Mereka Memilih Setia meski Susah Sejahtera
Nasib guru honorer di Jawa Barat selatan masih saja berkutat soal sulit sejahtera. Entah bagaimana nasib anak-anak di sana apabila mereka tidak kuasa menanggung beban itu lagi.
Sudah berkiprah mulia mencerdaskan bangsa, guru honorer di pelosok daerah tetap saja susah sejahtera. Perannya kerap diganjar murah.
Di tengah pandemi, tanggung jawab mereka bahkan kian berat. Bangsa ini beruntung memiliki mereka karena memilih setia mengabdi melepas belenggu kebodohan.
Sudut ruang guru SD Negeri Jayamekar, Desa Muaracikadu, Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, terasa berbeda. Ada ruang baru berukuran 2,5 meter x 3 meter. Sekatnya berbahan tripleks setinggi 2,5 m sehingga tidak sampai menyentuh langit-langit.
Beberapa bagian sekat terlihat mulai lapuk. Tripleks bekas bertuliskan data siswa dipakai menopang salah satu sisinya. Sementara bagian yang jebol ditutup menggunakan kardus yang juga lusuh.
Sejak empat bulan lalu, ruangan mungil itu menjadi rumah bagi Dodi Riana (39) bersama istri dan seorang anaknya berusia 5 tahun. Dodi merupakan guru yang telah mengabdi di sekolah itu selama 17 tahun.
Kamar itu tidak cukup menampung banyak barang, seperti lemari, meja, dan kursi. Pakaian dimasukkan ke dalam kardus bekas pengiriman buku paket pelajaran. Mereka tidur di kasur tipis tanpa dipan.
Sebelumnya, Dodi tinggal di rumah mertuanya di Kampung Ciparaja, Kecamatan Cibinong, Cianjur, berjarak sekitar 16 km dari sekolah tersebut. Keputusannya pindah untuk tinggal di sekolah agar lebih dekat dengan rumah siswanya saat melakukan kunjungan mengajar.
”Bisa menghemat pengeluaran bensin juga karena enggak perlu pergi-pulang (dari rumah mertuanya) setiap hari,” ujarnya, Minggu (21/11/2021).
Tinggal di sekolah menjadi salah satu ”jurus” Dodi menyiasati sistem pembelajaran di tengah pandemi Covid-19. Sebab, kebijakan pemerintah menerapkan pembelajaran jarak jauh nyaris mustahil dijalankan di sekolah itu.
Tinggal di sekolah menjadi salah satu ”jurus” Dodi menyiasati sistem pembelajaran di tengah pandemi Covid-19. Sebab, kebijakan pemerintah menerapkan pembelajaran jarak jauh nyaris mustahil dijalankan di sekolah itu.
Mayoritas siswanya tidak mempunyai gawai untuk belajar daring. Koneksi internet di kawasan selatan Jawa Barat itu juga buruk. SD Negeri Jayamekar berjarak sekitar 110 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Cianjur, 130 km dari Kota Bandung, dan 220 km dari Jakarta. Lokasinya berada di seberang Sungai Cisadea dengan lebar lebih dari 50 m.
Dodi mengajar 12 siswa di kelas IV dan 16 siswa kelas V. Hanya lima siswa yang orangtuanya mempunyai telepon pintar. ”Kalau sekolah online (daring) mau diterapkan ke semua siswa, bagaimana caranya?” katanya.
Untuk mengatasi kendala itu, Dodi mengunjungi rumah-rumah siswa setiap Selasa dan Rabu. Sementara pada Senin dan Kamis, siswa belajar di sekolah pada pukul 07.30-10.00 tanpa waktu istirahat.
Dibutuhkan waktu sekitar 30 menit berjalan kaki menuju rumah siswa di Kampung Pojok dan Panyusupan, Desa Sirnagalih. Saat musim hujan seperti saat ini, jalan berlumpur sehingga memaksanya melepas sepatu dan berjalan tanpa alas kaki.
Jika cuaca buruk, Dodi memilih menginap di rumah warga. ”Tidak ada pilihan lain. Tanpa kunjungan mengajar, siswa akan semakin ketinggalan pelajaran,” ucapnya.
