Guru 3T Berjibaku Pulihkan Pembelajaran
Banyak guru di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar yang menjadi guru karena panggilan hati. Mereka sebenarnya bisa memilih pekerjaan lain, tetapi tetap bertahan menjadi pendidik.
JAKARTA, KOMPAS – Pendidikan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T semakin terpukul sejak penutupan sekolah Maret 2020 akibat pandemi Covid-19. Pelajaran tak optimal membuat kemampuan dasar siswa kelas awal dalam mengenal huruf , membaca, dan menulis, menurun drastis. Meski demikian, dengan sepenuh hati, guru-guru 3T menjangkau para siswa di rumah yang lokasinya tak mudah dijangkau agar mereka tak ketinggalan pembelajaran.
Dari berbagai laporan yang dihimpun Harian Kompas dalam sepekan terakhir, para guru tetap berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun guru honorer di Pulau Jawa, Nusa Tenggara Timur, Sumatra, hingga Kalimantan terus berjuang untuk mendampingi anak-anak belajar. Para guru, khususnya SD memastikan para siswa bisa lancar membaca, menulis, dan menghitung. Apalagi sekolah-sekolah kini sudah mulai dibuka.
Di ruang kelas berdinding kayu, Diana Yunus (51), guru kelas 3 SDN 006 Krayan, di perbatasan Kalimantan Utara – Malaysia, menghampiri meja Niki Kristian (9), salah seorang siswanya. Diana mengeja huruf dan meminta siswanya untuk menuliskan beberapa huruf.
Niki berhasil menuliskan namanya meskipun sedikit berpikir. Niki dan tiga temannya duduk di sisi kanan ruang kelas. Mereka termasuk siswa Diana yang sudah mengenal abjad, tetapi belum lancar menulis dan membaca.
Di deretan meja tengah kelas, ada tiga siswa lain yang sudah bisa mengeja kata, tetapi belum lancar membaca dan menulis. Adapun di pojok kiri kelas terdapat tiga siswa yang sudah mahir menulis, membaca, dan berhitung dasar.
Pemisahan dilakukan Diana agar dia bisa dengan mudah memberi perlakuan kepada siswa sesuai dengan kemampuannya. Selama pandemi Covid-19, para siswa tak berangkat ke sekolah. Sebagian besar wilayah Krayan belum tersentuh akses internet, guru memberi rangkuman materi dan sejumlah soal latihan kepada siswa untuk dipelajari di rumah.
Imbasnya, siswa kelas kecil, seperti kelas 1, 2, dan 3 masih ada yang belum mahir membaca, menulis, dan berhitung dasar. Contoh nyatanya adalah siswa kelas dua yang nyaris setahun tidak bertemu dengan guru, kemudian naik ke kelas 3 dan menjadi siswa Diana.
Diana mengetahui persoalan itu saat sekolah mulai melakukan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas sejak Agustus 2021. Diana pun memberikan pelajaran tambahan dengan meminta kelompok siswa datang ke rumahnya antara sore atau malam hari untuk pembelajaran intensif. Jadwalnya sesuai dengan kesibukan Diana di rumah. Rata-rata, satu kelompok belajar berkunjung dua sampai tiga kali seminggu ke rumah Diana. Itu ia lakukan tanpa memungut sepeser pun biaya dari siswanya.
“Saya prihatin dengan keadaan siswa seperti ini. Makanya, saya sebisa mungkin memperjuangkan mereka agar punya bekal di kelas 4 nantinya. Saya targetkan mereka sudah lancar menulis dan membaca dalam lima bulan ke depan,” ujar Diana, saat ditemui di ruang kelas SDN 006 Krayan, Sabtu kemarin.
Kunjungi Rumah Siswa
Ketertinggalan siswa belajar karena sekolah tutup lama, memacu Dodi Riana (39), guru honorer di SD Negeri Jayamekar, Desa Muaracikadu, Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, untuk membantu siswa belajar. Sekolah ini berjarak sekitar 110 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Cianjur. Dodi mengajar 12 siswa di kelas IV dan 16 siswa kelas V. Hanya lima siswa yang orangtuanya mempunyai telepon pintar.
Kebijakan belajar tatap muka dua kali seminggu saat ini dirasa tidak cukup untuk menyampaikan materi pembelajaran yang memadai. Pada Senin dan Kamis, siswa belajar di sekolah pada pukul 07.30-10.00 tanpa waktu istirahat.
Masih ada siswa kelas IV di sekolah itu belum menguasai perkalian dasar dan kesulitan membaca. “Masih ada yang lama menjawab saat ditanya 2 x 3. Membaca juga terbata-bata,” ujar Dodi yang sudah 17 tahun jadi guru honorer.
