Guru di Perbatasan Kaltara-Malaysia Tak Tersentuh Pelatihan
Selama ini, guru di Krayan, Kab Nunukan, Kaltara, berupaya sendiri mencari metode mengajar yang tepat di tengah keterbatasan akses jalan dan jaringan internet. Bahkan, modul yang digunakan adalah Kurikulum 2006.
Oleh
Sucipto
·5 menit baca
KRAYAN, KOMPAS — Ratusan guru di perbatasan Kalimantan Utara-Malaysia tak tersentuh pelatihan untuk bekal mengajar dan mengembangkan diri selama bertahun-tahun. Selama ini, mereka berupaya sendiri mencari metode mengajar yang tepat di tengah keterbatasan akses jalan dan jaringan internet. Bahkan, modul yang digunakan adalah Kurikulum 2006, bukan Kurikulum 2013.
Kompas mengunjungi SDN 014 Krayan pada Jumat (26/11/2021) siang. Dari Desa Long Bawan, pusat Kecamatan Krayan, SD tersebut hanya berjarak sekitar 25 kilometer yang bisa ditempuh kurang dari satu jam perjalanan dengan sepeda motor.
Namun, jalan menuju ke sana begitu becek akibat hujan yang mengguyur semalaman. Mordani, Kepala SDN 014 Krayan yang menemani Kompas, harus berkali-kali turun untuk mendorong motor karena terjerembap dalam kubangan lumpur.
Kondisi itu membuat perjalanan yang seharusnya satu jam saja, menjadi tiga jam perjalanan. Sesampainya di sekolah sekitar pukul 12.00 Wita, kegiatan belajar tatap muka sudah usai. Para guru masih menunggu untuk berkoordinasi dengan Mordani.
Akses yang susah dan sulitnya jaringan internet membuat guru-guru di sana tak pernah tersentuh pelatihan untuk pengembangan kemampuan mengajar, setidaknya selama 16 tahun terakhir. Aprem Acob, wali kelas III, sudah 16 tahun mengajar. Selama itu pula ia tak pernah mendapat pelatihan guru.
”Selama jadi guru honorer (tahun 2005), diangkat menjadi PNS (2014), sampai sekarang belum pernah ikut pelatihan. Metode mengajar kami dapat dari para guru senior yang sudah pensiun,” katanya.
Selama jadi guru honorer (tahun 2005), diangkat menjadi PNS (2014), sampai sekarang belum pernah ikut pelatihan. Metode mengajar kami dapat dari para guru senior yang sudah pensiun.
Di SD tersebut, hanya terdapat 14 siswa. Aprem sendiri mengajar dua siswa di kelas III. Salah satu siswanya belum lancar membaca sehingga ia harus berinisiatif untuk mengatasi ketertinggalan siswanya akibat belajar dari rumah selama pandemi.
”Kami komunikasi ke orangtua supaya turut membimbing di rumah. Saat di sekolah juga saya minta dia untuk mengeja huruf terlebih dahulu, pelan-pelan,” ujar Aprem.
Bahkan, siswa di SDN 014 Krayan masih menggunakan modul KTSP tahun 2006. Padahal saat ini di kota-kota besar dan daerah lain sudah menggunakan modul K13 atau Kurikulum Tahun 2013 sebagai pengganti Kurikulum 2006. Sekolah tersebut tertinggal tujuh tahun dari sisi kurikulum.
Buku modul K13 yang diterima di sekolah tidak mencukupi untuk pegangan guru dan siswa. Selain itu, para guru juga belum diberi pemahaman dan pelatihan bagaimana kurikulum K13 itu diterapkan.
”Jadi, buku paket KTSP 2006 itu diwariskan dari siswa ke siswa turun-temurun. Bahkan, ada buku yang sampul depannya sudah lepas,” kata Aprem.
Hal itu juga terjadi di guru SMAN 1 Krayan yang terletak di pusat kecamatan. Di sana, terdapat 21 guru ASN dan 7 guru honorer. Sebagian besar guru belum pernah mengikuti pelatihan untuk pengembangan metode mengajar terkini.
