Harapan kepada Pemimpin dalam Gending Ki Narto Sabdo
Lirik gending atau lagu ”Kudangan” karya Ki Narto Sabdo diubah ke dalam bahasa Indonesia oleh Boyamin Saiman. Boyamin juga membayar royalti kepada ahli waris maestro pedalangan kelahiran Wedi, Klaten, tersebut.

Salah satu dokumentasi Ki Narto Sabdo semasa hidupnya.
Kinudang-kudang tansah bisa leladi
Narbuka rasa tentrem angayomi,
Tata-susila dadi tepa-tuladha,
Sababe dhek-iku sarawungan kudu,
Dadi srana murih guna kaya luwih,
Ngawruhi luhuring kabudayan,
Tinulad sakehing bangsa manca,
Rahayu ngrepda angembang ngrembaka.
Diiringi suara gamelan yang berpacu dengan rintik hujan, gending atau lagu ”Kudangan” karya Ki Narto Sabdo mengalun dibawakan kelompok karawitan Laras Jiwa Nusantara di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (9/11/2021) malam. Setelahnya dimainkan kembali tembang sama, tetapi kini dengan lirik terjemahan bahasa Indonesia.
”Digadang-gadang selalu bisa mengabdi/ Menggugah rasa tenteram mengayomi/ Tata Susila jadi suri tauladan/ Sebab itu jadi pergaulan/ Harus... jadi jalan agar lebih makmur/ Pasti... menjaga luhurnya budaya/ Jadi contoh semua bangsa/Rahayu selalu sejahtera merata....”
Lirik tembang karya sang maestro pedalangan tersebut diubah ke dalam bahasa Indonesia oleh Direktur Boyamin Saiman Law Firm Boyamin Saiman. Kudangan, yang berati harapan, ditafsirkan tak sebatas kepada anak, istri, atau keluarga, tetapi juga pemimpin. Kudangan versi terjemahan pun diberi judul ”Sang Pemimpin” atau ”Pemimpin Idaman”.
Baca juga: Ki Narto Sabdo, Dalang Pembaru Berkemampuan Komplet

Suasana diskusi budaya ”Menjaga Sang Maestro, Ki Narto Sabdo” di Taman Budaya Raden Saleh, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (9/11/2021). Dalam acara itu, Ki Narto Sabdo juga mendapat sejumlah penghargaan, yang diterima ahli warisnya, Jarot Sabdono.
Dalam mengubah lirik ”Kudangan”, Boyamin membayar royalti kepada Jarot Sabdono, yang merupakan ahli waris Ki Narto Sabdo. Dari proses itu, ia ingin menunjukkan pentingnya membayar royalti kepada pencipta atau ahli warisnya, terutama jika ada fungsi ekonomi yang dijalankan. Dalam hal ini, perlu ada perhatian lebih pada kesenian tradisional.
Pada Selasa malam, di Angkringan Cuprit, TBRS, pembayaran royalti itu dikemas dalam acara yang diselenggarakan Forum Wartawan Pemprov dan DPRD Jawa Tengah (FWPJT). Di antaranya, penyerahan penghargaan ”Pahlawan Budaya Indonesia” dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang diwakili Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi kepada Ki Narto Sabdo. Juga diskusi budaya ”Menjaga Sang Maestro Ki Nartosabdo”.
Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Dhanang Respati Puguh, yang juga adik Jarot Sabdono, menuturkan, lelagon ”Kudangan” sebenarnya berisi harapan kepada Ngatirah, yang merupakan merupakan pesinden andalan, yang juga didikan Ki Narto Sabdo.

Ki Narto Sabdo
”Kudangan” yang diperuntukkan bagi Ngatirah terlihat dalam suku kata pertama dari setiap baris lagu tersebut. Jika ditarik dari atas ke bawah, akan tersusun ”Ki Narto Sabdo Ngatirah”.
Namun, jika interpretasi akan lagu ”Kudangan” diperluas, kata Dhanang, ada harapan agar kebudayaan Jawa lestari dan berkembang. Cita-cita Ki Narto Sabdo itu kini sepertinya telah terwujud. Terlepas dari perhatian pada seni tradisi di dalam negeri yang belum optimal, seni pertunjukan tradisi Jawa kini tersebar luas ke mancanegara.
”Ketika Pak Boyamin menafsirkannya menjadi kudangan tentang pemimpin dan rakyatnya, ini luar biasa. Artinya, diperluas lagi. Mungkin ada harapan pada pemimpin Indonesia, dengan kata kunci bahwa negara harus sejahtera. Perkara belum sejahtera, ini bagian dari proses,” ujar Dhanang.
Sarat makna
Karya-karya Ki Narto Sabdo sejatinya memang sarat akan makna dan nilai. Dhanang pun mencontohkan gending ”Ojo Dipleroki”, yang berisi tentang kepribadian bangsa.
”Walaupun lelagon itu berirama dangdut dan berkesan sepele, tetapi bermakna bahwa kita tak boleh melupakan kebudayaan bangsa atau kebudayaan timur, yang menjadi jati diri kita. Saat itu (era Ki Narto Sabdo), pengaruh Barat, seperti melalui musik, film, atau produk budaya asing membanjiri Indonesia,” ujar Dhanang.