Dodi sudah berusaha maksimal untuk mengatasi tutupnya sekolah. Dodi mengunjungi rumah-rumah siswa setiap Selasa dan Rabu saat tidak ada jadwal PTM. Dibutuhkan waktu sekitar 30 menit berjalan kaki menuju rumah siswa di Kampung Pojok dan Panyusupan, Desa Sirnagalih. Saat musim hujan seperti saat ini, jalan berlumpur sehingga memaksanya melepas sepatu dan berjalan tanpa alas kaki. Jika cuaca buruk, Dodi memilih menginap di rumah warga. “Tidak ada pilihan lain. Tanpa kunjungan mengajar, siswa akan semakin ketinggalan pelajaran,” ucapnya.
Tidak ada pilihan lain. Tanpa kunjungan mengajar, siswa akan semakin ketinggalan pelajaran
Kondisi belajar di sekolah juga tidak jauh lebih baik. Karena keterbatasan fasilitas, siswa kelas IV dan V digabung dalam satu kelas. Di sekolah itu hanya terdapat tiga ruangan belajar untuk menampung 75 siswa dari kelas I – VI. Sementara satu ruangan lainnya digunakan sebagai ruang guru dan administrasi.
Baca juga: Saatnya Membalas Jasa Guru
Meski guru-guru harus melalui medan berat untuk menjangkau anak-anak, kegiatan belajar di tengah rimba di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, dijalani Jauharul Maknun (36). Tujuannya sederhana, mengenalkan angka dan aksara bagi kelompok nomadik itu.
Di era yang semakin padat populasi, suku-suku pedalaman ini masih menjalankan pola hidup yang sama, berkelana di tengah rimba. Mendapatkan penghidupan lewat berburu dan meramu. Namun, interaksi dengan dunia luar meningkat seiring kebutuhan akan lahan dan hunian. Juga investasi. Pertemuan dengan orang dari luar rimba kerap terjadi. Seringkali dalam interaksi, mereka dibodoh-bodohi karena belum mengenal angka, apalagi membaca dan menulis.
Berbeda dengan di dalam hutan, kondisi anak-anak rimba yang kehilangan hutan lebih miris. Karena tak punya lahan, kelompok itu harus menumpang hidup di perkebunan kelapa sawit perusahaan. Pondok-pondok sederhana lalu dibangun di bawah pohon-pohon sawit. Di situlah mereka membangun tempat belajar.
Menurut Maknun, mengajar anak rimba yang berada di perkebunan sawit lebih berat. Sebab, mobilitas orangtuanya lebih tinggi. Mereka harus pindah setiap kali diusir pengelola kebun. Seringkali guru datang, tempatnya sudah kosong.
Demi tekad mengejar murid-muridnya, mereka lalu bertanya orang-orang di dusun dan mencari keberadaan siswanya. Pernah satu kali ia berhasil menemui salah satu kelompok yang berpindah. Ketika bertemu lagi, anak-anak sudah lupa dengan pelajaran huruf dan angka. Sehingga harus mengulang lagi dari awal.
Belakangan ini, program-program pendidikan bagi masyarakat pedalaman semakin luas difasilitasi baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Jika dulu Orang Rimba harus keluar hutan agar dapat belajar di sekolah, kini sejumlah program dikemas lebih ramah.
Maknun bergantian dengan guru lainnya Yohana mengunjungi muridnya, sering kali dibuat terpana dengan kondisi muridnya. Dalam sebulan pertemuan, biasanya anak-anak sudah hapal huruf dan angka. Sudah bisa mengeja huruf. Tak disangka pada kunjungan bulan berikutnya, mereka menghilang.
Saat kedua guru bertanya kepada orang desa sekitar, kelompok itu telah pindah. Rupanya mereka diusir oleh pemilik kebun sawit. Yohana merasa miris mengetahui kenyataan itu. Demi tetap menemui muridnya, kedua guru terus mencari. Sewaktu pencarian itu membuahkan hasil di bulan berikutnya, anak-anak mulai lupa berhitung dan membaca. Akhirnya pelajaran diulangi lagi dari awal.
Kehadiran guru penuh dedikasi di daerah 3T tak hanya memastikan pembelajaran berjalan dengan kepastian. Selama mengajar tujuh tahun dari program Sarjana Mendidik di daerah 3T, Anto Teguh Setiawan (33), guru fisika di SMA Negeri 3 Amarasi Timur yang terletak di Desa Enoraen, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, juga menjadi inspirasi bagi anak sekolah untuk mulai bermimpi meraih cita-cita. Mereka sebagian kuliah menjadi guru dan perawat. "Yang guru dan perawat itu ada yang sudah kembali dan mengabdi di kampung pedalaman. Mereka ingin membangun kampung mereka. Sampai saat ini, di pedalaman mencari guru dan perawat masih susah, " kata Teguh.