Kepala SMAN 1 Krayan Simon Selutan menjelaskan, sebelum pandemi Covid-19, kebanyakan guru tidak bisa ikut pelatihan di luar Krayan. Para guru terkendala faktor geografis. Saat ini Krayan hanya bisa ditempuh melalui jalur udara dengan pesawat perintis.
Jumlah penerbangan yang terbatas kerap membuat para guru tak kebagian pesawat saat ingin melakukan pelatihan. Padahal, pelatihan amat dibutuhkan karena beberapa guru di SMAN 1 Krayan masih mengampu dua mata pelajaran. Misalnya John Carles, guru honorer yang mengajar fisika dan komputer.
Ketika pandemi Covid-19, pelatihan dilakukan secara daring. Beberapa guru SMAN 1 Krayan sempat ikut webinar. Namun, karena gangguan jaringan akibat cuaca, webinar terputus di tengah jalan.
”Akhirnya guru-guru kami harus bergerak sendiri, belajar sendiri supaya maksimal mengajar,” kata Simon.
Sebelum pandemi, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Kaltara sempat menggelar beberapa kali pelatihan di Krayan. Jadi, para guru tak harus ke luar daerah untuk bisa mendapat pelatihan.
”Tetapi itu sifatnya belum merata di bidang studi yang ada,” Simon menambahkan.
Ketua LPMP Kaltara Jarwoko mengatakan, upaya menjangkau guru di daerah perbatasan terhenti karena pandemi Covid-19. Keterbatasan anggaran, sulitnya akses, dan pembatasan mobilitas menjadi penyebabnya. Di masa pandemi, pihaknya memfasilitasi sejumlah guru di Kaltara untuk melakukan pelatihan daring melalui Zoom meeting.
”Nama kelompok gurunya Enggang Benuanta. Para guru memilih sendiri narasumbernya dan sifatnya terbuka, diikuti seluruh guru di Nusantara,” kata Jarwoko.
Bupati Nunukan Asmin Laura Hafid menjelaskan, dalam lima tahun ke depan, pihaknya berkomitmen untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) di kabupaten yang berbatasan dengan Malaysia ini. Saat ini, perhatian sedang tertuju pada aspek kesehatan.
Namun, ia mengatakan, pihaknya juga berkoordinasi dengan Pemprov Kaltara untuk mengkaji lagi apa saja yang bisa dimaksimalkan untuk pemulihan dan dukungan di dunia pendidikan di saat pandemi seperti ini.
”Kita berkomitmen 20 persen (dari APBD) untuk pendidikan, untuk meningkatkan IPM. Di lapangan, memang ada hambatan-hambatan. Kami tetap menganalisis setiap kekurangan di wilayah masing-masing,” katanya.
Pendampingan guru
Di luar Kabupaten Nunukan, guru-guru di Kaltara sudah mulai mendapat pelatihan untuk mencari dan mempelajari metode mengajar terkini. Misalnya, Pemerintah Australia dengan Pemerintah Indonesia bekerja sama membuat program kemitraan Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (Inovasi).
Pada 2017, program dimulai di Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Malinau. Program itu dilakukan untuk meningkatkan kapasitas guru, memberi dukungan buku, dan layanan untuk siswa yang belum menguasai membaca, menulis, dan berhitung dasar. Saat ini, program kemitraan itu juga sudah merambah satu kabupaten lain di Kaltara, yakni Kabupaten Tana Tidung.
Hasil survei Inovasi pada 2017 menunjukkan, baru 57 persen siswa yang menguasai literasi dasar di 7 SD Bulungan. Setelah program berjalan, terjadi peningkatan, yakni 94 persen anak menguasai literasi dasar pada 2019. Hal itu terjadi karena guru diberi pendampingan untuk memahami sejumlah metode pengajaran bagi anak-anak yang belum menguasai literasi dasar.
”Anak-anak itu diidentifikasi dan dilayani secara khusus. Guru mengubah cara mengajar. Hasil studi akhir, setelah pelaksanaan program Inovasi di Bulungan dan Malinau menunjukkan bahwa anak-anak yang lamban belajar kemampuan membacanya meningkat setelah didampingi secara khusus,” ujar Manajer Provinsi Inovasi Kalimantan Utara Handoko Widagdo.