Ketika keanekaragaman sumber pangan lokal hilang, maka cerita atau pengetahuan terkait keragaman itu ikut hilang.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pendidikan perlu mengajarkan anak tentang potensi pangan di daerahya. Selain untuk merawat kearifan lokal, masyarakat dapat mencapai ketahanan pangan dengan potensi di daerahnya masing-masing.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, monokulturisasi pangan dapat mendegradasi keanekaragaman hayati Indonesia. Dari ribuan sumber pangan, hanya sekitar 12 spesies tanaman yang dimanfaatkan. Beras merupakan salah satu pangan yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia.
Secara global, konsumsi beras di Indonesia terbesar setelah China dan India. Konsumsi beras per kapita pada 2019 ialah 94,9 kilogram per tahun. Pengeluaran untuk membeli beras rata-rata minimal Rp 1,3 juta per tahun (Kompas.id, 13/11/2021).
“Ketika keanekaragaman sumber pangan lokal hilang, maka cerita atau pengetahuan terkait keragaman itu ikut hilang,” kata Hilmar pada diskusi Pekan Kebudayaan Nasional 2021, Sabtu (20/11/2021).
Ia menambahkan, dampak monokulturisasi lebih besar dari hilangnya keragaman pangan. Hal itu juga berdampak ke sektor sosial dan budaya masyarakat. Misalnya, monokulturisasi mendorong penggunaan alat yang lebih modern untuk panen. Ani-ani mulai ditinggalkan.
Dampak monokulturisasi lebih besar dari hilangnya keragaman pangan. Hal itu juga berdampak ke sektor sosial dan budaya masyarakat.(Hilmar Farid)
Sebelumnya, para perempuan menggunakan ani-ani untuk memanen padi. Adanya peran perempuan saat panen berdampak ke distribusi beras yang adil. Namun, setelah ani-ani ditinggalkan, peran perempuan tersingkirkan.
Praktik monokultur juga mengabaikan keunikan ekosistem di suatu wilayah, termasuk potensi pangannya. Padahal, bahan pangan lokal bisa ditanam dan diperoleh masyarakat dengan mudah. Pangan lokal juga sesuai dengan karakter lahan dan sosial-budaya masyarakat setempat.
Itu sebabnya, penting untuk menemukan dan mengenali potensi tersebut. Pendidikan dinilai tepat untuk mengajarkan anak-anak soal itu.
“Di Kemendikbudristek ada program Presisi untuk menemukan dan mengenali (potensi desa). Anak-anak diberi keleluasaan untuk menemukan, mengenali, mencatat, dan mengumpulkan pengetahuan,” kata Hilmar. Ia menambahkan, pelibatan masyarakat setempat pun penting dalam proses pendidikan.
Menurut pendiri Sekolah Pagesangan di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, Diah Widuretno, sekolahnya mengajarkan cara memberdayakan diri dengan potensi desa. Proses belajarnya dikaitkan denga kehidupan sehari-hari warga sekolah.
“Pendekatan yang digunakan adalah pendidikan kontekstual, pendidikan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Kehidupan itu tidak lepas dari budaya setempat,” tutur Diah.
Ia menambahkan, pendidikan kontekstual berarti mengajarkan sesuatu yang dekat serta sesuai kebutuhan peserta didik. Sekolahnya pun tidak menerapkan kurikulum khusus. Materi belajar diadopsi dari hasil identifikasi kebutuhan para peserta didik.
Sementara itu, menurut pendiri Pesantren Ekologi Ath Thaariq Nissa Wargadipura, tidak sedikit anak-anak masa kini yang tidak sadar akan hubungan mereka dengan alam. Institusi pendidikan pun jadi ujung tombak mendidik anak tentang alam. Adapun pengajaran di pesantrennya berdasar pada prinsip Rahmatan Lil Alamin yang menghargai alam semesta.
“Agama dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Kendati kebudayaan bervolusi, pada prinsipnya keduanya saling berkaitan,” kata Nissa.