Kepala SMA Negeri Amarasi Timur Dina Sekbana menuturkan, kehadiran Teguh membantu siswa di sekolah tersebut dapat mengoperasikan internet. Pada ujian nasional tahun ini, Teguh memasang antena penguat sinyal internet sehingga siswa dapat mengikuti ujian nasional secara daring. "Pak Teguh ini seperti pelita di tengah kegelapan, " ucapnya.
Simak juga: Mas Menteri: 500.000 Formasi untuk Guru Honorer Tahun Ini
Minim Pelatihan
Berada di daerah 3T yang akses fisik dan internet terbatas, membuat Diana, yang memulai karirnya sebagai guru honorer sejak 2004 dan menjadi PNS pada 2014 itu, tak pernah mendapat pelatihan khusus metode mengajar. Sebab, dari dan ke wilayah Krayan hanya bisa dijangkau dengan angkutan udara perintis. Selain itu, jadwal penerbangan dan armada yang terbatas membuat warga tak bisa memesan tiket mendadak.
Adapun pelatihan daring yang kerap diadakan oleh organisasi guru atau dinas pendidikan setempat tak bisa diikuti oleh guru-guru dari Krayan. Meskipun akses internet gratis sudah ada di beberapa titik, tetapi jaringan tak stabil. Untuk mengikuti seminar daring melalui google meet atau zoom, internet yang tersedia tak memungkinkan. Apalagi kalau banyak pengguna.
Oleh sebab itu, Diana mengandalkan pengalaman dan insting untuk mencari metode yang tepat bagi siswanya. Metode mengajar yang Diana terapkan murni inisiatif sendiri dengan mempelajari karakter siswanya.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), kondisi GTK di wilayah khusus yang terdata 61.709 orang, masih minim sertifikasi dan mengikuti program kompetensi. Kepala sekolah yang belum bersertifikat sekitar 59 persen, sedangkan guru belum bersertifikat 76 persen.
Baru sekitar 20 persen atau 12.141 orang GTK yang sudah mengikuti berbagai program kompetensi dari guru pembelajar, Kurikulum 2013, peningkatan kompetensi pembelajaran, hingga guru penggerak. Sebanyak 80 persen atau 49.568 GTK belum pernah mendapat pelatihan.
Ada tunjangan khusus yang meliputi GTK di daerah tertinggal dan terpencil. Kemendikbudristek mengacu pada kondisi tertinggal seperti aspek kesehatan, modal sosial, ekonomi, pendidikan, permukiman, dan ekologi menjadi dasar indeks desa yang disusun Kementerian Desa Tertinggal. Adapun kondisi terpencil dilihat dari keterjangkauan wilayah, variasi moda transportasi, keterpencilan daerah, aksesibilitas moda transportasi, biaya perjalanan, waktu tempuh, jarak ke pusat daerah, yang menjadi indeks desa Kemendikbudristek.
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim mengatakan, banyak guru di daerah 3T yang menjadi guru karena panggilan hati. Mereka sebenarnya bisa memilih pekerjaan lain, tetapi panggilan hati untuk mendidik anak-anak membuat mereka tetap bertahan dan menjadi pendidik.
Nadiem menyadari bahwa di daerah 3T guru honorer menjadi andalan karena sekolah kekurangan guru. Berbagai program yang berpihak pada daerah 3T pun dilakukan dengan pengangkatan guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), termasuk bagi guru honorer di daerah 3T. Adapula kebijakan pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) yang disesuaikan berdasarkan indeks kemahalan daerah. Jumlah dana BOS di daerah 3T pun bisa meningkat hingga 100 persen dari sebelumnya.
Baca juga: Nadiem Anwar Makarim: Terima Kasih untuk Perjuangan Semua Guru
Menurut Nadiem, Kemendikbudristek juga sedang merancang program paket kebijakan yang bisa memberikan insentif dan peningkatan karir bagi guru 3T. Para guru yang mengabdi di daerah 3T akan mendapat poin untuk membantu mempercepat karir mereka
“Untuk yang mengambil kesempatan menjadi guru 3T seharusnya terakselerasi karirnya karena "pengorbanannya". Harus ada dampak karir dan kesejahteraan bagi guru 3T,” kata Nadiem.(ELN/ITA/TAM/CIP/FRN)