Psikologi positif membantu individu mengembangkan kepribadiannya sehingga dapat hidup bahagia dan bermakna. Kuncinya ialah menerima kejadian negatif dan positif secara legawa.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Psikologi positif membantu individu untuk menerima hal positif dan negatif dalam hidup kemudian mendorong perkembangan kepribadian individu. Dengan demikian, peluang individu untuk hidup bahagia dan bermakna akan semakin terbuka.
Hal tersebut mengemuka dalam acara bincang buku Psikologi Positif karya Garvin Goei secara daring, Sabtu (4/12/2021). Psikologi positif dimaknai sebagai kemampuan untuk mengolah hal dan emosi negatif serta positif kemudian mengubahnya menjadi pelajaran hidup. Teori psikologi positif dikembangkan oleh profesor psikologi, Martin Seligman.
”Psikologi positif artinya membuat hidup dari nol menjadi plus satu kemudian menjadi plus dua. Intinya tentang bagaimana hidup kita berkembang. Psikologi positif bukan psikologi yang harus terus berpikir positif,” kata Garvin yang juga Ketua Program Studi Psikologi di Universitas Bunda Mulia, Jakarta.
Menurut dia, individu tidak wajib memiliki emosi positif terus-menerus. Individu juga perlu mampu menerima hal buruk dalam hidup dan tidak mengingkari emosi negatif yang dirasakan.
Hal tersebut membedakan kapan individu harus bersikap optimistis dan pesimistis. Garvin mengatakan, optimisme bisa dilakukan ketika individu ada di situasi yang netral atau positif. Sementara itu, pesimisme diperlukan saat situasi negatif atau berisiko tinggi.
”Misalnya, saat pandemi Covid-19, jangan membuka masker dan optimistis bahwa kita akan baik-baik saja. Dalam konteks tersebut, kita harus pesimistis,” ujarnya.
Psikologi positif juga berhubungan dengan sikap menyayangi diri atau self-love. Saat sedang terpuruk, individu kerap menyampaikan narasi negatif ke diri sendiri, seperti menyalahkan diri, menganggap diri tidak berharga, hingga menganggap diri sendiri payah. Hal itu bisa membuat seseorang semakin terpuruk dan sulit pulih.
Psikologi positif artinya membuat hidup dari nol menjadi plus satu kemudian menjadi plus dua. Intinya tentang bagaimana hidup kita berkembang. Psikologi positif bukan psikologi yang harus terus berpikir positif.
Alih-alih menghujat diri sendiri, individu disarankan untuk merangkul dan menghibur diri, misalnya dengan minum kopi atau istirahat sejenak. Sikap tersebut diyakini mampu membuat individu menelaah hal dan emosi negatif yang dialami.
”Untuk hidup secara positif, kita perlu menerima hal yang negatif juga. Akui adanya hal negatif kemudian ambil pelajaran dari itu tanpa perlu mengingat kembali emosi negatifnya,” tutur Garvin.
Psikologi positif berkaitan erat dengan kebahagiaan. Ada lima unsur pembentuk kebahagiaan dalam teori psikologi positif, yaitu emosi positif, engagement (dimaknai sebagai sebagai kemampuan menikmati kegiatan sehari-hari), relasi positif dengan orang lain, kebermaknaan, serta pencapaian.
Adapun definisi kebahagiaan di masa lalu berbeda dengan masa sekarang. Dulu, definisi kebahagiaan adalah ketika semua keinginan individu terpenuhi dan hal buruk tidak terjadi. Definisi tersebut kini digugat karena membuat individu ”lari di tempat”.
Kebahagiaan kini dimaknai juga sebagai kesempatan individu untuk mengembangkan diri. Untuk itu, individu didorong mengidentifikasi 3-5 kelebihan dalam dirinya kemudian mengoptimalkan kelebihan tersebut.
Ketua Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia (APKI) Eunike Sri Tyas Suci mengatakan, kebahagiaan bersifat subyektif dan personal. Itu sebabnya individu perlu mendefinisikan arti kebahagiaannya masing-masing melalui psikologi positif.
”Psikologi positif bisa diterapkan siapa saja, termasuk lansia. Ini penting agar warga lansia bisa memaknai hidup secara positif karena warga lansia umumnya mengalami situasi sulit, seperti degradasi kesehatan dan kehilangan teman,” katanya. ”Berpikir positif akan menggerakkan pikiran, karsa, dan rasa positif pula,” tambahnya.
Menurut penulis buku Resiliensi, M Taufiq Amir, psikologi positif dapat dipraktikkan pula di organisasi masyarakat dan tempat kerja. Teori ini mendukung individu membangun kepercayaan diri, potensi, dan optimisme. Organisasi dan institusi pun akan maju jika individunya mampu berkembang.