Kisah pewayangan kerap dimulai dengan kata alkisah. Kata itu sesungguhnya hanya pembuka dari kisah-kisah besar yang saling terhubung. Di dalamnya tersimpan filosofi hidup dan pesan kebajikan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Sejumlah wayang kulit, wayang golek, dan wayang suket dipamerkan dalam pameran bertajuk ”Wayang Rupa Kita” di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu (20/11/2021). Pameran yang berlangsung hingga 4 Desember 2021 ini menampilkan wayang koleksi Bentara Budaya. Pameran bertujuan sebagai bentuk upaya Bentara Budaya menjaga tradisi dan kebudayaan Indonesia.
Alkisah, bumi terbagi dalam beberapa kerajaan. Di sana ada raja yang memegang takhta tertinggi, putri yang siap mengorbankan hati dan cintanya demi kerajaan, hingga ksatria yang menempa diri mencapai kasampurnan atau kesempurnaan. Cerita mereka dibekukan dalam kisah pewayangan. Di sana, ada petuah dan pesan kebajikan yang terselip dalam kata dan tindak tanduk mereka.
Kisah Ekalaya jadi pembuka tulisan kali ini. Ekalaya, seorang raja dari Negeri Paranggelung, adalah pemanah hebat. Ia ingin mengasah kemampuannya, lalu menjadi pemanah yang lebih andal lagi. Ia datang ke hadapan Durna, sang guru sakti mandraguna, untuk berguru.
Durna memandang Ekalaya. Ia tahu Ekalaya berbakat. Namun, Durna tidak akan menjadikan Ekalaya muridnya. Durna sudah kepalang janji untuk mengajari hanya Pandawa dan Kurawa. Sumpah itu tidak akan dikhianatinya.
Kompas/Hendra A Setyawan
Sejumlah wayang kulit, wayang golek, dan wayang suket dipamerkan dalam pameran bertajuk ”Wayang Rupa Kita” di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu (20/11/2021). Pameran yang berlangsung hingga 4 Desember 2021 ini menampilkan wayang koleksi Bentara Budaya. Pameran bertujuan sebagai bentuk upaya Bentara Budaya menjaga tradisi dan kebudayaan Indonesia.
Ekalaya tidak patah arang. Menurut raja muda itu, berguru adalah soal kekuatan tekad. Ia coba lagi berguru pada Durna, tetapi ditampik.
Ekalaya tidak bisa mencari guru lain karena hanya pada Durna ia meletakkan kepercayaannya. Didekatinya lumpur bekas sang guru berpijak, lalu dibuatnya patung menyerupai sosok Durna. Ditemani patung, Ekalaya berlatih sendirian dalam sepi.
Lama ia berkawan dengan kebisuan sampai patung itu seakan-akan bicara. Katanya, ”Ekalaya anakku, memanah bukanlah semata-mata tentang bagaimana kau rentang busurmu, bukan pula seberapa tepat picing matamu membidik sasaran. Memanah adalah soal sepenuh-penuhnya perhatian. Cuma hatimu yang mampu.”
Ekalaya belajar memilah suara dalam kebisuan. Kemampuannya berkembang. Keteguhan hati, ketekunan, dan kebijakan memilih apa yang penting dan tidak telah mengantar Ekalaya tumbuh menjadi pemanah tercepat, bahkan lebih cepat dari Arjuna.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Sejumlah wayang ditampilkan pada pameran ”Wayang Rupa Kita” di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (18/11/2021). Pameran ini dibuka untuk umum pada 19 November hingga 4 Desember 2021. Ada lebih dari 120 wayang yang ditampilkan dalam 17 adegan wayang.
Arjuna
Alkisah kedua, Arjuna turun gunung setelah usai berguru. Konon, orang yang mencapai kasampurnan akan menghadapi sejumlah ujian. Di persimpangan jalan, ksatria ini harus memilih jalan mana yang hendak ditapaki. Jalan yang dipilih adalah hutan belantara berbahaya.
Hutan itu tidak hanya rapat oleh pepohonan, tidak hanya dihuni satwa liar. Ada pula raksasa-raksasa yang menghadang jalan Arjuna. Sang ksatria pun bertarung dengan mereka.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Bayangan sejumlah wayang pada pameran ”Wayang Rupa Kita” di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (18/11/2021). Pameran ini dibuka untuk umum pada 19 November hingga 4 Desember 2021. Ada lebih dari 120 wayang yang ditampilkan dalam 17 adegan wayang.
Pada akhirnya, raksasa adalah cerminan segala hal yang ada di diri Arjuna, hal yang harus ia lawan kala mencapai kasampurnan. Sejatinya, mencapai kasampurnan adalah perkara menghadapi diri sendiri lagi dan lagi, serta perkara melihat ke dalam diri.
”Kekuatan tak jauh jaraknya dari keserakahan. Perasaan bisa membuatnya hilang kendali. Hasrat bisa membuatnya lupa diri, bahkan kebenaran bisa saja membutakan.”
Wayang
Narasi itu disampaikan Nanang Hape, kurator wayang, saat mendongengkan lima panel wayang di pameran ”Wayang Rupa Kita”, Selasa (23/11/2021), di Bentara Budaya Jakarta. Dongengnya berlangsung cepat, sekitar 30 menit, tetapi padat dan sederhana.
Dongengnya bilingual; bahasa Indonesia dan Jawa. Dongengnya juga musikal dengan selingan petikan senar gitar. Orang yang awam dengan wayang dipastikan bisa mengikuti jalan dongeng itu.
Nanang mengatakan, wayang kerap dipahami publik sebagai boneka belaka. Padahal, wayang juga mencakup budaya lisan, musik, seni pertunjukan, folklor, hingga relasi antara dalang dan audiens. Sederhananya, wayang adalah ekosistem yang hidup. Adapun wayang diakui sebagai warisan budaya dunia tak benda oleh UNESCO pada 2003.
Kompas/Hendra A Setyawan
Sejumlah wayang kulit, wayang golek, dan wayang suket dipamerkan dalam pameran bertajuk ”Wayang Rupa Kita” di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu (20/11/2021). Pameran yang berlangsung hingga 4 Desember 2021 ini menampilkan wayang koleksi Bentara Budaya. Pameran bertujuan sebagai bentuk upaya Bentara Budaya menjaga tradisi dan kebudayaan Indonesia.
Ia berpendapat bahwa wayang sebenarnya cerminan watak manusia. Kisah dan konflik pewayangan juga tak jauh dari kisah manusia di segala zaman. Apabila ditelaah, kisah pewayangan tidak hanya menunjukkan sisi kemanusiaan, tetapi juga sarat petuah dan filosofi. Manusia di segala zaman sebetulnya dapat memetik pelajaran dari kisah-kisah pewayangan.
”Ibarat putaran jangka, sejauh apa kita ingin menjangkau masa depan, sejauh itu pula kita harus memahami masa silam,” kata Nanang.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Nanang Hape, kurator wayang di pameran ”Wayang Rupa Kita” di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (23/11/2021).
Adapun pameran Wayang Rupa Kita berlangsung mulai 19 November hingga 9 Desember 2021 secara daring dan luring. Publik dapat berkunjung ke Bentara Budaya Jakarta setelah registrasi secara daring.
Kepala Bidang Event Production Bentara Budaya Ika W Burhan mengatakan, pameran ini menampilkan koleksi wayang golek, kulit, dan rumput. Ada lebih dari 120 buah wayang yang ditampilkan. Wayang-wayang itu dibagi dalam 17 adegan wayang.