Kondisi belajar di sekolah juga tidak jauh lebih baik. Karena keterbatasan fasilitas, siswa kelas IV dan V digabung dalam satu kelas. Di sekolah itu hanya terdapat tiga ruangan belajar untuk menampung 75 siswa dari kelas I-VI. Sementara satu ruangan lainnya digunakan sebagai ruang guru dan administrasi.
Menurut Dodi, kebijakan belajar tatap muka dua kali seminggu tidak cukup untuk menyampaikan materi pembelajaran yang memadai. Ia mencontohkan, masih ada siswa kelas IV di sekolah itu belum menguasai perkalian dasar dan kesulitan membaca.
”Masih ada yang lama menjawab saat ditanya dua dikali tiga. Membaca juga terbata-bata,” ucapnya.
Kondisi itu tak membuatnya menyalahkan siswa. Lebih dari 1,5 tahun pandemi memaksa mereka lebih banyak belajar di rumah. Alhasil, materi pelajaran tak terserap optimal karena keterbatasan fasilitas untuk mengikuti sistem daring.
Dodi menganggap kebijakan sistem pembelajaran itu tidak ideal. Sebab, fasilitas serta kemampuan sekolah dan siswa di desa terpencil berbeda dengan kondisi di perkotaan.
”Kalau hanya di Jakarta dan kota-kota besar, pantaslah menggunakan sistem online. Namun, di Cianjur selatan masih banyak kampung yang enggak ada sinyal internet. Orangtua siswa juga tidak mungkin dipaksa untuk beli smartphone,” jelasnya.
Dengan berbagai upayanya untuk meningkatkan kompetensi siswa, honor lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Terbuka pada 2016 itu hanya Rp 370.000 per bulan. Gaji itu jauh lebih kecil dibandingkan upah minimum kabupaten (UMK) Cianjur 2021 sebesar Rp 2,69 juta. Bahkan, bisa jadi jauh lebih kecil daripada buruh bangunan atau serabutan.
Honor itu jelas tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bersama istri dan anaknya yang masih berusia lima tahun. Oleh karena itu, Dodi menyambi menjadi tukang ojek dadakan guna menambah sumber penghasilan.
Sepulang mengajar, ia mengantar tetangga dan kenalannya ke pelosok desa yang tidak dilalui angkutan umum. Penghasilannya dari mengojek sekitar Rp 30.000 per hari setelah dipotong biaya beli bensin dan sewa sepeda motor Rp 15.000 per hari.
Hidup dalam keterbatasan tak membuat Dodi menyesali keputusannya menjadi pendidik. Profesi itu cita-citanya sejak kecil meskipun beralih ke pekerjaan lain menawarkan penghasilan lebih besar.
”Kalau patokannya penghasilan, lebih baik jadi pekerja bangunan, upahnya Rp 100.000 per hari. Lagi pula, jika guru di sini mundur karena honornya kecil, siapa yang mau menggantikan mengajari siswa dengan gaji segitu (Rp 370.000 per bulan)?” ujarnya.
Kesiapan infrastruktur dan fasilitas
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia sekaligus pengamat kebijakan pendidikan Cecep Darmawan menuturkan, kebijakan sistem pendidikan di saat pandemi Covid-19 mesti mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan fasilitas pendukung. Oleh sebab itu, pendekatannya perlu disesuaikan dengan kondisi lokalitas daerah yang berbeda.
”Indonesia tidak hanya Jakarta. Selama ini menyelesaikan masalah pendidikan masih di atas meja. Padahal, disparitas fasilitas pendidikan itu nyata,” katanya.
Menurut Cecep, guru-guru yang berjuang menghadirkan solusi pembelajaran di saat pandemi patut diapresiasi. Sebab, di tengah keterbatasan, mereka mau bersusah payah agar siswa tidak ketinggalan pelajaran.
Baca juga: Guru 3T Berjibaku Pulihkan Pembelajaran
”Mereka adalah pahlawan pendidikan saat ini. Belum tentu mereka lulus PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja). Namun, mereka mampu berdaya dalam situasi yang tak mudah,” ucapnya.