Patung dada maestro dalang dan karawitan asal Semarang, Ki Narto Sabdo, di Jalan Pemuda, Kota Semarang, Jawa Tengah, diresmikan pada Selasa (30/3/2021). Patung yang terbuat dari tembaga itu merupakan sumbangan pribadi musisi dan budayawan Jaya Suprana, yang pernah belajar pada Ki Narto Sabdo.
Pemerhati budaya sekaligus Ketua Komite Seni Budaya Nusantara Jateng, Sri Puryono, menuturkan, dalam membuat lagu, Ki Narto Sabdo tentu tidak asal menyomot kata-kata. Namun, semuanya memiliki makna.
Baca juga: Ki Narto Sabdo dan Penanda Zaman di Kawasan Semarang Lama
Termasuk gending ”Kudangan”, yang dapat ditafsirkan terkait pemimpin dan rakyatnya. ”Bagaimanan rakyat agar aman dan sejahtera. Sebagai pemimpin, harus memiliki sifat siddiq (jujur), amanah, tabligh, fathanah. Artinya, pemimpin harus dikoreksi, dapat dipercaya, serta cerdas dan pintar,” kata Sri Puryono.
Ki Narto Sabdo, lahir Wedi, Klaten, 25 Agustus 1925, ialah sosok berpengaruh dalam dunia pedalangan wayang kulit. Berakar dari seni karawitan, kemampuannya mendalang disebut belum ada yang bisa menandingi.
Sebelum mendalang, Soenarto, nama asli Narto Sabdo, dikenal sebagai pentolan Ngesti Pandowo, kelompok wayang orang (WO) yang berdiri di Madiun, Jawa Timur. Ia diajak bergabung dalam kelompok itu oleh pendirinya, Ki Sastrosabdo. Seiring waktu, Soenarto kemudian dipercaya menjadi pemimpin karawitan.

Pemberitaan tentang dalang Ki Narto Sabdo yang mendapat Bintang Mahaputra Nararya yang dimuat di harian Kompas pada 10 November 1995. Saat itu, pertama kalinya penghargaan itu diberikan kepada kalangan dalang. Ki Narto Sabdo sendiri meninggal pada 1985.
WO Ngesti Pandowo pun dibawanya menjadi kian berkembang dan digandrungi. Atas jasanya, Soenarto diizinkan Sastrosabdo untuk menyematkan ”Sabdo” di belakang namanya. Sejak itu, ia dikenal sebagai Narto Sabdo. Atas dorongan Sastrosabdo, Narto Sabdo lalu mengembangkan kemampuannya pada dunia pedalangan.
Benar saja, kariernya sebagai dalang amat cemerlang. Memulai debut pentas mendalang di Jakarta dan disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1958, Narto Sabdo menjelma menjadi dalang paling top pada masanya. Ia dikenal akan guyonan-guyonan yang membuat pertunjukan wayang lebih hidup dan tak membuat kantuk.
Narto Sabdo juga mendirikan kelompok karawitan di Semarang bernama Condong Raos yang elemen utamanya ialah pengrawit dari Ngripto Laras, Gombang, Boyolali. Satu rumahnya dijadikan semacam pedepokan. Di situlah tempat berkumpulnya orang-orang yang mau menyatukan rasa. Mereka cocok satu sama lain.
Ki Narto Sabdo, yang meninggal di Semarang pada 7 Oktober 1985, meninggalkan seorang istri bernama Tumini. Ia tidak memiliki anak biologis. Namun, sejumlah anak, seperti keponakannya, tingggal bersama, sehingga sudah seperti anak sendiri. Di antaranya yakni Jarot Sabdono dan Dhanang.

