Terketuk Panggilan demi Pendidikan Layak di Pedalaman
Sekolah-sekolah di pedalaman bertujuan mendekatkan pendidikan pada siswanya. Kegiatan belajar-mengajar bersifat adaptif menyesuaikan konteks kehidupan setempat.
Oleh
Irma Tambunan
·4 menit baca
Para guru yang mengawal pendidikan di pedalaman tak hanya menghadapi beratnya medan dan jauhnya akses. Mereka juga harus mampu mengasup pendidikan setara dan sarat teknologi di tengah situasi hutan tak berjaringan internet hingga mencari solusi bagi siswanya yang terancam berhenti sekolah karena membantu orangtua bekerja.
Guru di komunitas pedalaman suku Batin Sembilan, Rio Afrian (30), resah tatkala Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) digelar. Selama ini, para siswanya di komunitas pedalaman Kabupaten Batanghari itu belum tersentuh teknologi. Jaringan internet pun belum masuk di wilayah itu.
Demi membantu siswanya lolos asesmen, pada hari sebelumnya ia meminjam komputer milik kawannya. Ia lalu memperkenalkan cara sederhana mengoperasikan komputer kepada para siswa.
Pada hari pelaksanaan asesmen, ia menjemput siswa-siswanya, lalu membawa mereka ke lokasi ujian di Kota Muara Bulian yang berjarak 50 kilometer. Asesmen akhirnya dapat dilalui meskipun tanpa kepastian apakah hasilnya baik.
Menurut Rio, kehadiran teknologi belum dibutuhkan komunitas itu dalam kehidupan sehari-hari. ”Jaringan internet saja belum ada di sini,” katanya.
Yang terpenting bagi para siswa mengenal angka dan huruf. Mampu membaca, menulis, dan berhitung, serta pengetahuan umum yang kontekstual pada keseharian mereka. ”Huruf dan angka diperlukan mereka agar dapat berinteraksi dengan masyarakat luar,” tambahnya.
Sekolah Besamo yang dimulai pada tahun 2008 itu berada dalam Hutan Harapan di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan. Mulai 2010, sekolah itu menginduk pada SDN 49 Bungku. Rio dan rekannya, Teguh Rianto (37), mengajar di sana. Meskipun menjadi bagian dari pendidikan yang diselenggarakan negara, keberadaan sekolah di pedalaman belum sepenuhnya dipahami para pejabat negara.
Satu ketika, kepala dinas pendidikan setempat meninjau ke Sekolah Besamo. Setibanya di sana, kepala dinas langsung menanyakan mengapa sekolah itu jauh sekali di pedalaman sehingga sulit diakses. Untuk mencapainya, harus melalui jalanan terjal dan berlumpur. Kendaraan kerap terpuruk. Kedua guru juga ditegur karena siswanya tak satu pun menggunakan seragam sekolah dan juga tidak memakai sepatu.
Mendengar kata-kata itu, Rio menjelaskan bahwa sekolah itu memang sulit dijangkau dari luar. Namun, keberadaan sekolah justru mendekatkan pendidikan pada siswanya. Tempat tinggal anak-anak itu berada di sekitar sekolah. Bahkan, para guru seringkali mendatangi langsung siswa dan mengajar dari satu kelompok ke kelompok lain. Sekolah tak mengikat ruang dan waktu.
Soal tidak adanya seragam pakaian dan sepatu, lanjutnya, para orangtua tak mempunyai cukup uang untuk membeli. Bahkan, untuk buku tulis, pun dibelikan oleh guru dan pengelola Hutan Harapan. ”Kami tidak tega membebani siswa dengan pengeluaran yang tidak perlu,” jelasnya. Mendengar itu, barulah sang kepala dinas memahami.
Teguh menambahkan, menjadi guru di pedalaman adalah pilihan. Ia pun tadinya mengajar di sekolah negeri dekat tempat tinggalnya. Lima tahun lalu, ada kesempatan mengajar di pedalaman itu. Teguh merasa terpanggil.
Dalam sebulan, hampir tiga pekan lamanya ia menginap dalam hutan. Pekan terakhir, barulah ia pulang. Sang istri, Umi Salamah, pernah mempertanyakan mengapa Teguh malah memilih sekolah yang jauh di tengah hutan. Demi menjawab pertanyaan itu, ia pun membawa Umi ke sana untuk melihat langsung situasi sekolah. ”Akhirnya, Umi mengerti ada anak-anak yang membutuhkan pendidikan,” katanya.
Salah seorang siswa, Mira, paling senang jika gurunya memberikan pekerjaan rumah berhitung. Pelajaran itu sangat membantunya saat menemani orangtuanya menjual hasil getah-getahan dari hutan ke pasar. Mira biasanya paling cepat menjumlahkan dan mengalikan angka. ”Kalau pintar berhitung, bisa menolong orangtua,” katanya.
Salah seorang warga komunitas, Rusman, menceritakan, sebagian besar anggota komunitas itu hidup berpindah. Mereka mengenal manda, menjelajahi hutan untuk berburu dan mengumpulkan hasil hutan untuk waktu tertentu. ”Kalau sudah manda, anak-anak ikut untuk membantu sampai berminggu-minggu,” katanya.
Teguh awalnya mendapati siswa tak ada untuk waktu yang lama karena manda. Ia pun berkomunikasi dengan orangtua siswa agar anak-anaknya tetap tinggal. Selama orangtua manda, guru akan menjaganya. Sebagian orangtua kini telah menerimanya.
Teguh dan Rio berharap anak-anak suku Batin Sembilan dapat menikmati pendidikan yang layak. Menjadi generasi penerus yang menjaga hutan mereka tetap lestari.