Perempuan adat rentan mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan. Sejumlah perempuan adat menjadi korban saat berada di garda terdepan konflik lahan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan perempuan adat di Indonesia menjadi perhatian Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Hingga kini kaum perempuan adat mengalami diskriminasi dalam praktik adat terkait kepemilikan adat dan sulit mengakses layanan dasar, air bersih, serta sanitasi.
Terkait hal itu, Pemerintah Indonesia diminta menghilangkan praktik adat yang mendiskriminasi perempuan adat terkait kepemilikan tanah. Pemerintah juga diminta menjamin akses perempuan adat terhadap layanan dasar, air bersih, dan sanitasi yang memadai.
Demikian salah satu rekomendasi Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang dikeluarkan pada 15 November 2021.
Rekomendasi tersebut sebagai respons atas Laporan Berkala ke-8 dan Jawaban Indonesia atas List of Issues (LOI) tentang kemajuan implementasi Konvensi CEDAW di Indonesia sepanjang tahun 2012-2018. Laporan itu disampaikan pada Sidang PBB ke-80 Komite CEDAW tanggal 28-29 Oktober 2021.
”Komite CEDAW menyatakan keprihatinan. Sebab, hanya sembilan masyarakat hukum adat yang diakui negara,” kata Rena Herdiyani, Dewan Pakar Perempuan AMAN, pada akhir Sosialisasi dan Konsultasi Publik Tindak Lanjut Kesimpulan Pengamatan (Concluding Observations) Komisi CEDAW terhadap Laporan Periodik Implementasi CEDAW ke-8 Pemerintah Indonesia, di Jakarta, Selasa (30/11/2021).
Perempuan perdesaan dan masyarakat adat dinilai secara tidak proporsional terkena dampak proyek-proyek pembangunan. Kehidupan mereka juga terdampak eksploitasi sumber daya alam, deforestasi dan perluasan pertanian, serta konflik tanah yang diakibatkannya.
Selain itu, Komite CEDAW memandang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merusak perlindungan lingkungan dengan menghapus persyaratan izin lingkungan dan penilaian dampak lingkungan. Hal itu mengancam akses perempuan adat atas tanah.
Apalagi tak ada informasi tentang integrasi perspektif jender dalam proses pengambilan keputusan proyek pembangunan. Partisipasi perempuan adat dalam pengambilan kebijakan itu juga minim. Selain itu, akses perempuan adat terhadap kepemilikan tanah, air bersih, dan sanitasi memadai masih terbatas.
Karena itu, Komite CEDAW merekomendasi agar Indonesia memperluas cakupan masyarakat hukum adat setelah sebelumnya pada 2017, Presiden Joko Widodo menyerahkan surat keputusan hutan adat kepada sembilan masyarakat hukum adat (MHA). ”Pemerintah harus mencabut atau mengubah undang-undang yang melemahkan hak perempuan adat atas penggunaan tanah,” kata Rena.
Selain itu, perspektif jender perlu diintegrasikan dalam menganalisis dampak lingkungan. Pemerintah juga mesti memastikan perempuan adat dapat berkontribusi penuh untuk pembangunan negara dengan prinsip FPIC (free prior and inform consent) untuk setiap proyek pembangunan di wilayah adat. Pemerintah perlu memastikan perempuan adat mendapat manfaat dari kesepakatan dan alternatif mata pencaharian ketika wilayah adatnya tergusur.
Pada rekomendasi umum Komite CEDAW, sejumlah isu terkait perempuan adat disorot, seperti kerentanan perempuan adat menjadi korban perdagangan orang dan eksploitasi prostitusi.
Begitu juga dengan hak perempuan adat untuk memiliki akses sama dengan laki-laki terkait kepemilikan dan penguasaan atas tanah, air, hutan, budidaya perikanan dan perairan, serta sumberdaya lain, serta hak perempuan adat untuk mendapat perlindungan dari diskriminasi dan perampasan hak-haknya. Negara juga wajib mengakui dan meninjau hukum, tradisi, adat istiadat, serta sistem kepemilikan tanah perempuan adat.
”Perempuan AMAN telah melalui proses panjang bagaimana Perempuan Adat hadir di publik secara luas dan mendapat perhatian pemerintah dan publik untuk melihat situasi perempuan adat,” ujar Devi Anggraini, Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (Perempuan AMAN).
Perempuan AMAN telah melalui proses panjang bagaimana perempuan adat hadir di publik secara luas dan mendapat perhatian pemerintah dan publik untuk melihat situasi perempuan adat.
Selama ini, perempuan adat tidak mendapat perhatian karena tidak ada data terpilah perempuan adat. Selama lima tahun terakhir, perempuan adat melakukan pendokumentasian perempuan adat di kampung-kampung, serta melahirkan sejumlah laporan terkait situasi kondisi perempuan adat, termasuk lembar fakta dan analisis perempuan adat.
”Kami memastikan hak-hak perempuan adat mendapatkan ruang dan pengakuan di negara ini. Sampai saat ini hampir tidak ada kebijakan terhadap perempuan adat di Indonesia,” ujar Devi seraya berharap Rekomendasi Komite CEDAW disosialisasikan kepada publik.
Perlu dikawal
Nina Nurmila, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, menegaskan, pelaporan CEDAW oleh pemerintah, lembaga HAM, dan organisasi masyarakat sipil merupakan mekanisme penting untuk mendorong pemenuhan hak-hak asasi perempuan. Kesimpulan pengamatan dari Komite CEDAW yang disusun berdasarkan laporan dari Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pemerintah dan pihak terkait untuk menindaklanjutinya.
”Perempuan adat dan pendampingnya perlu terus mengawal dan mengingatkan pemerintah untuk menjalankan kewajibannya memenuhi hak asasi perempuan adat. Idealnya pemerintah menjemput bola ke lapangan untuk mencari tahu apa yang bisa dilakukan dalam memenuhi hak perempuan adat,” kata Nina.
Deputi Bidang Kesetaraan Jender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Lenny N Rosalin mengakui ada sejumlah tantangan yang dihadapi terkait perempuan adat. Salah satunya adalah perlindungan hukum bagi kelompok masyarakat adat belum memadai.
Tantangan lainnya adalah konflik lahan masih terus terjadi dan pelibatan warga masih minim dalam proses perizinan perusahaan potensial yang berdampak pada hak masyarakat adat. Hambatan lainnya berupa belum optimal pemenuhan hak layanan bantuan hukum.
Karena itu, sejumlah langkah strategis dilakukan pemerintah untuk mendorong pengakuan dan perlindungan hukum bagi kelompok masyarakat adat yang berhadapan dengan hukum.
Pada kesempatan tersebut, beberapa perempuan adat tampil menyampaikan kondisi yang dialami, terutama diskriminasi dan perlakuan tidak manusiawi yang diterima saat menghadapi konflik lahan.
Mereka adalah Hermina Mawa (perempuan adat Rendu, NTT), Nuriana (perempuan adat Batu Gajah, Sumatera Utara), dan Risna Sitohang (perempuan adat Natumingka, Sumatera Utara). Selain itu, hadir Rainy Maryke Hutabarat (komisioner Komnas Perempuan) dan Aida Milasari (perwakilan CEDAW Working Group Indonesia).