Adegan tarian kolosal dalam pentas wayang orang Ngesti Pandowo, Sabtu (14/7/2012) malam, yang berlangsung di Gedung Ki Narto Sabdho Taman Budaya Raden Saleh, Semarang, Jawa Tengah. Pentas ini memperingati 75 Tahun keberadaan wayang orang Ngesti Pandowo, Semarang.
Dosen Jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, Widodo, menuturkan, sejatinya unsur-unsur dam karya Ki Narto Sabdo sejatinya sama dengan yang lain. Yang membedakan yakni terdapat kesan nggeleleng dan gayeng. Itu berbeda dengan cara Keraton Surakarta yang berkesan agung, berwibawa, dan halus.
”Jadi, gending Ki Narto Sabdo sebenarnya tetap pakem mengikuti kaidah estetik dan kultural yang berlaku dalam karawitan Jawa saat itu. Namun, beliau itu memang kreatif. Misalnya, saat itu belum ada gending 3/4 dan beliau bikin,” ujar Widodo.
Royalti
Boyamin menuturkan, inisiasi membayar royalti juga bagian dari kritiknya terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Menurut dia, sebelum berbicara tentang royalti, pemerintah mesti lebih dulu memberi perhatian lebih pada seniman, khususnya seni tradisi.
Sebagai solusi, ia pun memelopori royalti kepada ahli waris Ki Narto Sabdo. ”Saya tahu persis keluarga Ki Narto Sabdo tak ingin menguber royalti. Menagih saja tak mau. Namun, saya ingin mengajak masyarakat, penikmat musik, bayar langsung saja ke ahli waris saat ada fungsi ekonomi. Tanpa melalui pihak-pihak lain,” ujarnya.

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi (kanan) menyerahkan penghargaan pahlawan budaya dari Kemenpan dan RB kepada Ki Narto Sabdo, yang diwakili ahli warisnya, Jarot Sabdono (tengah), di Taman Budaya Raden Saleh, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (9/11/2021). Dalam acara itu, Boyamin Saiman (kiri) secara simbolis memberi royalti kepada ahli waris atas izin mengubah lirik gending ”Kudangan” karya Ki Narto Sabdo.
Boyamin juga mendeklarasikan diri sampai kapan pun tidak akan menjadi kuasa hukum Ki Narto Sabdo. Itu sebagai penegasan bahwa yang dilakukannya bukan dalam rangka mencari keuntungan atau mendapat honor, melainkan untuk mengajak masyarakat untuk membayar royalti pada ahli waris seniman tradisi.
Dhanang menuturkan, pada satu sisi, pembayaran royalti penting bagi kehidupan seni, terutama bagi para komposer. Sebab, selama ini perhatian cenderung pada seniman atau penyanyinya. Namun, di sisi lain, pada seni tradisi, bisa menjadi persoalan karena para seniman tradisi pun hidup dari karya-karya para pendahulu.

Sejumlah kendaraan melintas di Jalan Pemuda, dekat patung dada maestro dalang dan karawitan asal Semarang, Ki Narto Sabdo, Kota Semarang, Jawa Tengah, diresmikan pada Selasa (30/3/2021). Patung yang terbuat dari tembaga itu merupakan sumbangan pribadi musisi dan budayawan Jaya Suprana, yang pernah belajar pada Ki Narto Sabdo.
Semasa hidupnya, Ki Narto Sabdo tak pernah mempermasalahkan jika karyanya digunakan oleh sesama seniman tradisi. ”Itu sikap beliau yang disebut sosial seni atau cara bersosial melalui seni. Apalagi jika digunakan seniman yang, maaf, levelnya di bawah. Komentar beliau ya enak saja. ’Yo ben. Ben kanggo golek pangan’,” ujar Dhanang.
Beberapa waktu setelah Ki Narto Sabdo meninggal dan berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya, diakui Dhanang, kerap ada perusahaan rekaman datang. Namun, tak ada hitung-hitungan rinci. Lebih pada bentuk kulonuwun karena hendak merekam.
”Seni tradisi Jawa kan enggak menghitung seperti itu,” ujarnya.
Berdasarkan buku yang diterbitkan Pemerintah Provinsi Jateng, lanjut Dhanang, jumlah karya Ki Narto Sabdo mendekati 400. Namun, dari penelitiannya, ternyata masih banyak karya yang belum masuk dalam buku itu. Dari identifikasi, ia pernah mengestimasi, jumlahnya berkisar 500-600 karya.
Jejak langkah dan nama besar Ki Narto Sabdo selayaknya menjadi refleksi bagi seniman dan pemerhati budaya tradisional. Sang legenda itu tidak hanya cinta pada seni tradisi, tetapi juga menghadirkan juga petuah luhur lewat karyanya.

Sejumlah pemain wayang orang Ngesti Pandowo menyiapkan diri sebelum pentas di Gedung Ki Narto Sabdo, Taman Budaya Raden Saleh, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (7/6/2014). Wayang orang yang berdiri 1 Juli tahun 1937 tersebut masih bertahan dan rutin mementaskan wayang orang setiap akhir pekan.