Memancing Minat Akan Wayang dalam Pameran ”Wayang Rupa Kita”
Sejak beberapa abad silam hingga sekarang, wayang banyak mengangkat kisah dari epos ”Mahabharata” dan ”Ramayana”. Namun, keberadaan wayang sesungguhnya melampaui itu. Wayang bukan untuk mengilustrasikan sebuah epos.
Memamerkan wayang, terutama untuk memancing minat anak-anak muda terhadap wayang, ternyata bukanlah hal yang gampang. Memantik ketertarikan dan imajinasi lewat adegan-adegan pewayangan pun disajikan. Pameran wayang dengan sepenggal-sepenggal kisah itu akhirnya melambungkan imajinasi tentang rupa-rupa kehidupan kita.
Demikianlah hakikatnya wayang. Wayang merupakan bayang-bayang kehidupan kita, bayang-bayang keinginan kita, bayang-bayang dari setiap risiko pilihan sikap hidup kita.
Kekeliruan mungkin saja terjadi ketika wayang dianggap sekadar menjadi ilustrasi atau penjabaran suatu kisah. Wayang kemudian dianggap sebagai sebuah animasi.
Sejak beberapa abad silam hingga sekarang, wayang banyak mengangkat kisah dari epos Mahabharata dan Ramayana. Epos asal India itu cukup lengkap, panjang, dan menarik. Di situ terselip kisah-kisah yang juga relevan dengan keseharian kehidupan kita.
Asal muasal peristiwa dan hasil akhir dari suatu pilihan sikap perbuatan baik atau buruk dikisahkan di kedua epos tersebut. Kisahnya menjadi pelajaran berharga bagi kehidupan. Namun, keberadaan wayang sesungguhnya melampaui itu. Wayang bukan untuk mengilustrasikan sebuah epos.
Epos hanyalah medium atau perantara. Wayang sesungguhnya adalah upaya menilik kehidupan kita, menilik rupa kita.
Pameran wayang di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) itu pun akhirnya memilih tajuk ”Wayang Rupa Kita”. Seorang dalang muda, Nanang Henri Priyanto (46), yang akrab disapa Nanang Hape, menjadi kurator pameran yang sudah berlangsung pada 19 November sampai 4 Desember 2021 itu.
17 adegan
Untuk mempersiapkan pameran itu, Nanang Hape bekerja bersama anak-anak muda pula. Mereka di antaranya memang bekerja di BBJ, tetapi ada juga mahasiswa yang kebetulan sedang magang di BBJ. Nanang akhirnya menentukan sejumlah wayang untuk membuat 17 adegan.
Adegan-adegan itu beruntun tertata di ruang pamer. Wayang beragam jenis ditampilkan, mulai dari wayang suket (rumput), wayang golek, kemudian sebagian besar wayang kulit, dan lukisan-lukisan wayang. Menurut Kepala Bidang Program BBJ Ika W Burhan, jumlah keseluruhan wayang yang ditampilkan mencapai 121 wayang.
Wayang-wayang ditancapkan pada batang pisang. Efek pencahayaan menunjang setiap adegan. Namun, ada satu adegan dalam suasana gelap. Dengan sengaja tata lampu tidak disorotkan ke arah wayang-wayang figur para dewa, seperti Batara Narada, Batara Guru, Yamadipati, Bayu, Wisnu, dan Brahma.
”Gagasan menggelapkan seperti ini justru datang dari anak-anak muda. Gagasan saya hanya menentukan adegan dan memilih wayang untuk adegan-adegan tersebut,” tutur Nanang Hape kepada sejumlah awak media, ketika membuka pameran itu, Jumat (19/11/2021).
Beberapa anak muda yang dimaksud antara lain Annissa Maulina (31), yang bekerja di BBJ. Ada lagi seorang mahasiswa akhir di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Mohammad Arief, yang kebetulan sedang magang di BBJ.
Annisa menceritakan munculnya gagasan tersebut. Ada keinginan yang mendasar tentang keberadaan wayang kulit yang mestinya dilihat anak-anak muda sekarang. Di antaranya hakekat wayang adalah bayang-bayang.
Gagasan itu kemudian diwujudkan dengan cara interaktif. Para pengunjung dipersilakan menyalakan lampu senter dari telepon genggam dan diarahkan ke wayang-wayang yang diletakkan tidak jauh dari dinding. Cahaya sinar senter itu akhirnya membentuk bayangan di dinding. Itulah wayang.
Permainan bayang-bayang menjadi pertunjukan wayang kulit di masa lalu. Ini yang jarang dipertontonkan di masa sekarang. Pertunjukan wayang kulit di masa lalu dilihat dari belakang layar.
Penikmatnya berhadap-hadapan dengan dalang, tetapi di antara keduanya terdapat layar putih. Layar inilah yang menangkap bayang-bayang wayang dan dihidupkan menjadi sebuah cerita oleh sang dalang.
Pertunjukan wayang sekarang berubah di depan layar. Para penikmat wayang tidak lagi dihadapkan pada bayang-bayang, tetapi pada figur wayang nyata yang dimainkan dalang.
