Industri buku di Asia Tenggara terdampak pandemi Covid-19. Kerja sama antarnegara dinilai dapat memperkuat industri buku.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 mengakibatkan lesunya industri buku di wilayah Asia Tenggara. Untuk mengatasi masalah itu, kerja sama antarnegara hingga adaptasi ke platform digital perlu ditingkatkan untuk memperkuat industri buku di kawasan itu.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman Nugraha mengatakan, ada tiga disrupsi industri buku yang muncul. Pertama, hilangnya pemasukan. Kedua, pengeluaran uang yang sia-sia karena pola permintaan pasar berubah. Ketiga, disrupsi dari sisi pasokan buku.
”Penerbit harus menghentikan pencetakan buku baru (selama pandemi). Jika tidak, stok buku di gudang akan menumpuk. Kondisi ini tentu terjadi pula di negara-negara lain,” kata Arys pada diskusi bertema ”Copyright Trading Challenges to Survive during the Pandemic”, Rabu (17/1/2021).
Ikapi mencatat penjualan buku para penerbit turun sekitar 60 persen selama pandemi. Penjualan buku cetak pun mulai dibatasi, kemudian penerbit fokus menjual buku yang masih beredar di pasar. Sejumlah penerbit juga mulai beralih ke buku digital.
Menurut Arys, kerja sama antarnegara ASEAN dapat memperkuat industri buku. Kerja sama tersebut dapat berupa peningkatan perdagangan buku ataupun hak cipta di kawasan Asia Tenggara. Hal itu tak hanya dapat mengembangkan industri buku, tapi juga membangun ekosistem buku yang berkelanjutan.
Penerbit harus menghentikan pencetakan buku baru (selama pandemi). Jika tidak, stok buku di gudang akan menumpuk. Kondisi ini tentu terjadi pula di negara-negara lain.
”Untuk itu, kita perlu membangun hubungan persahabatan dan kerja sama, baik dengan negara-negara maupun organisasi dan institusi,” ucapnya.
Dampak pandemi
Dampak pandemi terhadap industri buku juga dialami Malaysia. Menurut Ketua Asosiasi Penerbit Buku Malaysia Arief Hakim, kondisi itu terlihat dari turunnya jumlah anggota asosiasi dari hampir 230 anggota menjadi sekitar 100 anggota. Adapun asosiasi mencatat sekitar 3.000 toko buku. Namun, sekitar 10 persen di antaranya tutup pada 2020.
”Sebanyak 15 persen lainnya diprediksi tutup di 2021. Kendati demikian, jumlah judul buku yang terbit terbilang stabil, yakni 17.000 hingga 18.000 judul buku per tahun,” ucap Arief.
Mantan Direktur Eksekutif Badan Pengembangan Buku Nasional Filipina, Andrea Pasion-Flores, sepakat pandemi berpengaruh terhadap turunnya performa industri buku. Di sisi lain, pandemi mendorong tumbuhnya buku digital. Hal ini sekaligus mendorong demokratisasi distribusi buku, seperti melalui media sosial dan e-dagang.
Sementara itu, anggota Asosiasi Penerbit dan Penjual Buku Thailand, Punrit Taechatada, mengatakan, pandemi berdampak terhadap penerbit yang mengandalkan penjualan luring, seperti di toko buku. Sebab, toko buku mesti ditutup sementara selama masa karantina wilayah atau lockdown. Sejumlah penerbit pun memutuskan pindah ke platform penjualan daring.
Sejumlah aplikasi membaca buku daring pun berkembang di Thailand. Punrit menambahkan, jumlah pembaca buku daring tergolong banyak. Hal ini merupakan peluang bagi penerbit
Buku digital
Mantan Direktur Umum The Gioi Publishing House Vietnam Tran Doan Lam mengatakan, distribusi buku digital meningkat karena orang-orang menghabiskan banyak waktu di rumah. Membaca pun menjadi hiburan alternatif selama masa pembatasan sosial. Sejumlah judul buku tentang Covid-19 pun bermunculan di pasar buku.
Menurut penerbit di World Scientific Publishing Company Singapura Chua Hong Koon, sekitar 70 persen penjualan mereka bersumber dari penjualan daring. Adapun persentase penjualan mereka naik hampir 9 persen selama 2021. Kuncinya adalah beradaptasi dengan kondisi dan melakukan pendekatan berbeda pada bisnis buku selama pandemi.
”Kami justru menerbitkan lebih banyak buku pada 2020 dan 2021 dibandingkan 2019. Kami membentuk divisi baru di 2020 untuk membuat buku anak. Dalam 15 bulan, ada 100 judul buku anak baru yang dihasilkan,” kata Chua.
Dewan Penasihat Ikapi Rosidayati Rozalina mengatakan, penerbit Indonesia yang beralih ke buku digital pada tahun 2015 sebanyak 20 persen, kemudian naik menjadi 40 persen di 2020. Sebanyak 40 persen lainnya masih berkutat dengan buku konvensional.