Sederet folklor bahari tumbuh di masyarakat dan mengandung kearifan lokal. Keberadaan folklor dapat menjadi pengingat tentang budaya bahari Nusantara yang saat ini telah memudar.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Di lagu Nenek Moyangku ciptaan Ibu Sud, nenek moyang kita digambarkan begitu perkasa. Mereka pelaut yang mengarungi luasnya samudra, menembus badai, dan menunggangi ombak dengan berani. Liriknya mungkin mengadopsi zaman ratusan tahun silam saat budaya bahari Nusantara masih jaya. Kini, tidak sedikit orang lupa bahwa nenek moyangnya memang pelaut unggul.
Nenek moyang dulu tidak asing dengan laut maupun sungai. Mereka bepergian dengan perahu. Jejak mereka tergambar di lukisan dinding di sejumlah gua yang ada di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, hingga Papua. Lukisan dinding berupa perahu itu diperkirakan berusia 65.000 tahun.
Gambaran nenek moyang dengan perahu muncul pula di relief Candi Borobudur, Jawa Tengah. Relief itu menggambarkan kehidupan di masa Hindu-Buddha.
Hubungan nenek moyang dengan perairan pun masih kuat di masa kerajaan, baik Majapahit, Sriwijaya, hingga Samudera Pasai. Kejayaan sejumlah kerajaan di Nusantara tak lepas dari lokasinya yang tak jauh dari daerah pesisir.
Nenek moyang juga mengarungi lautan untuk mencari rempah-rempah. Sebelum pedagang asing datang ke Nusantara, pedagang Jawa dan Melayu telah lebih dulu berlayar ke Maluku dan singgah di daerah-daerah penghasil rempah.
Kedekatan nenek moyang dengan perairan menumbuhkan budaya bahari. Adapun budaya bahari dimaknai sebagai kebiasaan hidup, kumpulan nilai, pengetahuan, kepercayaan, hingga perilaku masyarakat yang hidup berdampingan dengan perairan.
Folklor merupakan salah satu produk budaya bahari. Pengajar Antropologi Universitas Indonesia Salfia Rahmawati, Senin (15/11/2021), mengartikan folklor sebagai sebagian kebudayaan suatu kelompok masyarakat yang diwariskan turun temurun, baik secara lisan maupun adat, tarian tradisional, pakaian, dan sebagainya.
Folklor
Folklor kerap diasosiasikan sebagai cerita rakyat, legenda, hingga mitos oleh masyarakat masa kini. Kebenaran folklor memang sulit dibuktikan secara ilmiah. Namun, folklor hidup dan menjadi bagian masyarakat.
Masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat, misalnya, akrab dengan sosok Putri Mandalika. Ia merupakan perempuan yang baik dan cantik. Banyak pangeran berbagai kerajaan ingin meminangnya. Namun, Putri Mandalika khawatir bakal terjadi perang jika ia memilih satu pangeran saja.
Ia kemudian menceburkan diri ke laut setelah menyatakan menerima pinangan semua pangeran. Sosoknya tak ditemukan di laut. Yang ditemukan adalah banyak cacing atau nyale warna-warni. Hingga kini, sosok Putri Mandalika diingat melalui Festival Bau Nyale di Lombok.
Sederet folklor bahari tumbuh di masyarakat, seperti Ina Kabuki di Pulau Buru, Maluku serta Nyi Roro Kidul di Jawa. Tradisi berburu paus di Lamalera, Nusa Tenggara Timur juga bagian dari folklor.
Edukator Museum Kebaharian Jakarta Firman Faturohman menuturkan, folklor bahari tidak hanya tentang lautan, melainkan juga sungai hingga danau. Sejumlah folklor bahari di beberapa daerah di Indonesia kerap menggambarkan perairan sebagai ibu.
“ Laut dipandang sebagai ibu kita yang harus dijaga. Pesan yang disampaikan adalah menjaga laut, sungai, hingga danau agar ekosistem hayati berkelanjutan. Folklor mengandung kearifan-kearifan lokal Nusantara,” ucap Firman saat dihubungi secara terpisah, Rabu (17/11/2021).
Laut dipandang sebagai ibu kita yang harus dijaga. Pesan yang disampaikan adalah menjaga laut, sungai, hingga danau agar ekosistem hayati berkelanjutan.
Kendati demikian, kearifan lokal pada folklor tergerus perkembangan zaman. Folklor pun pudar perlahan, sejalan dengan pudarnya budaya bahari.
Firman mengatakan, simpul pudarnya budaya bahari dapat ditarik dari masa penjajahan Belanda. Akses masyarakat lokal terhadap laut diputus. Masyarakat digeser ke daratan.
Akses ke laut kemudian didominasi orang Belanda. Padahal, laut merupakan pintu gerbang perdagangan dengan bangsa asing. Laut pun bukan hanya pusat ekonomi, namun juga politik dan akulturasi budaya. Setelah ratusan tahun berlalu, masyarakat lupa pernah dekat dengan laut.
“Menurut saya, kita mengalami amnesia kolektif soal kedekatan kita dengan laut,” ucap Firman.
Folklor dinilai dapat menjadi pengingat putusnya hubungan orang Indonesia dengan laut. Itu sebabnya, folklor perlu didekatkan kembali ke publik, khususnya generasi muda. Kendati kerap dianggap tidak ilmiah, folklor dapat menjadi bahan diskusi untuk mengenal budaya bahari Nusantara.
Folklor juga bisa dialihwahanakan menjadi beragam karya baru, misalnya buku cerita, gim, hingga konten media sosial. Folklor maupun kearifan lokal bahari pun dapat menjadi materi belajar di institusi pendidikan.
Pendiri Papermoon Puppet Theatre Maria Tri Sulistyani, misalnya, pernah menggelar pentas boneka di perkampungan nelayan di Natuna, Kepulauan Riau. Menurutnya, warga pesisir perlu diberi kesempatan untuk mengangkat narasi mereka sendiri tentang budaya bahari. Narasi itu menjadi modal bagi masyarakat luas dalam memahami budaya bahari (Kompas.id, 23/9/2021).
“Salah satu media mengingat kembali (budaya bahari) adalah melalui folklor. Dari situ kita bisa belajar lagi, bertutur lagi,” kata Firman.