Ketika menonton adegan wayang dari balik layar itu seperti layar bioskop. Namun, tampilan filmnya berwarna hitam dan putih.
Pertunjukan wayang sekarang berubah di depan layar. Para penikmat wayang tidak lagi dihadapkan pada bayang-bayang, tetapi pada figur wayang nyata yang dimainkan dalang. Para penikmat wayang dari depan layar sekaligus bisa menyaksikan atraksi kerawitan.
Di masa lalu, para penikmat wayang dari belakang layar biasanya dari kalangan elite atau yang memiliki strata sosial tertinggi. Kalangan masyarakat biasa justru menikmati wayang dari depan layar.
Panakawan
Dari 17 adegan pewayangan yang ditampilkan, terpampang cerita-cerita unik yang tidak hanya datang dari epos Mahabharata atau Ramayana. Tawaran nilai kehidupan pun disemai tanpa menggurui atau memberi nasihat panjang lebar.
Adegan yang dipilih terlepas dari epos Mahabharata atau Ramayana di antaranya tentang Panakawan. Di situ dibeberkan istilah panakawan yang bermuasal dari kata pana yang bermakna paham dan kawan yang bermakna teman.
Panakawan bukanlah semata pembantu. Panakawan seperti kawan yang justru lebih memahami. Di situ ada Panakawan Gareng yang digambarkan bermata juling dan berkaki pincang.
Gareng digambarkan sebagai sosok Panakawan yang paling awas terhadap situasi. Ketika berjalan dengan kaki pincangnya, Gareng tidak pernah tersandung.
Kemudian Petruk dengan kuncir melengkung dan lentur. Ia menjadi Panakawan yang pintar melenturkan apa pun keadaan menjadi sebuah candaan. Panakawan Bagong menunjukkan sebuah keluguan. Batinnya yang lugu menunjukkan segala situasi sesuai apa adanya.
Ada sosok Panakawan Togog yang bermulut lebar. Ia digambarkan mampu menelan kebuasan raksasa tanpa perlu memuntahkannya kembali. Ada lagi Bilung, yang menjadi sosok Panakawan bagi pihak Kurawa yang tidak bosan mengingatkan hal untuk kebaikan. Namun, ketika yang diingatkan tidak berkenan, Bilung tak segan-segan untuk sekalian menyesatkan.
Adegan lain yang menyesuaikan kisah dari epos Mahabharata, di antaranya tentang pertarungan Karna dan Arjuna di medan laga Bharatayudha. Nanang Hape memberikan kutipan ujaran Karna kepada Arjuna sebagai berikut.
”Arjuna, meski aku membidik jantungmu, dan kau pun membidik leherku, bukankah kita hanya sedang saling melepas kerinduan, dikku? Tujuan kita sama dan inilah ujungnya, memilah cinta dan darma.”
Karna dan Arjuna akhirnya bertanding. Mereka kakak beradik dengan satu ibu, yaitu Kunti. Wajahnya pun digambarkan bagai pinang dibelah dua. Namun, keduanya berada di pihak berseteru. Karna di pihak Kurawa, Arjuna di pihak Pandawa.
Menjelang sabung nyawa, Arjuna masih gamang. Hingga pada akhirnya, kusir kereta perang Arjuna, yaitu Kresna, bisa meyakinkan Arjuna untuk menjadi pemenangnya.
Ada lagi satu adegan lain yang dinilai paling menarik oleh Mohammad Arief, mahasiswa magang di BBJ. Adegan itu tentang Ekalaya dan Durna.
Ekalaya seorang raja muda dari wangsa pemburu di Negeri Paranggelung. Ia pergi dan meminta Guru Durna untuk mengajarinya memanah. Ekalaya ingin pintar memanah hanya untuk memanah hewan buruan dan mematikan tanpa menyakitinya.
Durna menolak Ekalaya karena janjinya hanya untuk mengajar Pandawa dan Kurawa. Ekalaya lalu pergi meninggalkan Durna dan di suatu tempat ia membuat patung Durna yang dianggap menjadi guru memanahnya.
Arjuna suatu ketika menjumpai Ekalaya. Keduanya beradu kepintaran memanah dan Ekalaya ternyata lebih unggul. Arjuna menanyakan siapa gurunya dan Ekalaya menjawab, ”Guru Durna.” Inilah awal malapetaka bagi Ekalaya, yang akhirnya demi ketaatan kepada Durna, ia rela memotong ibu jarinya. Bahkan, Ekalaya akhirnya gugur di tangan Arjuna.
Ada sesuatu yang relevan dengan dunia pendidikan sekarang. Ekalaya sebagai sosok yang tidak memiliki akses pendidikan formal. Namun, dengan menciptakan patung seorang guru itu membuatnya jauh lebih andal memanah ketimbang Arjuna.
Dunia digital sekarang memungkinkan siapa saja untuk belajar meski tanpa guru yang nyata. Di masa pandemi Covid-19, pelajar dan mahasiswa tidak berhadapan langsung dengan guru mereka. Kisah Ekalaya dengan gurunya sebuah patung Durna itu menjadi relevan.