Perubahan pada songket perlu didokumentasikan. Tujuannya agar publik dapat mempelajari perubahan itu beserta dinamika sosial yang menyertainya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Penenun songket Palembang, Cek Ery (54), sedang menyelesaikan songket limar pesanan butik dari Jambi di belakang rumahnya di kawasan Ki Gede Ing Suro, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (13/1/2021). Walau pandemi Covid-19 mengimpit, Ery tetap meneruskan keahliannya menenun songket Palembang.
JAKARTA, KOMPAS — Songket dinilai bukan hanya bagian dari wastra Nusantara, melainkan juga produk kebudayaan dan sosial yang terus berubah mengikuti zaman. Itu sebabnya, perubahan-perubahan pada songket perlu didokumentasikan agar menjadi bahan belajar untuk generasi masa depan.
Profesor (emerita) Departemen Sosiologi dan Antropologi di College of the Holly Cross, Susan Rodgers, mengatakan, songket dibentuk dari berbagai proses sosial, budaya, dan ekonomi yang terjadi di suatu komunitas. Proses itu bisa bersifat lokal, nasional, atau global. Karena itulah, songket menjadi kreasi yang merepresentasikan zaman.
”Saya pernah ke suatu toko di Bukittinggi. Di sana ada songket yang dibuat oleh seorang lelaki muda. Ini tidak biasa karena umumnya wastra dibuat oleh perempuan. Rupanya, di sana sedang ada krisis ekonomi sehingga lelaki itu akhirnya membuat songket (untuk dijual),” kata Rodgers dalam diskusi daring Pekan Kebudayaan Nasional 2021, Rabu (24/11/2021).
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Perajin menenun songket Deli pada acara pameran usaha mikro, kecil, dan menengah di Rumah Dinas Gubernur Sumatera Utara, Medan, Rabu (17/11//2021).
Ia menambahkan, songket akan selalu berubah mengikuti dinamika politik, sejarah, ekonomi, juga kebudayaan. Karena itu, songket bukan hanya menjadi produk seni dan budaya, melainkan juga produk sosial.
Salah satu perubahan yang terjadi pada songket ialah penggunaan benang. Mulanya, motif pada songket dibuat dengan benang logam, yakni emas dan perak. Namun, kini songket dengan benang dari katun, sutra, hingga rayon pun berkembang.
Tradisi menenun songket juga berubah sesuai zaman. Rodgers mencontohkan, pada abad ke-19, para perempuan Kampung Pitalah di Sumatera Barat memproduksi songket yang indah. Namun, tradisi menenun itu kini hilang.
Tradisi menenun juga disebut memudar sekitar era 1920-1930 setelah Belanda mendirikan sekolah (HIS). Mulanya sekolah hanya dihadiri para lelaki. Lambat laun, para perempuan ikut mengenyam pendidikan di sekolah. Hal itu berpengaruh ke pudarnya tradisi menenun songket.
Perubahan pada songket dinilai perlu didokumentasikan. Tujuannya agar publik dapat mempelajari perubahan itu beserta dinamika sosial yang menyertainya.
Perubahan pada songket dinilai perlu didokumentasikan. Tujuannya agar publik dapat mempelajari perubahan itu beserta dinamika sosial yang menyertainya.
”Karena songket di Indonesia cepat berubah, sangat penting bagi museum-museum di Indonesia mulai mengoleksi songket agar perubahan itu bisa dilihat 100 tahun lagi,” tutur Rodgers yang juga peneliti songket.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Berbagai bentuk songket silungkang yang diproduksi di salah satu sentra songket di Desa Lunto Timur, Sawahlunto, Sumatera Barat, Rabu (16/10/2019) sore. Di sentra ini, harga satu songket biasa Rp 300.000-Rp 1,8 juta. Sementara itu, untuk songket dengan pewarna alami, dipatok harga Rp 600.000-Rp 3,5 juta. Songket ini biasanya dijahit menjadi baju, rok, sarung, syal, dan selendang.
Perubahan
Peneliti dan pegiat songket Puan Putri Reno Sativa Sutan Aswar mengatakan, ada upaya mengubah dan mengombinasikan kain songket di masa kini. Perubahan yang dimaksud misalnya mengganti benang logam menjadi benang katun. Adapun songket masa kini juga dikombinasikan dengan kreasi lain, misalnya sulaman, untuk membuat busana.
”Jika diganti dengan benang biasa, songket bisa digunakan untuk sehari-hari. Selama ini, songket (yang dibuat dengan benang logam) hanya digunakan untuk acara tertentu,” ucap Sativa.
Kendati songket bertransformasi, ada beberapa pakem yang tidak boleh ditinggalkan. Pada songket Minangkabau, misalnya, songket mesti menggunakan motif-motif yang menunjukkan falsafah hidup orang Minangkabau.
Motif-motif pada songket umumnya ada di ukiran rumah gadang, misalnya ukiran tumbuhan dan binatang. Sativa menambahkan, motif tersebut merupakan simbol karakter dan jati diri yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Menurut Ketua Perkumpulan Pecinta Songket Warna Alam (Pesona Alam) NTB Lalu Hilman, regenerasi perlu dilakukan untuk menjaga keberlanjutan kain tenun, termasuk songket. Komunitasnya berencana menghidupkan lagi tradisi tenun di sejumlah tempat, seperti di Sumbawa.
Pesona Alam juga sedang membuat gerakan menanam kapas di lombok. Gerakan ini akan diikuti dengan regenerasi pemintal benang yang hampir punah di berbagai wilayah di Lombok. Menurut dia, pemintal yang dapat memintal benang dengan kualitas yang sangat halus hampir punah.
”Kami harap gerakan menanam kapas bisa menjadi gerakan nasional sebagai jalan menuju swasembada sandang. Kita butuh sekitar 600.000 hektar areal penanaman untuk bisa mencapai swasembada kapas,” katanya.