Kematian Tragis NWR, Alarm Kondisi Darurat Kekerasan Seksual
Pandemi Covid-19 tidak menghentikan praktik kekerasan seksual. Korban terus berjatuhan, tapi perlindungan hukum masih jauh dari harapan. Pelaku sulit dijerat karena belum ada payung hukum yang kuat.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah perjuangan mewujudkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, publik dikejutkan dengan kasus kekerasan seksual berujung kematian yang menimpa mahasiswi, NWR. Kasus itu menjadi puncak gunung es kerentanan perempuan pada kekerasan seksual di ranah privat atau dilakukan pasangan.
NWR merupakan korban kekerasan dalam berpacaran. Selama hampir dua tahun, NWR mengalami kekerasan bertumpuk dan berulang dari pacarnya. Ia menjadi korban eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi hingga akhirnya NWR mengakhiri hidupnya.
Sampai hari Senin (6/12/2021), berbagai ucapan keprihatian terus disampaikan menanggapi kasus yang menimpa NWR. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati dan Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani, beserta jajaran Komnas Perempuan mengungkapkan dukacita yang mendalam atas kasus yang menimpa almarhumah NWR.
”Kami mendukung langkah cepat dari Kapolri dan semua jajarannya khususnya Kepolisian Daerah Jawa Timur dan berharap agar kasus ini dapat diselesaikan sesuai hukum yang berlaku,” ujar Menteri PPPA Bintang Darmawati dalam keterangan pers.
Polda Jatim diharapkan mengusut tuntas kematian NWR dan memproses pelaku sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. ”Kisah tragis NWR harus menjadi pelajaran bagi kita. Kasus ini merupakan alarm keras pada kondisi darurat kekerasan seksual di Indonesia yang membutuhkan tanggapan serius dari aparat penegak hukum, pemerintah, legislatif, dan masyarakat,” ujar Andy Yentriani.
Pekan lalu, Kamis (2/12/2021) petang, NWR yang merupakan warga di sebuah desa di Mojokerto, ditemukan bunuh diri, saat berziarah ke makam ayahnya di pemakaman Dusun Sugihan Desa Japan, Kecamatan Sooko, sekitar pukul 15.30. Kematian NWR menjadi viral di media sosial, belakangan diketahui NWR mengakhiri hidupnya setelah mengalami kekerasan seksual dari pacarnya yang juga anggota kepolisian.
Berita kematian NWR mengejutkan Komnas Perempuan. Menurut Andy, sebelumnya pada Agustus 2021 korban pernah berupaya meminta bantuan untuk menyikapi peristiwa kekerasan yang ia alami. Korban juga berkonsultasi dengan dua lembaga bantuan hukum di daerahnya yang menyarankan korban untuk segera melaporkan tindakan pelaku ke Propam Polda Jatim.
Komnas Perempuan berhasil menghubungi NWR pada 10 November untuk memperoleh informasi yang lebih utuh atas peristiwa yang dialami, kondisi, dan juga harapannya. Dalam komunikasi dengan Komnas Perempuan, korban berharap masih bisa dimediasi dengan pelaku dan orangtuanya, dan membutuhkan pertolongan konseling karena dampak psikologi yang dirasakannya.
Menanggapi hal tersebut, Komnas Perempuan kemudian mengeluarkan surat rujukan pada 18 November 2021 kepada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Mojokerto. Namun, karena kapasitas psikolog yang terbatas dan jumlah klien yang banyak, penjangkauan baru dijadwalkan kembali di awal Desember.
”Berita mengenai korban telah mengakhiri nyawanya menjadi pukulan bagi kita semua, khususnya kami yang berupaya menangani kasus ini,” ujar Andy yang didampingi Siti Aminah Tardi, Theresia Iswarini, dan beberapa komisioner Komnas Perempuan.
Kekerasan sejak 2019
Dari informasi yang diperoleh Komnas Perempuan, NWR mengalami kekerasan berulang sejak 2019. NWR menghadapi kehamilan yang tidak diinginkan dan pacar NWR memaksanya untuk menggugurkan kehamilan dengan berbagai cara, seperti memaksa meminum pil KB, obat-obatan dan jamu-jamuan, bahkan pemaksaan hubungan seksual karena beranggapan akan dapat menggugurkan janin.
Peristiwa pemaksaan aborsi bahkan terjadi hingga dua kali. Pada kali kedua korban sampai mengalami pendarahan, trombosit berkurang dan jatuh sakit. Dari keterangan korban, pemaksaan aborsi oleh pelaku juga didukung oleh keluarga pelaku yang awalnya menghalangi perkawinan pelaku dengan korban karena alasan masih ada kakak perempuan pelaku yang belum menikah dan menuduh korban sengaja menjebak pelaku agar dinikahi.
Pelaku juga diketahui memiliki hubungan dengan perempuan lain, tapi pelaku bersikeras tidak mau memutuskan relasinya dengan korban. Selain berdampak pada kesehatan fisik, korban juga mengalami gangguan kejiwaan yang hebat. Ia merasa tidak berdaya, dicampakkan, disia-siakan, berkeinginan menyakiti diri sendiri, dan didiagnosa mengalami obsessive compulsive disorder (OCD) serta gangguan psikosomatik lainnya.
Andy menegaskan, kasus NWR merupakan salah satu dari 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diadukan ke Komnas Perempuan dalam periode Januari-Oktober 2021. Ini sudah dua kali lipat lebih banyak daripada jumlah kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan pada 2020.
Kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah jenis kasus kekerasan di ruang privat/personal yang ketiga terbanyak dilaporkan. Pada kurun 2015-2020, tercatat 11.975 kasus yang dilaporkan oleh berbagai pengada layanan di hampir 34 provinsi, sekitar 20 persen dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah privat. Dalam kurun waktu yang sama, rata-rata 150 kasus per tahun dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan.
Kasus ini sering kali berakhir dengan kebuntuan diproses hukum. Latar belakang relasi pacaran kerap menyebabkan peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban dianggap sebagai peristiwa suka sama suka. Dalam konteks pemaksaan aborsi, justru korban yang dikriminalkan, sementara pihak laki-laki lepas dari jeratan hukum.
”Kasus ini sering kali berakhir dengan kebuntuan diproses hukum. Latar belakang relasi pacaran kerap menyebabkan peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban dianggap sebagai peristiwa suka sama suka. Dalam konteks pemaksaan aborsi, justru korban yang dikriminalkan sementara pihak laki-laki lepas dari jeratan hukum,” papar Andy.
Pengesahan RUU TPKS menjadi kunci untuk memutus impunitas pelaku sekaligus upaya pemulihan korban yang saat ini kapasitasnya terbatas.
Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Brawijaya (IKA UB) juga menyampaikan pernyataan sikap atas kasus kekerasan yang dialami NWR, yang merupakan mahasiswa di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya. Mereka menyatakan ikut berdukacita sedalam-dalamnya dan berempati terhadap kegetiran kekerasan dan persoalan yang mendera NWR sebelum meninggal.
IKA UB melalui Ketua Umum Ahmad Erani Yustika Sekretaris Jenderal Arief Subekti mendesak Polri untuk memprioritaskan penanganan kasus kekerasan seksual yang dialami almarhumah dengan cepat dan transparan. Selain itu, IKA UB juga akan membentuk tim pendampingan untuk memantau dan mendorong proses hukum yang adil dan transparan.
”IKA UB merekomendasikan kepada perguruan tinggi untuk meningkatkan layanan perlindungan dan konseling kepada korban kekerasan seksual, termasuk pendampingan di luar kampus dan di tempat tinggal korban,” kata Ahmad.