti juga mengidentifikasi jejak industri logam Maridan dari penemuan terak dan besi murni. Hal ini menunjukkan bahwa leluhur telah mengenal teknologi logam di awal masa Masehi.
Kawasan IKN juga sarat kebudayaan. Kearifan lokal membuat penduduk mampu hidup berdampingan satu sama lain dan dengan alam. Ini tampak dari hukum adat untuk mengelola hutan, ritual tahunan dengan memberi sesajen dari hasil alam, hingga kebersamaan penduduk melestarikan mangrove, mulai dari pembibitan, penataan, hingga pemangkasan dahan.
Penduduk lokal dan pendatang pun saling menghargai. Selain mendorong terjadinya interaksi budaya, toleransi pun terbentuk. Kearifan lokal ini diharapkan bisa dipertahankan saat IKN dibentuk dan berkembang.
”IKN kaya akan nilai keindonesiaan. Kekayaan ini agar terus digali sehingga menjadi modal bagi IKN yang berkeindonesiaan, IKN yang memberi kontribusi untuk menguatkan fondasi keindonesiaan,” tutur Truman.
Lindungi tradisi
Menurut Peneliti Utama Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dwi Eny Djoko Setyono, penelitian arkeologi penting untuk menyusun kebijakan yang berbasis ilmu pengetahuan. Ini juga salah satu cara melindungi tradisi lokal dan lingkungan di wilayah yang akan dibangun.
Warisan arkeologi pun akan terlindungi. Warisan ini penting untuk diteliti demi kemajuan ilmu pengetahuan di masa depan. Menurut dia, selama ini pembangunan kerap mengabaikan aspek arkeologis.
Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional I Made Geria mengatakan, hasil penelitian arkeologi dapat menjadi bahan pelajaran siswa sekolah tentang akar peradaban Indonesia. Ini penting dipelajari agar anak Indonesia paham kebinekaan sejak dini. Pemahaman ini diharapkan melahirkan toleransi dan akar keindonesiaan yang kuat.
”Masyarakat perlu memahami bahwa negara ini merupakan kesepakatan yang terdiri atas berbagai suku. Jika narasi ini tidak disampaikan ke masyarakat, sulit mencapai generasi emas ke depan. Kita pun tidak ingin jadi negara yang penduduknya (mengembangkan) hal baru tanpa tahu akar peradabannya,” ujar Made.